SURABAYA, Berita lima.com-
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) resmi meluncurkan program Sastra Masuk Kurikulum pada Senin (20/5/2024). Peluncuran program ini menghadirkan beragam tanggapan dari berbagai pihak.
Salah satunya, Wakil Dekan 1 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) Dr Listiyono Santoso SS MHum yang juga turut memberikan respons terkait program terbaru ini.
Menurut Listiyono, Sastra Masuk Kurikulum adalah program yang potensial, tetapi ibarat “sesat di ujung jalan kembali ke pangkal jalan”. Seharusnya dari dulu negara menyadari bahwa membangun literasi yang baik bisa dilakukan melalui karya sastra.
“Ki Hajar Dewantara dari dulu sudah sangat eksplisit menjelaskan bahwa literasi itu salah satunya dikembangkan melalui pelajaran bahasa Indonesia. Tidak hanya sekadar mengenal huruf tapi mendekatkan anak-anak dengan karya sastra,” tutur Listiyono.
Apabila anak-anak membaca sastra, maka mereka akan mencintai bahasa dan meningkatkan literasi mereka.
“Maka, mereka akan membiasakan diri dengan setiap hari membaca karya-karya sastra mengenai kehidupan sehari-hari. Sehingga, belajar sastra sebenarnya tidak hanya belajar membaca menulis, tapi juga belajar kehidupan sehari-hari,” jelasnya.
Jangan Hanya Jadi Slogan
Listiyono menyoroti begitu buruknya literasi di Indonesia karena literasi hanya sekadar slogan yang dipasang tanpa memberikan pengaruh apa pun.
“Mereka selalu membuat kota literasi, sadar literasi, pojok kampung baca, itu semua hanya slogan. Slogan tidak pernah memberikan efek apa pun terhadap literasi anak-anak,” ujarnya.
Ia melanjutkan, jika anak-anak ingin memiliki kebiasaan membaca buku, maka dekatkan mereka dengan buku-buku yang mampu membangkitkan imajinasi mereka. Salah satunya melalui karya sastra.
“Bukan buku-buku ilmiah yang strukturalis, dekatkan anak-anak dengan buku cerita mereka sehari-hari melalui karya sastra. Dalam setiap level SD, SMP, SMA harus ada bobot karya sastra yang dipilih sehingga mereka memahami sebuah konflik,” ungkapnya.
Perlu Sentuhan Teknologi
Perkembangan teknologi merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, program Sastra Masuk Kurikulum ini juga harus turut beradaptasi. Menurut Listiyono, generasi sekarang memiliki cara mereka sendiri dalam mempelajari suatu hal.
“Generasi sekarang punya era sendiri, punya zamannya sendiri. Sehingga, perlu pendekatan-pendekatan teknologi agar anak-anak itu dengan teknologi mereka bisa mencintai sastra,” terangnya.
Pada akhir, Listiyono menyatakan ia optimistis program ini akan berjalan dengan baik sepanjang memiliki komitmen, disiplin, dan konsistensi.
“Jika program ini memiliki ketiga hal itu saya optimis. Sekarang wacana sudah dibangun oleh negara. Maka, teman-teman yang bergulat di dunia kesusastraan ayo kita respons. Karena harkat dan martabat belajar sastra adalah meningkatkan literasi,” tutupnya.(Yul)
