LUMAJANG,beritalima.com- Maraknya penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS), yang identik dengan ajang bisnis kaum pendidik sering menjadi perbincangan di lingkup pendidikan. Tak jarang sekolah untuk mewujudkan buku LKS mengambil jalan pintas, artinya langsung bekerjasama dengan penerbit. Dalam hal ini menambah beban pembiayaan yang tidak sedikit, (01/11/2019).
Dalam pengertian LKS, adalah lembaran yang berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. LKS biasanya berupa petunjuk, langkah untuk menyelesaikan suatu tugas, suatu tugas yang diperintahkan dalam lembar kegiatan harus jelas kompetensi dasar yang akan dicapainya. Mendefinisikan bahwa Lembar Kerja Siswa adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan pemecahan masalah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan, praktik jual beli lembar kerja siswa (LKS) yang dilakukan pihak sekolah dan biasanya bekerjasama dengan penerbit atau pihak ketiga lainnya merupakan pungutan liar. Pasalnya, jual LKS telah melanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 75/2016 tentang Komite Sekolah Pasal 12 ayat 1. Dalam permen tersebut ditegaskan, Komite Sekolah baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam atau bahan pakaian seragam di sekolah.
Dalam hal ini, di kabupaten Lumajang terkait maraknya penjualan buku LKS di sekolah, Dinas Pendidikan kabupaten Lumajang melarang keras semua lembaga sekolah yang menjual LKS. Menindak lanjuti masalah tersebut, Plt kepala dinas pendidikan yang juga selaku sekretaris dinas pendidikan, Agus Salim saat dikonfirmasi awak media, dirinya mengatakan dengan tegas bahwa penjualan buku LKS di sekolah itu dilarang, apapun alasannya.
Agus Salim dalam hal ini memberikan warning, dengan tegas dirinya mengatakan, bahwa tidak ada toleransi apabila ada pihak sekolah yang menjual LKS, apapun alasannya. “Saya secara tegas menyampaikan di rapat forum kepala sekolah dimanapun berada, baik di kegiatan diklat maupun pembinaan kepala sekolah dan guru. Saya sampaikan bahwa sekolah itu sudah tidak diperbolehkan membeli LKS dari luar, karena di kurikulum 13 sudah jelas, di dalam materinya itu sudah inklut LKS”. Jelas Agus.
Masih kata Agus, “Tinggal bagaimana guru untuk pandai-pandai mensamery atau menyimpulkan, atau mengambil materinya, dari pemateri itu bisa dijadikan sebuah rangkuman, diktat kumpulan naskah soal made in guru dari materi kurikulum, kemudian dikumpulkan, difotokopi dan dijilid kemudian dijual ke anak itu boleh karena made in guru untuk siswa di sekolah itu tidak kemana-mana, itu elegan, dan itu dihargai dan dapat nilai dibanding guru-guru harus pesan nggak ada kerja apa-apa”, tambah Agus.
“Kreatifitas mati, ndhak inovasi, atau ada barang namanya LKS dijual ke anak, iya kalau nyambung kalau ndhak nyambung kan tambah celaka. Makanya sekolah tidak diperbolehkan membeli atau menjual LKS, ini jelas dan tegas apapun alasannya. Yang diwajibkan malah guru membuat sendiri LKS, tulis itu di halaman depan, LKS made ini guru siapa gitu dipergunakan untuk siswa sekolah ini, itu malah bagus dan diharapkan sehingga meterinya tepat sasaran dan tepat guna waktunya sesuai harapan guru”, pungkas Agus.
Menurut Agus, kalau ada sekolah yang masih menjual LKS sangsinya akan langsung diserahkan Inspektorat, ada unsur bisnis atau dapat bagian. Karena unsur tersebut sudah termasuk pelanggaran, tetapi kalau sifatnya masih tidak ada unsur kesana masih diberikan peringatan. Ditegaskan oleh Agus bahwa dinas pendidikan tidak mentoleransi, dan tidak mengijinkan kalau sampai ada sekolah yang membeli LKS dari luar, yang diharapkan adalah LKS made in guru sendiri. (Jwo)