Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Pada 24 Mei 2003 IMCA (International Management Centres Association) Revans University, menganugerahi gelar Doktor Honoris Causa bidang Management, Education and Human Resources kepada seorang laki-laki. Laki-laki itu tidak lain yang saat ini sedang viral yaitu yang menamakan diri “Syeikh Panji Gumilang (SPG)”. Alumni IAIN Syarif Hidayatullah Fakultas Adab Jurusan Sejarah, yang mempunyai nama lengkap Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, ini sebelumnya juga pernah nyantri di Pondok Moderen Gontor Ponorogo. Mantan aktivis HMI yang berasal dari Jawa Timur–tepatnya Desa Sembung Anyar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik yang lahir pada tanggal 30 Juli 1946, ini saat ini sedang memimpin sebuah pesantren di Indramayu bernama Ma’had al-Zaitun. Meskipun kini menyandang professor doktor, konon institusi penganugerahnya, dalam hal ini sebuah universitas yang berbasis di Buckingham, Inggris dan Amerika Serikat itu, tidak terakreditasi.
Dalam sambutan pada acara penganugerahan gelar doktor ketika itu, Dr. Anthony Hall selaku Direktur Regional dan Asosiasi Profesor IMCA, menyebut beberapa pertimbangan penganugerahan gelar tersebut, antara lain, karena SPG dianggap berjasa melakukan perubahan dalam transformasi kependidikan di Indonesia, yaitu mewujudkan ide baru dalam sebuah paradigma baru pendidikan Islam melalui Al-Zaytun. Salah satu keunikan lain dari al-Zaytun ialah, penerapan “Sistem Pendidikan Satu Pipa” (One Pipe Education System) yaitu sistem pendidikan yang tidak terputus mulai dari tingkat dasar atau Madrasah Ibtidaiah hingga Perguruan Tinggi. Dengan alasan demikian dan karena melihat ‘penampakan’ al-Zaytun secara langsung ketika itu, Menteri Agama Surya Dharma Ali, sebagaimana dimuat dalam website resmi kemenag, mengakui sempat jatuh cinta kepada al-Zaytun. Politisi PPP itu, bahkan sempat menepis bahwa stigma negatif yang dituduhkan oleh masyarakat terhadap pesantren itu tidak benar.
‘Madzhab Baru’
Memang banyak orang bertanya-tanya mengenai kenyentrikan pendapat-pendapatnya. Selain berasal dari Jawa Timur dengan riwayat pendidikan di atas, ada info penting dari seorang mantan wakil kepala BIN. Menurutnya, ‘penyimpangan’ SPG bukan hal baru-baru saja, karena sejak awal 1970-an, SPG memang tertarik mendalami ajaran Isa Bugis, seorang ustadz asal Aceh.
SPG menjadikan pengikutnya yang eks DI/NII sebagai pengikut ajaran Isa Bugis, terutama di daerah Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat, sehingga terjadi konflik dengan masyarakat sekitar yang menolak kegiatan mereka dan menganggapnya sebagai aliran sesat. Para pengamat umumnya memandang ajaran Isa Bugis yang kemudian diadopsi oleh al-Zaytun, sejatinya merupakan pemahaman Islam berdasarkan pemikiran ‘Sinkretisme’ dan ‘Eklektisisme’. (https://www.metrotvnews.com/).
Menurut KBBI, “sinkretisme” merupakan suatu paham (aliran) yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untiuk mencari keserasian, keseimbangan dan sebagai. Sedangkan “eklektisisme” ialah faham atau aliran filsafat yang mengambil yang terbaik dari semua sistem. Beberapa ‘ajaran SPG’ yang sempat viral di medsos, seperti tentang saf salat jamaah antara laki-laki dan perempuan, Al Qur’an bukan kalam Allah tetapi kalam rasulullah, Allah tidak mengerti bahasa Indramayu, dan dibolehkannya wanita menjadi khatib salat Jum’at. (Temp.co.id 9 Juli 2023). Kontroversinya tidak sampai di situ, kebiasaannya megucapkan :”Shalom Aleichim” sebuah salam yang dikenal dalam bahasa Ibrani berarti “Damai Untukmu” dan menyanyikan lagu Yahudi “Hevenu Shalom Aaleichim” yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan “We brought you peace” ( Kami membawa perdamaian kepada anda).
Dengan demikian, agama yang diajarkan oleh al-Zaytun meskipun menggunakan label “Islam”, tetapi secara esensial dianggap oleh pemeluk Islam umumnya telah menyimpang dari Islam atau dianggap sebagai aliran sesat. Semua kontroversi tersebut tampaknya tidak lepas dari sebagian filosofinya beragama yang sering dia ucapkan, yaitu “beragama itu mudah”. Konsep pemikiran para ulama terdahulu yang tertuang dalam berbagai literatur yang selama ini dianggap sebagai transmisi (sanad) beragama, dianggapnya hanya membuat umat ribet dan (yang menyulitkan) perlu ditinggalkan. Mungkin dia beranggapan, bahwa “tafsir-tafsir agama” (meminjam istilah Gus Islah Bachrawi) tersebut, tidak sesuai dengan zaman sekarang dan membuat umat Islam sulit mencapai kemajuan. Konsep pemikirannya yang demikian itu, tentu sangat bertentangan dengan konsep pemikiran mayoritas umat. Menurut konsep pemikiran mainstream, bersanad dalam praktek keagamaan merupakan suatu keniscayaan. Inilah perbedaan pendasar cara berfikir SPG dengan kebanyakan orang.
Konsep pemikiran SPG yang diterapkan dalam menakodai al-Zaytun kiranya bisa disebut ‘Madzhab Baru” dengan SPG sebagai imamnya (meskipun dia sendiri pernah menyebutnya sebagai “Madzhab Soekarno”). Pemikiran madzhabnya rupanya tidak hanya bersentuhan dengan masalah furu’ (fikih) tetapi sudah mengenai disiplin ilmu keagamaan yang lain. Bahkan, dalam tataran sosial politik pemikirannya juga sudah bersinggungan dengan politik luar negeri, seperti pemikiran ‘mesranya’ dengan Israel. Itulah sebabnya, dia saat ini seolah nyaris seperti sepotong roti di lantai yang sedang dikerumuni semut-semut yang siap mencabik-cabiknya.
Belajar dari Kasus Gus Dur Dengan Inul
Kasus SPG ini, tampaknya mengingatkan kita pada kasus Inul. Ketika banyak orang ramai-ramai menghujatnya, Gus Dur malah berdiri di belakangnya. Seperti melawan arus, tindakan Gus Dur waktu itu, menuai berbagai kritik bahkan hujatan. Menurut Gus Dur, apa yang dilakukan Inul merupakan bagian kebebasan berekspresi. Dengan pemikiran demikian seolah Gus Dur ingin mengatakan, bahwa patokan kita menghakimi seseorang ialah hukum negara. Selama hukum tidak ada yang melarangnya, apa pun yang dilakukan Inul (goyang ngebor) juga tidak boleh dilarang. Bagi masyarakat (muslim) yang tidak suka, Gus Dur merespon dengan enteng. Seperti yang dikatakan Kang Maman ( Maman Imanul Haq, politisi PKB) “Jika suka, silakan lanjutkan, dan jika tidak suka, silakan pindahkan chanel televisi kita, dan Inul akan tamat dengan sendirinya,” kata Gus Dur.
Dalam konteks kasus SPG juga tidak boleh membuat kita kehilangan objektivitas. Semua penampakan Al-Zaytun dan ‘madzhab barunya’ harus benar-benar dilihat dari kacamata hukum yang ada. Sikap kebencian kita terhadap pemikiran, ucapan, dan gaya ketus SPG harus tetap kita lihat dalam konteks koridor hukum yang berlaku. Isu pengaitannya dengan NII, dengan penampakan SPG beserta al-Zaitunnya saat ini, sudah tidak relevan lagi. Apalagi, sampai dengan serta merta menghubungkannya dengan eksistensi rezim penguasa, seperti adanya “backing” dari istana atau stigma lain. Kita juga tidak perlu menyerbu apalagi sampai membakar al-Zaytun. Meminjam konteks pemikiran Gus Dur dalam kasus Inul, kalau kita tidak suka SPG jangan menyekolahkan anak kita ke sana, al-Zaytun akan tamat dengan sendirinya. Apakah harus demikian? Tidak, dalam kasus al-Zaytun ada dua 2 hal: pertama, lembaga pendidikan beserta segenap SDM yang ada. Mereka adalah putra-putri bangsa yang harus dilindungi. Kedua, sosok SPG. Yang kedua inilah yang paling mungkin bertanggung jawab secara hukum atas semua sepak terjangnya yang telah mengakibatkan reaksi berbagai kalangan selama ini. Ibarat akan membunuh seekor tikus dalam lumbung padi, tentu sangat tidak bijak jika harus membakar lumbung padi yang ada. Sebab, dalam lumbung itu ternyata juga banyak karya spektakuler yang perlu dipertahankan. Biarkan dan percayakan semua kepada penegak hukum. Bukankah Allah berfirman: “Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu sebagai penegak keadilan. Dan, janganlah kebencianmu kepada suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan, bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan”. (Al Maidah ayat 8). Wallahu A’lam.