JPU Nilai Keterangan Guru Besar Unair, Kuatkan Dakwaan ‘Nikah Palsu’ Henry dan Iuneke

  • Whatsapp

SURABAYA – beritalima.com, Prof. Sogar Simamora, SH, MH, ahli perdata dan Prof Dr Nur Basuki Winarno, SH,MH ahli pidana dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dihadirkan ke persidangan kasus ‘pernikahan palsu’ yang menjerat Bos PT Gala Bumi Perkasa (GBP) Henry J Gunawan dan Istri, Iuneke Anggraini di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Usai disumpah, Ahli hukum perdata, Prof. Sogar didengarkan pendapatnya terlebih dahulu. Saat memberikan pendapatnya, Sogar menjelaskan beberapa poin atas perkara ini, yang dijawab melalui pertanyaan ilustrasi kasus, baik dari JPU Ali Prakoso maupun dari tim penasehat hukum kedua terdakwa.

Dalam pertanyaan ilustrasi tersebut dibahas tiga pokok permasalahan, pertama terkait perjanjian, kedua tentang sahnya perkawinan dan ketiga terkait keabsahan akta otentik apabila terdapat ketidaksesuaian isi.

Menurut Prof. Sogar, Perjanjian merupakan sebuah perikatan antara pihak satu dengan yang lain, dengan ada kata sepakat, tercatat dan ada sebab yang halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

“Hukum perjanjian menganut asas perjanjian berkontrak, kebebasan baik menyangku isi dan kedudukan hukumya,” terang Prof. Sogar. Kamis (21/11/2019).

Sedangkan terkait sahnya perkawinan, terang Prof Sogar, telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

“Perkawinan adalah sah apabila dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing dan dicatat di kantor negara baik KUA maupun catatan sipil. Sehingga menjadi jelas bahwa jika menyangkut perkawinan maka wajib dicatat,” katanya.

Sedangkan terkait keabsahan Akta Otentik apabila terdapat ketidaksesuaian isi, masih kata Prof. Sogar, Akta otentik tersebut akan tetap berlaku, hanya saja kekuatan pembuktiannya turun derajatnya menjadi akta dibawah tangan.

“Akta Otentik itu adalah akta sempurna tidak perlu alat bukti lain, sedangkan akta di bawah tangan perlu alat pembuktian yang lain dan semua adalah otoritas hakim untuk melakukan pembuktian. Status akta yang dibuat tersebut tetap mengikat kepada pribadi yang membuat,” jelasnya.

Sementara, Prof. Nur Basuki memberikan pendapatnya terkait keahliannya sebagai ahli hukum pidana. Dalam persidangan, Guru Besar Hukum Pidana ini membeberkan terkait unsur- unsur delik pasal yang didakwakan JPU pada kedua terdakwa, yang disampaikan melalui contoh kasusistik.

“Makna pasal 266 ayat 1 KUHP intinya, menyuruh memasukan keterangan palsu didalam akta otentik yang dinyatakan sebenarnya dengan maksud memakai atau orang lain memakai dapat menimbulkan sesuatu, subjek hukumnya orang atau badan hukum. Menyuruh memasukan keterangan palsu ke akta otentik, berarti ada dua pihak, yang disuruh dan menyuruh,” paparnya.

Masih kata Prof. Nur Basuki, terkait penjelasan unsur Pasal 55 ayat (1) Ke-1, masih kata Prof. Nur Basuki, merupakan penyertaan. Artinya, seseorang dianggap sebagai pelaku bisa pelaku sendiri, turut serta melakukan dan turut serta melakukan dan menyuruh melakukan.

“Teorinya yang dapat dimintai pidana adalah orang yang menyuruh bukan disuruh, tapi apabila yang disuruh mengetahui karena kewenanganya juga dapat diminta tanggung jawab,” jelasnya.

Sementara terkait pertanggungjawaban notaris bila akta yang dibuat tidak sesuai dengan sebenarnya, masih kata Prof. Nur, harus dibuktikan kesengajaan dengan maksud.

“Notaris tugasnya mengkonstatir, kalau notaris bisa dimintai tanggung jawab harus dibuktikan kesengajaan dengan maksud. Didalam akta otentik ada awal akadnya, ada isi, batang akta dan penutup, notaris bertanggung jawab pada awal akta dan penutup, isinya ada lah penghadap,” paparnya.

“Jika ada ketidak benaran isi akta yang dapat menyebabkan kerugian yang ditimbulkan oleh akta tersebut maka pada pasal 266 ayat 1 KUHP perbuatan nya lah yang dinilai dan merupakan delik formil yang dapat dikenakan sanksi pidana,” sambungnya.

Sedangkan terkait pertanyaan tim penasehat hukum kedua terdakwa yang menyebut bahwa akta yang digunakan sebagai alat bukti dalam perkara ini merupakan akta palsu, karena kliennya merasa tidak pernah menghadap ke notaris dan tidak pernah dibacakan, kata Prof. Nur Basuki, haruslah dibuktikan melalui pengadilan.

“Yang saya pahami kalau prosedurnya sudah benar dan dibacakan dan telah ditandatangani, tidak ada namanya akta palsu. Untuk palsu atau tidak bisa haruslah diujikan melalui pengadilan,” tandasnya.

Persidangan perkara ini akan dilanjutkan hari Senin mendatang, tanggal 25, dengan agenda saksi meringankan dari kedua terdakwa.

“Persidangan hari ini dinyatakan selesai,” pungkas hakim Dwi Purwadi menutup persidangan.

Usai persidangan, JPU Ali Prakoso mengaku keterangan dua Guru Besar Hukum Unair tersebut telah menguatkan surat dakwaanya.

“Pendapat kedua ahli tadi tentunya sudah menguatkan dakwaan kami,” tandasnya.

Untuk diketahui, Kronologis perkara ini dimulai dari pembuatan 2 akta yakni perjanjian pengakuan utang sebesar Rp 17 milliar dan personal guarantee yang dibuat oleh PT. Graha Nandi Sampoerna sebagai pemberi hutang dan Henry J Gunawan sebagai penerima hutang di hadapan notaris Atika Ashiblie SH di Surabaya pada tanggal 6 Juli 2010.

Dalam kedua akta tersebut Henry J Gunawan menyatakan mendapat persetujuan dari istrinya, Iuneke Anggraini.

Belakangan terungkap bahwa perkawinan antara Henry J Gunawan dengan Iuneke Anggraeni baru menikah pada tanggal 9 November 2011 dan dilangsungkan di salah satu wihara di Surabaya dan dicatat di Dispenduk Capil pada 9 November 2011. (Han)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *