Jakarta, beritalima.com | Kehadiran artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kini sudah merajalela di segala aspek kehidupan. Tak terkecuali kehidupan umat beragama. Bahkan teknologi pintar ini telah masuk ke Gereja Protestan, Kuil Buddha di Jepang, dan Masjid Agung di Arab Saudi.
Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, mengatakannya dalam sambutan pada acara buka puasa bersama anggota Satupena dan Komunitas Puisi Esai, bertajuk Tadarus Puisi Ramadan, di Rumah Makan Al-Jazeerah, Polonia, Jakarta (15/3).
Denny JA, yang juga penggagas puisi esai ini, mengutip penerbitan The Conversation, September 2023, menceritakan apa yang terjadi di Gereja, Kuil, dan Masjid. Di gereja Protestan Paul Church pada, summer 2023, sebanyak 300 umat khusyuk mendengar khotbah agama dari pendeta berupa robot AI.
Hal yang sama terjadi di Kuil Kodai-ji Buddhist Temple di Jepang. Bahkan sejak 2019, peran AI sudah masuk kuil ini. Umat di sana kapan saja dapat meminta Biksu KANNON MINDAR, yang bertenaga artificial Intelligence, memberikan nasihat berdasarkan doktrin Buddha.
Di Masjid Agung di Saudi Arabia, sejak 2023, juga ditaruh robot AI, untuk melayani pertanyaan umat dalam 11 bahasa. Umat bisa meminta informasi siapa yang menjadi imam atau bisa juga meminta siraman rohani melalui pembacaan ayat-ayat AlQuran. Umat juga dapat berinteraksi via video dengan ulama lokal yang ada dalam list.
Di Vatican, Juni 2023, menerbitkan aturan etika setebal 140 halaman, tentang the Do’s and The Don’ts, apa yang boleh dan tak boleh, dalam menggunakan AI untuk tujuan pembekalan agama katolik. “Di agama Protestan, Budha, Islam dan Katolik penggunaan Artificial Intelligence semakin intens,” papar Denny JA.
Realitas di atas menimbulkan pertanyaan penting, ujar Denny, “Apakah akan datang era, peran ulama, pendeta, dan biksu akan digantikan oleh robot artificial intelligence?” Denny menguraikan latar belakang dari pertanyaan tersebut.
Pertama, kemampuan AI akan melampaui individu ulama manapun, pendeta manapun, biksu manapun, soal luasnya dan dalamnya informasi agama. Informasi yang dimasukkan ke AI mencakup, semua ayat dalam kitab suci, konteks sosial ketika teks itu lahir, perkembangan doktrin dari waktu ke waktu sepanjang sejarah, ceramah agama terbaik yang pernah ada, puisi- puisi religius terbaik yang pernah ditulis, dan kemampuan melayani umat dalam 40 bahasa internasional.
“Hal di atas mustahil dikuasai penuh oleh satu individu ulama manapun. Tapi AI bisa menguasainya, bahkan mengolahnya,” bahas Denny. Kedua, layanan 24 jam tanpa istirahat. Ulama, pendeta, dan biksu harus tidur, dan libur. Sementara AI bisa ditanya kapan saja, termasuk tengah malam, ketika umat susah tidur dan kesepian.
Ketiga, Ulama, pendeta, dan biksu dapat bias pada mazhab tertentu. Mereka cenderung mengikuti cara pandang satu aliran saja. Sedangkan AI, dapat memberikan pandangan perbandingan, dari berbagai interpretasi. Ia dapat pula mencari sisi universal dan abadi dari satu doktrin agama.
Denny mencontohkan Jalaluddin Rumi seraya bertanya,”Mengapa Rumi begitu terkenal bahkan di Amerika Serikat, melampaui penyair barat sendiri. Padahal Rumi sudah wafat 800 tahun?” Menurut Denny, hal itu terjadi karena Rumi mampu membawa pesan- pesan universal, melampaui sekat- sekat agama. “AI pun bisa diprogram demikian,” jelasnya.
Keempat, Ini hal yang penting, pada waktunya ulama, pendeta, dan biksu akan sakit dan mati seperti manusia lain. Tapi robot AI terus hidup karena ia bisa di-upgrade. Informasi yang dikuasainya bisa selalu ditambah dan di-update.
Jurnalis: Abriyanto