Jeritan: Yousri Nur Raja Agam
SAMPAI habis masa jabatannya sebagai walikota Surabaya, ternyata Tri Rismaharini, belum menepati janjinya. Walikota perempuan pertama di Kota Pahlawan ini, terbukti abai menjaga marwah kepahlawanan “Arek-arek Suroboyo”. Janjinya untuk kembali mengabadikan nama Proklamator Hatta atau Dr.H.Muhammad Hatta di Kota Surabaya, “maaf hanya omong kosong”.
Kendati, sekarang sudah menduduki jabatan Menteri Sosial Republik Indonesia, kalau tidak ada yang mengingatkan “pasti” Risma melupakan janjinya. Tentu Risma tidak bisa lagi bertindak seperti saat menjadi walikota. Nah, bagaimanapun “saya” tetap menagih janji Risma. Terserah bagaimana caranya.
Saya tetap “ngotot” agar nama Hatta, sebagai Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, diabadikan di Kota Pahlawan ini. Tindakan “cerai paksa” yang dilakukan Risma dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No.188.45/86/436.1.2/2011 mengganti nama Jalan Sukaro-Hatta menjadi, “hanya” Jalan Dr.Ir.H.Sukarno “saja”, harus “dicabut” kembali.
Maaf, saat Risma melakukan “cerai paksa” Dwitunggal Sukarno-Hatta itu, saya “menangis”. Walaupun saya waktu itu duduk sebagai Tim Pelacak Tempat Kelahiran Bung Karno di Surabaya, saya tidak setuju nama Sukarno dipisah dengan Hatta. Sebab, itu sebagai predikat Dwitunggal Proklamator.
Bersama sahabat saya Peter Apollonius Rohi, sesama wartawan senior yang ikut dalam grup Sukarno Institut, juga menyampaikan “protes” penghapusan nama Hatta di Jalan Sukarno-Hatta itu. Saya benar-benar sedih, sampai saya sertamerta menulis pesan singkat melalui telepon selular (HP) saya kepada Bung Sri Edi Swasono, mantan sekretaris Bung Hatta yang juga menantu mantan Wakil Presiden pertama RI di Jakarta.
Saya mendapat amanah dari keluarga Bung Hatta untuk mengembalikan nama Hatta sebagai pendamping Sukarno di Kota Pahlawan.
Ini tugas Walikota “baru” Surabaya, Eri Cahyadi bersama Wakilnya Armudji, untuk membuktikan “keberaniannya” mengembalikan nama Jalan Sukarno-Hatta sesuai “aslinya” Surat Keputusan Walikota Surabaya Bambang DH Nomor 188.45/501/436.1.2/2010 yang menetapkan nama Jalan Sukarno-Hatta di Kota Surabaya sepanjang 10.925 meter dari arah urara ke selatan.
Berawal dari pertigaan Jalan Kenjeran melintasi: Jl. Kalijudan, Jl. Mulyorejo, Jl. Dharmahusada Indah, Jl. Kertajaya Indah, Jl. Kertajaya Indah Timur, Jl Arif Rahman Hakim, Jl. Semolowaru, Jl. Semampir Kelurahan, Jl. Semampir Tengah, Jl. Semampir Selatan, Jl. Medokan Semampir, Jl. Kedung Baruk Raya/Jagir, Jl. Wonorejo/Jagir, Jl. Baruk Utara, Jl. Penjaringan Sari, Jl. Kedung Asem, Jl. Pandugo, Jl. Rungkut Madya, Jl. Gunung Anyar Tambak, hingga berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo.
Jalan ini dikenal dengan sebutan MERR (Midle East Ring Road) atau jalan lingkar timur bagian tengah.
Sebagai Dwi Tunggal Proklamator Kemerdekaan RI, nama Sukarno-Hatta tidak bisa dipisah. Sebagai Pahlawan kita memang sudah mengenal sapaan “Bung Karno” untuk Dr.Ir.H.Sukarno dan “Bung Hatta” untuk Dr.Drs.H.Muhammad Hatta.
Dengan percaya diri, seolah-olah yakin terpilih kembali menjadi walikota periode berikutnya, Risma menyatakan akan mengabadikan nama Dr.H Muhammad Hatta di jalan lingkar dalam Surabaya Barat atau MWRR (Midle West Ring Road). Ternyata, janji Risma itu tidak terwujud. Sekarang Risma sudah menduduki jabatan Menteri Sosial. Ia digantikan oleh pasangan Walikota-Wakil Walikota hasil Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak, 9 Desember 2020, Eri Cahyadi-Armudji.
Ditolak DPRD Kota Surabaya
Saya masih ingat dan menyatat serta mendengar sendiri, penetapan nama jalan Sukarno-Hatta di MERR itu, pada Sidang Paripurna DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya, tanggal 20 April 2010. Waktu itu, Armudji adalah Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya (masabakti 2009-2014).
Saya juga masih ingat, saat Tri Rismaharimi melakukan “cerai paksa” Dwi Tunggal Sukarno-Hatta, tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya itu, beberapa anggota DPRD Kota Surabaya, menolak. Bahkan dengan nada “marah” menyatakan tidak setuju.
Dalam rapat Pansus Pengubahan Nama Jalan DPRD Surabaya, Eddy Budi Prabowo anggota pansus dari Fraksi Partai Golkar mengatakan walikota Surabaya, jangan terburu-buru mengubah nama jalan itu.
Alasannya, nama dua proklamator secara historis adalah satu kesatuan. Memisahkannya jadi dua nama jalan berbeda dapat menimbulkan polemik, apalagi saat ini tensi politik di Surabaya meninggi.
Maduki Toha, anggota Pansus dari FKB menilai tindakan Walikota Risma itu terburu-buru. Masduki sudah mengingatkan, belum tentu jalan lingkar Barat bisa cepat dibangun.
“Bahkan bisa saja tidak dibangun. Jika ini terjadi, maka hanya ada nama Jl.Sukarno. Kasihan Bung Karno sendirian tanpa Bung Hatta,” katanya.
Masduki bersikukuh tetap Jalan Sukarno-Hatta. Kalau diubah, ia mengusulkan agar nama jalan menjadi Jl. Soekarno-Hatta Timur, sehingga kalau nanti dibangun lingkar Barat, bisa disesuaikan jadi Jl. Soekarno-Hatta Barat, ulas Masduki.
Cak Narto Sangat Peduli
Para petinggi atau pejabat Pemkot Surabaya masa jabatannya sangat terbatas. Sehingga kadangkala abai menyesuaikan diri dengan julukan Surabaya Kota Pahlawan.
Mereka lamban mengabadikan nama para pahlawan di kota ini. Nama sang Proklamator Sukarno-Hatta, sampai sekarang masih saja jadi polemik
Maaf, saya berulangkali mendesak agar nama “dwitunggal” itu diabadikan menjadi nama jalan di Kota Surabaya. Pada zaman Orde Baru, saat nama Sukarno “dianggap tabu” disebut. Namun saya memberanikan diri, menyambut Hari Pahlawan, tanggal 9 November 1989, saya menulis artikel di Harian Surabaya Post, judulnya,
Pemikiran di Hari Pahlawan:
Nama Soekarno-Hatta Belum
Diabadikan di Kota Pahlawan
Tulisan saya itu cukup panjang, dari Halaman 4 bersambung ke Halaman 10. Memang, tulisan saya itu, tidak hanya menyampaikan usul agar nama Soekarno-Hatta diabadikan di Surabaya. Tetapi, juga saya sisipkan sekitar 100 nama Pahlawan Nasional dan pejuang 10 November 1945, agar diabadikan di Kota Pahlawan.
Ternyata, gara-gara menulis artikel itu, saya didatangi staf intel Kodam VIII Brawijaya. Saya diinterogasi, latar belakang penulisan, sampai riwayat hidip saya. Setelah saya jelaskan ketulusan hati saya menghormati Dwitunggal Proklamator Sukarno-Hatta itu, sang intel bisa menerima. Apalagi, dalam riwayat hidup saya, orangtua saya adalah Veteran Pejuang dan Angkatan 45, serta saya sendiri adalah aktivis Angkatan 66 anggota KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Jadi, tidak perlu mereka ragukan. Bahkan, akhirnya saya bersahabat dengan keluarga besar Kodam VIII (kemudian jadi Kodam V) Brawijaya, karena saya juga anggota Pemuda Panca Marga (PPM) dan Golkar.
Walikota Surabaya waktu itu, dr.H.Poernomo Kasidi yang juga akrab dengan saya, saya beri fotokopi artikel di Surabaya Post itu. Setelah membaca judulnya, dengan setengah berbisik, walikota berpangkat kolonel TNI-AD, itu mendekap saya, mengatakan “belum waktunya”. Bisa-bisa saya dicopot, kata Pak Poer sembari tersenyum.
Setelah selesai berurusan dengan intel, kemudian mendapat sambutan dingin dari walikota Surabaya, saya tidak putus asa. Artikel dengan nada dan tema yang sama, namun judul berbeda, saya kirim ke berbagai media, termasuk yang saya pimpin. Di antara media yang pernah memuat artikel saya itu adalah: Surabaya Minggu, Jatim Pos, Tabloid Teduh, Palapa Post, Bhirawa Minggu, Harian Jayakarta dan juga beberapa media siber.
Kemudian, di saat Walikota Surabaya dijabat oleh H.Sunarto Sumoprawiro, saya cukup dekat dengan pria yang akrab disapa Cak Narto itu. Saya sampaikan beberapa artikel tentang usul agar di Surabaya mutlak ada Jalan Sukarno-Hatta. Spontan Cak Narto setuju dan peduli. Saking semangatnya, Cak Narto langsung menyebut yang paling pas, mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Kalau perlu, diteruskan sampai Jalan Basuki Rachmat dan Embong Malang, katanya.
Buatkan Siaran Pers, besok bersama Humas saya sampaikan kepada wartawan, ujar Cak Narto.
Siaran Pers yang dibagikan kepada wartawan tanggal 29 Maret 2001 itu, ditandatangani langsung oleh Walikota Surabaya H Sunarto Sumoprawiro. Judulnya: Penggantian Nama Jalan Raya Darmo Menjadi Jalan Sukarno-Hatta.
Tidak kurang sepuluh suratkabar lokal dan nasional tanggal 30 Maret 2001, menulis tentang pokok pikiran Cak Narto yang menyatakan akan mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta.
Hari-hari betikutnya, polemik menjadi-jadi, antara yang pro dan kontra. Dr Roeslan Abdulgani, tokoh arek Suroboyo, yang akrab dengan sapaan Cak Ruslan itu, ikut mendukung. Bahkan nenulis, bahwa Darmo itu, bukan nama siapa-siapa. Bukan tokoh arau pahlawan. Dasar penolakan adalah masalah administratif. Sebab, kalau ganti nama, berarti mulai KTP, sertifikat tanah dan rumah, alamat ganti semua. Repot dan mahal, begitu antara lain kata yang kontra.
Bambang DH Mewujudkan
Nah, akhirnya pada saat Walikota Surabaya, Bambang Dwi Hartono, barulah nama Jalan Sukarno-Hatta terwujud. Bambang DH menerbitkan SK Nomor 188.45/501/436.1.2/2010 yang menetapkan nama Jalan Sukarno-Hatta di Kota Surabaya sepanjang 10.925 meter dari arah utara di pertigaan Jakan Kenjeran mengarah ke selatan samoai perbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo.
Entah menerima “bisikan” dari siapa, Tri Rismaharini memerintahkan stafnya mencabut plang nama Jalan Sukarno-Hatta di sepanjang MERR. Lalu diganti dengan nama Jalan Dr.Ir H Sukarno.
Konon perubahan nama itu, gara-gara mendengar nama Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, Jakarta, sering disingkat “Soeta”. Kabar “burung” yang itu berkicau, membuat Risma khawatir nanti Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya itu, juga disingkat Jalan Suta atau Soeta.
Rupanya Risma tidak kuat dengan desakan agar mengembalikan nama Hatta diabadikan di Kota Pahlawan. Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 45 Jawa Timur dan Kota Surabaya memberi ultimatum kepada Risma agar nama Sukarno-Hatta tidak dipisah.
Ketua DHD Angkatan 45 Jatim, Kol (Purn) Drs.Soeryadi Setiawan bersama beberapa pengurus lainnya, tetap minta menyatukan kembali nama Sukarno-Hatta.
Kabarnya Risma bersikukuh. Tahun 2019 lalu, Risma memastikan, akan mewujudkan Jalan Dr.H.Muhammad Hatta. Proyek jalan lingkar barat yang sudah digarap itu, akan diberi nama sang proklamator pasangan Bung Karno.
Bahkan Risma juga akan memindahkan Jalan Bung Tomo yang ada Jalan Ngagel sekarang ini ke kawasan dekat Gelora Bung Tomo. Termasuk akan mengabdikan beberapa nama Pahlawan Nasional lainnya. Di antaranya: Jalan Hasanuddin, KH.Idham Chalid, Pangeran Antasari, Cut Nyak Dien dan KH Wahab Hasbullah.
Pemberian dan perubahan nama jalan di Surabaya Barat itu, kabarnya sudah disosialisadikan dengan Surat Edaran Walikota Surabaya nomor 020/10946/436.75/2019. Setahun sudah umur SE itu, tetapi realisasinya belum jelas.
Kini, Tri Rismaharini sudah meninggalkan jabatannya. Nah, apakah masalah “penghilangan” nama Hatta di Kota Pahlawan, akan mentah kembali?
Saya bersama Masyarakat Minang, Sumatera Barat di Jawa Timur dan Pengurus DHD Angkatan 45 Jawa Timur, serta Kota Surabaya, minta kepada Walikota Eri Cahyadi dan Wakil Walikota Armudji untuk mengembalikan nama Proklamator Hatta, bergandengan dengan Sukarno. Hal yang sama juga kami harapkan kepada DPRD Kota Surabaya. (*)