Kekuasaan Negara dan Monopoli Kebertuhanan

  • Whatsapp

PONOROGO – Sebelum masuknya agama-agama ‘impor’ ke Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu), masyarakat Indonesia sudah ber-Tuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Karena itu, tuduhan para penganjur “negara agama”, justru sangat ahistoris, sangat bertentangan dengan kenyataan sejarah.

Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa Dasar Negara Pancasila berakar pada kepribadian bangsa dalam rentangan perjalanan sejarahnya selama ribuan tahun yaitu sebagai bangsa yang luwes, toleran dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhanan yang lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang cenderung sektarian dengan sikap monopoli Kebertuhanan atau dalam bahasa ilmiahnya: “imperialisme doktriner”- yang membahayakan keutuhan bangsa, bahkan peradaban manusia.

Sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa, sebetulnya merupakan pengakuan (rekognisi) terhadap kehidupan dan kemerdekaan beragama rakyat Indonesia. Sayang, rumusan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”, seperti dipakai dalam UUD Proklamasi 1945, UUD RIS, dan UUDS 1950, membuka peluang penyangkalan (misrekognisi) terhadap penganut aliran kepercayaan atau agama-agama lokal nusantara yang lebih dulu hidup di Nusantara.

Dan itu terjadi di zaman Orde Baru. Dimulai dari Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1/PNPS/1965 junto Undang-undang Nomor 5/1969, yang menyebut enam agama yang dianut oleh rakyat Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun, Konghucu dipinggirkan di masa Orde Baru. Berdasar Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri tahun 1974, kolom agama di KTP harus diisi dengan pilihan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu ,dan Budha.

Lalu perlahan-lahan muncul istilah agama resmi dan tidak resmi. Di luar lima agama itu, hanya dianggap aliran kepercayaan saja, termasuk agama lokal. Padahal, menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, pernah ada 245 agama lokal di Indonesia. Karena tidak diakuinya agama lokal, muncul anggapan bahwa orang Indonesia tidak beragama sebelum abad pertama.

Menurut Parsudi Suparlan dalam buku ‘Agama Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis’ (1988), agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.

Mengacu pada definisi Parsudi Suparlan, jika agama itu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, maka tak hanya keenam agama yang diakui pemerintah yang layak disebut agama. Aliran kepercayaan pun layak disebut agama, bukan?

Sayang sekali, praktik misrekognisi warisan Orba itu masih terwariskan hingga sekarang. Jelaslah bahwa pembatasan terhadap hanya 6 agama yang diakui pemerintah,(dan ini semestinya di luar kewenangan pemerintah untuk mengu-rusinya) − jelas-jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tampak sekali “definisi agama” yang melatarbelakangi munculnya berbagai kebijakan diskriminatif terhadap agama nusantara adalah jelas-jelas definisi agama menurut agama tertentu. Misalnya, syarat-syarat bahwa agama harus mempunyai konsep Tuhan, Kitab Suci, dan Nabi adalah jelas-jelas definisi Islam. Diantara agama-agama semitik saja (Yahudi, Islam dan Kristen), konsep Nabi, Kitab Suci dan pe-wahyuan saja sudah berbeda, lebih-lebih lagi agama-agama non-Semitik, seperti Hindu dan Buddha.

Kondisi ini berangkat dari persinggungan antara kekuasaan negara dan keyakinan agama. Jika kekuasaan negara menjadi alat mayoritas untuk menguasai dan menancapkan legitimasi agama tertentu, maka hal ini akan menjadikan agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebagaimana ditulis Charles Kimball dalam ‘When Religion Becomes Evil’ (2002): “Alih-alih mengharapkan kedamaian dan keadilan yang menjadi muatan utama agama, malah sebaliknya, sakralitas agama pun dinodai oleh umatnya demi menuruti ambisi sesaatnya. Agama pun, menjadi semacam ‘makhluk’ menakutkan yang hanya menebar kejahatan (evil).”

Otoritas kekuasaan yang bersandar pada agama, atau sebaliknya, agama yang bersandar pada kekuasaan negara, hanya menjadikan negara berkuasa mutlak. Memutuskan sesuatu hal seenaknya, mengabaikan “yang lain” yang berbeda, serta menjadikan agama sebagai legitimasi kekuasaan belaka tanpa menciptakan keadilan bagi semua masyarakat.

Oleh : Wanda I. Ramadhan

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fitrah

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *