JAKARTA, Beritalima.com– Artis Cynthiara Alona diamankan Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus penyedia layanan prostitusi anak di bawah umur. Tersangka ditahan sejak Kamis (18/02). Ia ditangkap bersama kedua orang temannya yang bekerjasama dalam kasus itu yakni AD (mucikari) dan AA (pengelola hotel).
Melihat maraknya fenomena prostitusi yang melibatkan anak dibawah umur, Wakil Ketua DPD RI, Sultan Bachtiar Najamudin melalui keterangan pers yang diterima awak media, Minggu (21/3) mengatakan, masalah kejahatan seksual ini harus ditindak lanjuti Pemerintah.
Saat ini Indonesia bukan hanya menghadapi bahaya prostitusi orang dewasa tapi juga korbannya anak-anak. Beberapa organisasi Internasional misalnya UNICEF Indonesia telah mengestimasi anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual 40.000 sampai dengan 70.000 orang iap tahun.
ILO pernah melakukan penelitian tentang pelacuran anak di beberapa kota di Indonesia dan menemukan fakta sekitar 24.000 anak dilacurkan. “Pada saat ini, praktik prostitusi (pelacuran) dilakukan secara gelap. Terungkap kasus prostitusi anak yang dilakukan Cynthiara hanya puncak gunung es (sebagian kecil). Meski dianggap kejahatan moral, aktivitas prostitusi di Indonesia masih tersebar luas,” ujar Sultan.
UNICEF memperkirakan, 30 persen pelacur di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Tidak hanya itu, banyak mucikari masih berusia remaja. Bahkan, akhir-akhir ini marak pemberitaan tentang artis Indonesia juga bekerja di sektor prostitusi.
“Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan dan harus ada rencana aplikatif dari pemerintah bersama penegak hukum mencegah dan memberantas setiap aktifitas prostitusi khususnya terhadap anak dibawah umur,” jelas senator muda dari Provinsi Bengkulu itu.
Seiring dengan perkembangan teknologi, prostitusi sekarang bisa diakses melalui dunia online atau internet yang sekarang disebut prostitusi online. Ini sekarang terjadi dan menjadi fenomena baru dalam bisnis prostitusi.
“Kemajuan tekhnologi tidak bisa dihindarkan, walaupun selalu ada sisi baik dan buruknya terhadap perkembangan tekhnologi. Sekarang pemerintah, aparat penegak hukum, serta masyarakat harus memiliki kemampuan dalam membatasi ruang gerak kejahatan yang berbasis pemanfaatan IT,” tegas Sultan.
Mantan Wakil Gubernur Provinsi Bengkulu ini menambahkan, memberantas prostitusi melalui sistem online dengan aplikasi tertentu tak mudah. Sebab itu, menurut Sulyan, harus menggunakan law enforcement berbarengan dengan pendekatan kultural.
“Selain regulasi dan patroli aplikasi yang berbentuk media sosial yang dimanfaatkan dalam tindak kejahatan, membangun budaya melapor konten negatif di dunia Maya menjadi keniscayaan agar permasalahan ini melibatkan hubungan antara masyarakat dan pihak yang berwenang yang sama-sama pro aktif untuk dapat segera bertindak,” tutur dia.
Dikatakan, Kementerian Sosial (Kemensos) mencanangkan, Indonesia akan bersih dari prostitusi 2019. Namun, kenyataannya, ini jauh dari target yang ingin dicapai. Kehidupan bersih prostitusi bila ada keseriusan dari Pemerintah menghapus prostitusi di segala area.
“Selama ini kerja yang dilakukan Pemerintah lebih kepada penindakan (kasuistik). Padahal pemberantasan prostitusi harus dimulai pada tindak pencegahan dari berbagai macam stakeholders. Dan pemerintah kita lalai dalam hal ini,” demikian Sultan Bachtiar Najamuddin. (akhir)