JAKARTA, Beritalima.com– Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, konstitusi atau Undang-undang membolehkan warga negara berkumpul dan berserikat. Namun, enam tahun belakangan sudah tidak dirasakan lagi.
Hal tersebut, jelas pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Jumat (2/10), orang yang demikian sama saja dengan mengingkari konstitusi atau demokrasi.
Bahkan, kata bapak dua putra yang akrab disapa Jamil tersebut, ironis bila ada pihak-pihak yang menghadang. Apalagi para penghadang itu mendapat dukungan dari aparat keamanan seperti polisi atau dari para penguasa.
Pengajar pengajar Metode Penelitian Komunikasi, Krisis dan Strategi Public Relation, serta Riset Kehumasan tersebut mencontohkan apa yang dialami mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo di Surabaya, Bandung dan Jakarta.
Kasus teranyar sekelompok massa menolak acara tabur bunga yang dilakukan para purnawirawan TNI di Taman Makam Pahlawan Kalibata dalam peringatan hari kesaktian Pancasila 2020 dan mengenang gugurnya tujuh putra-putra terbaik bangsa akibat kekejaman Gerakan 30 September (G30S/PKI) 1965. Padahal, dalam acara tabur bunga tersebut, Gatot mengaku hanya sebagai undangan.
Jamil menilai pemandangan seperti ini sangat aneh terjadi di negara demokrasi. Lebih ironis, demo dan penghadangan terhadap Gatot Nurmantyo di Surabaya disinyalir dilakukan orang-orang bayaran. “Kalau hal itu benar, perilaku mereka ini sungguh mencoreng demokrasi di tanah air. Para pendemo bayaran memang tidak dilarang di negara demokrasi,” kata Jamil.
Hanya saja, lanjut pria kelahiran Sumatera Utara 60 tahun silam tersebut, mereka ini melakukan demo menyuarakan bukan aspirasinya. Mereka datang, demo dan berteriak lantang hanya untuk kepentingan pihak yang membayar.
Aspirasi yang mereka dengungkan kalau dilakukan terus menerus tentu saja dapat membentuk pendapat umum. “Sayangnya pendapat umum yang terbentuk tidak riil tapi palsu.
Kalau pendapat umum palsu ini oleh eksekutif dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan, dapat dipastikan kebijakan yang diambil akan keliru atau palsu pula. Kebijakan tersebut sesungguhnya tidak akan mengatasi persoalan yang yang dihadapi bangsa dan negara.”
Bahkan kebijakan itu berpelung dapat menambah masalah baru. Jadi, demo-demo bayaran ini berkontribusi menghasilkan pendapat umum palsu. Padahal dalam negara demokrasi, pendapat umum dijadikan dasar untuk pengambilan kebijakan.
“Sungguh sangat berbahaya bila kebijakan yang diambil kebanyakan dari pendapat umum yang palsu. Karena itu, sudah saatnya diatur larangan bagi pendemo bayaran di Indonesia. Mereka dapat merusak sendi-sendi demokrasi yang dibangun dengan susah payah di tanah air,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)