JAKARTA, Beritalima.com– Stakeholder ekonomi kreatif dalam negeri menyambut negatif penggabungan ekonomi kreatif dan parawisata dalam satu kementerian pada kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Joko Widodo.
Musisi kondang, Anang Hermansyah dalam keterangan tertulis melalui WhatsApp (WA) kepada Beritalima.com, Rabu (23/10) mempertanyakan penggabungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi satu kementerian.
Anggota Komisi X DPR RI 2014-2019 yang membidangi pendidikan, pemuda, olah raga, budaya, ekonomi kreatif dan parawisata tersebut mengatakan, ini jelas langkah mundur dan mengulang periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Terus terang, saya kaget dengan penggabungan dua sektor ini. Ada anomali yang terjadi dari rencana tersebut,” kata politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang tidak maju sebagai calon legislatif dalam pemilihan umum (pemilu) serentak 2019.
Musisi senior asal Jember ini menyebutkan, penggabungan parawisata dengan ekonomi kreatif dalam satu kementerian jelas memukul mundur capaian yang telah dilakukan Jokowi pada periode pertama.
Menurut Anang, keberadaan UU Ekonomi Kreatif yang dihasilkan DPR RI bersama Pemerintah pada periode lalu menjadi tonggak kebangkitan Ekonomi Kreatif Indonesia.
“Belum sebulan Indonesia sudah punya UU Ekonomi Kreatif. Sekarang Ekonomi Kreatif justru digabung dengan pariwisata sehingga membuat UU Ekonomi Kreatif tidak lagi bermakna,” jelas laki-laki kelahiran Jember, Jawa Timur, 18 Maret 1969 tersebut.
Padahal, kata Anang, pada pasal 30 ayat (1) UU Ekenomi Kreatif terdapat atribusi yang diberikan kepada presiden untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait kelembagaan Ekonomi Kreatif apakah bentuknya kementerian atau lembaga. “Bagaimana menjalankan amanat UU itu, jika nomenklatur Ekraf digabung dengan pariwisata,” keluh Anang.
Anang menilai, penggabungan Ekraf dan pariwisata akan membuat dua sektor tersebut menjadi tidak fokus. Ia membandingkan capaian kinerja yang dihasilkan ekraf saat digabung dengan pariwisata dengan ketika ekonomi kreatif berdiri sendiri.
Menurut dia, kinerja ekonomi kreatif melalui Bekraf dalam lima tahun terakhir mengalami kemajuan yang pesat dibanding sebelumnya. “Produk Domestik Bruto (PDB) Ekraf 2014 hanya 784,2 triliun saat masih digabung dengan pariwisata. Nah, 2019 ini bisa tembus 1.200 triliun,” tegas Anang.
Menurut dia, penggabungan ekraf dan pariwisata justru akan menjadikan dua sektor tersebut menjadi tidak fokus. Karena pada dasarnya, sambung Anang, dua sektor tersebut tidak memiliki irisan secara langsung.
“Alih-alih terjadi peningkatan kinerja di dua sektor tersebut. Namun, yang terjadi ketidakfokusan dalam penggarapan dua sektor. Risikonya, salah satu sektor akan menjadi anak tiri. Itu terjadi pada periode 2009-2014,” sebut Anang.
Masalah pelik lainnya, lanjut Anang, jika ekraf dan pariwisata digabung maka akan memberi dampak penggabungan dua SDM yang sebelumnya berbeda.
“Menteri baru tahun pertama hanya bakal sibuk mengurus dapur internal kementerian mulai penataan birokrasi, renstra termasuk bagaimana menjalin komunikasi politik dengan parlemen. Itu jelas bukan pekerjaan yang tidak mudah,” ingat Anang.
Karena itu, Anang berharap rencana penggabungan ekraf dan pariwisata itu dibatalkan. Secara filosofis, yuridis dan sosiologis penggabungan ini menabrak pronsip dasar rencana ekonomi kreatif. ekraf sebagai tulang punggung ekonomi baru di Indonesia.
“Kita bermimpi SDM Indonesia unggul, namun mimpi itu bertolak belakang dengan rencana penggabungan ini. SDM unggul itu tercipta jika kita fokus dan teguh pada aturan yang kita buat sendiri,” demikian Anang Hermansyah. (akhir)