Jokowi, SBY, Ahok, dan Asian Games

  • Whatsapp

Catatan selfie Heti Palestina Yunani
Penulis adalah jurnalis lepas, penulis puisi, dosen ilmu komunikasi dan pecinta seni

Sedang tersulut kebanggaan atas spektakulernya opening Asian Games 2018? Harus. Bagi yang ‘waras’ nasionalismenya mutlak demikian. Bagaimana rasanya? Membuncah teramat hura dan hore ya? Pasti. Sama dengan tersulut benci, orang Indonesia sok begitu: mulutnya berbuih-buih ludah busuk tak henti-henti sampai tujuh turunan. Namanya tersulut ya memang begitu: emosinya sama tinggi, entah sedang cinta atau sedang benci.

Saya tak heran. Karena saya juga Anda, Anda juga Indonesia, Indonesia juga kita semua. Tapi saya hanya mau memilih disamakan dengan Anda yang bisa bersikap proporsional: kalau benci jangan terlalu, kalau cinta jangan terlalu. Yang sedang-sedang sajalah, kata Vety Vera, si penyanyi dangdut itu. Itu kalau sulit menjadi bijaksana atau bersikap yang benar seperti para rohaniawan suci, terhadap semua yang terkait dengan negeri ini.

BTW, kembali tentang tersulut kebanggaan pada Asian Games, saya tak sedang membicarakan bagaimana luar biasanya rasa itu pada Indonesia. Sulitlah itu dikatakan. Air mata bisa meleleh saking harunya. Saya hanya ingin menarik catatan selfie dari Asian Games pada labilnya perasaan bangsa ini terhadap sebuah isu. Mengapa kompak bangga itu harus menunggu sebuah momen seperti Asian Games? Memangnya baru kali ini bangsa ini punya sesuatu positif yang mampu menyatukan seluruh orang?

Heti Palestina Yunani

Tentu tidak. Kalau pun Asian Games ini menjadi satu hal yang baik untuk menunjukkan bahwa kita bangsa elit, saya bayangkan kebanggaan semacam ini bertahanlah terus. Jangan mudah tergerus begitu ada sesuatu yang terjadi yang tak mengenakkan. Memang, naik turunnya perasaan tergantung kondisi. Tapi kalau dibalik: mengapa tidak perasaan kita yang kita jaga terus membara dan yang menentukan kondisi bangsa ini tetap berada di puncak jaya?

Sadar tidak, kita bangsa yang berperasaan tak menentu. Ada pemimpin tak beres sedikit, kita mudah melabeli mereka dengan julukan kecebong, ubur-ubur, sampai kardus. Itu serempak dan kompak diujarkan hingga viral, persis seperti sekarang ketika bangsa ini bangga dengan Asian Games yang langsung mengangkat derajat kita di mata dunia. Ada partai tak beres, kita bilang demokrasi kita lemah. Ada harga naik, kita bilang menterinya tak becus. Pokoknya, mulut bebas bicaralah. De el el.

Kalau saya sekarang menyebut Jokowi, Ahok, SBY, atau siapa nanti di tulisan ini, dikira saya adalah ‘pendukung’ mereka. Padahal mendukung siapa pun pemimpin kita, bagi saya itu harus! Logikanya, mereka menjadi pemimpin itu karena kita sendiri penentunya! Jadi saya paling tidak pernah menghujat siapapun yang sedang memimpin. Saya andaikan jika ia kita tuding penipu, sembilan jari tersisa balik menunjuk diri kita sendiri juga penipu. Memang yang memilih mereka yang zalim itu tak ikut dosa apa?

Perasaan tak percaya pada pemimpin –dari partai mana pun itu-, sudah lama akut diderita bangsa ini. Sukanya kok berkali-kali patah hati karena sering kehilangan tokoh yang sedikit-sedikit mereka ini dicari celah negatifnya, tega dibunuh karakternya, dibantai habis kariernya, kalau perlu dimasukkan bui, jebret. Giliran diminta mengajukan nama untuk memimpin kita, yang muncul adalah yang dibenci, yang tak dimaui, endingnya dimaki-maki. Terus Anda di mana dong saat memilih kapan hari? Padahal semestinya, kita ini lebih keren dibuat bingung memilih karena semua calon kita yahud.

Terkait Asian Games, ada nama yang sedang kita puja. Selain tujuh orang “behind the scenes” yang dipimpin Direktur Kreatif Asean Games Wishnutama ada Jokowi yang dielu-elukan. Tentang dia, saya salah satu ratusan juta fans pria kurus ini. Di luar ia Presiden RI yang saya hormati sangat, saya merasa banyak lebih meng-Indonesia selama ia memimpin. Tapi jangan lupa, ada Ahok, ada SBY selain nama Jokowi yang kece sekali bermotor memasuki arena pembukaan kemarin.

Kenapa saya sebut dua pria selain Jokowi itu? Ini semata tentang bagaimana harus menghargai proses. Kalau ada panggung sehebat itu ditonton, jangan lupakan sisi belakang panggung alias proses jungkir balik sebelumnya. Kita kok tak terbiasa mengingat jasa-jasa perintis atau pioner sesuatu. Selain Soekarno-Hatta yang selalu disebut otomatis jika bicara Hari Kemerdekaan, tradisi mengingat peran orang lain di awal-awal yang berdarah-darah sering kita lupakan. Atau itu tak kita punya?

Perlu diingat dalam sejarah Asian Games ini bahwa di era SBY lah penetapan Indonesia sebagai tuan rumah dijatuhkan. Itu pada 2014, jadi bukan di era Jokowi lho ya. Bahkan penetapan Dewan Olimpiade Asia (OCA) pada 19 September 2014 itu pas 30 hari sebelum Jokowi-JK dilantik sehagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014. SBY lah yang mendukung perjuangan Indonesia menjadi tuan rumah setelah sekali di era Soekarno pada 1962.

Tak banyak yang tahu proses itu sudah pernah melalui kepahitan pada 2012. Saat itu Indonesia masih mengajukan Surabaya sebagai tuan rumah, bukan Jakarta dan Palembang seperti sekarang. Waktu itu SBY mengutus Ketua Komite Olimpiade (KOI) Rita Subowo, Menpora Andi Mallarangeng dan Gubernur Jatim Soekarwo bersama Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Tapi Indonesia kalah oleh Hanoi (Vietnam) yang terpilih dalam sidang umum OCA di Makau, China pada 2012.

Bagaimana lalu jatuh ke tangan Indonesia? Itu karena ‘jasa’ Vietnam. Semula, OCA menetapkan Vietnam sebagai tuan rumah Asian Games ke-18 pada 2019. Tapi Vietnam mengundurkan diri karena krisis ekonomi. Maka terpilihlah Indonesia. Rezekinya pemerintahan sekarang. “Kasarnya itu karena kebaikan hati Vietnam yang mundur dan Sekda menyatakan Jakarta lebih siap dibanding kota lainnya,” kata Ahok, yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI. Ketiban pulung (untung) itu, bukan pulut (sial).

Setelah ditetapkan, Indonesia menyampaikan kepada OCA bahwa waktu penyelenggaraannya harus dimajukan setahun lebih awal dari jadwal semula, yakni 2018, karena pada 2019 Indonesia ‘ribut’ tagar #2019gantipresiden‎. Jadi, kalau diselenggarakan pada 2019 saja, -pascapemilu presiden-, maka belum tentu ada aksi kakeknya Jan Ethes naik motor mirip Satria Baja Hitam ke arena pembukaan karena presidennya bisa saja Si Anu.

Kalau bicara proses menjadi tuan rumah, Asian Games ini berliku. Ada peran mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Di masa Ahok lah, rintisan persiapan menjadi tuan rumah itu dilakukan. Ahok lah yang merancang even ini lebih wah dibandingkan Incheon (Korea Selatan) 2014. Bahkan harus mengalahkan rekor Guanzhou (China) yang dianggap sebagai Asian Games terbaik 2010. Sekarang sudah terwujud bukan? Ia yang memimpikan light rapid transit (LRT) beroperasional saat Asian Games, meski kandas. Keinginan itu disampaikannya setelah menerima bendera Asian Games pascapergelaran Incheon 2014.

Ada nama siapa lagi kira-kira? Banyak. Ketujuh laki-laki “behind the scenes” Asian Games itu saya acungi empat jempol tangan dan kaki. Mereka oye! Sekali lagi, ini bukan soal mengecilkan atau membesarkan arti seseorang semata. Ini tentang bagaimana sebaiknya kita meluapkan kebanggaan itu sebagai rasa yang proporsional di semua peristiwa kebangsaaan yang kita lalui.

Kalau sekarang kita sedang bicara satu nama atau beberapa nama yang ditinggikan sebaiknya atau alangkah eloknya jika itu memudahkan kita memberikan penilaian yang sama (adil) pada hal-hal yang seharusnya kita hargai atau kita kritisi. Apalagi pada hal-hal buruk yang menimpa, jadikan itu sebagai keprihatinan bersama. Aib bangsa diperbaiki oleh setiap individu. Pepatah Jawanya, ojo gumunan, sak madya wae (jangan sok heran sewajarnya saja). Sekarang merasa garuda di dada, besok menghina-hina Indonesia. Isuk dele sore tempe. Aduh ya Allah semoga itu bukan saya.
(*)

beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *