JAKARTA, Beritalima.com– Kenaikan Iuran Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan seperti tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No: 75/2019 tentang Perubahan atas Perpres No: 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan dinilai tidak akan mampu mengatasi defisit anggaran BPJS Kesehatan.
Itu disampaikan Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) Hery Susanto melalui siaran pers di Jakarta (6/11).
Perpres itu mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Untuk kelas tiga menjadi Rp 42.000/bulan, kelas dua Rp 110.000 dan kelas satu Rp 160.000/bulan.
Iuran ini berlaku per Januari 2020.
Menurut Hery, Perpres itu hanya bersifat tambal sulam demi membayar hutang BPJS Kesehatan atas klaim dari faskes dan RS yang mencapai Rp321 triliun tahun ini.
“Perpres itu hanya bisa untuk sementara waktu dalam mengatasi utang BPJS Kesehatan, paling tidak hingga akhir tahun ini Rp 15 triliun dari iuran segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui APBN dan APBD. Selebihnya berharap dari efek kenaikan iuran peserta mandiri tiap kelasnya,” kata Hery.
Menurut Hery, masalah defisit BPJS kesehatan harus dilakukan secara holistik, tidak tambal sulam. Kebijakan pemerintahan Jokowi masih tambal sulam, atasi defisit dengan cara menaikkan iuran JKN hanya akan menambah beban warga.
“Defisit terjadi karena design JKN yang sudah keliru sejak awal oleh BPJS Kesehatan,” kata Hery.
Untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, mestinya dilakukan pembenahan pola kebijakan distribusi kapitasi peserta BPJS kesehatan karena masih dimonopoli faskes I pemerintah.
“Distribusi kapitasi peserta PBI BPJS Kesehatan harus proporsional dan berkeadilan. Distribusi kapitasi peserta BPJS kesehatan PBI rawan dikorupsi,” ucap Hery.
Kedua, perbaikan pola pembayaran klaim BPJS kesehatan yang transparan dan akuntabel. Pola INA-CBG’s mesti diperbarui. Untuk hindari klaim fiktif.
Ketiga, perlu dilakukan data cleansing peserta PBI BPJS kesehatan yang merupakan warga miskin dibayar melalui APBN dan APBD.
Peserta PBI banyak yang tidak tepat sasaran. “PBI ini peserta BPJS kesehatan yang paling banyak gunakan klaim. Peserta PBI APBN 96.7 juta orang dan PBI APBD 31 juta orang,” jelas Hery.
Keempat, hapus sistem kelas BPJS kesehatan. Cukup kelas standar saja tidak ada kelas 1, 2 dan 3. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jika ingin naik layanan kelas harus top up sendiri.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan tak berefek atasi defisit justeru akan menambah peserta menunggak iuran. Ini akan menambah rumit JKN. Sanksi pelayanan sudah berlaku sebelum iuran naik. Tapi sanksi administrasi tidak mendapatkan pelayanan publik itu masih jauh panggang dari api. Perangkat hukum nya belum jelas dan akan mendapat protes keras warga.
“Sikap warga saat ini nampaknya akan banyak gerakan turun kelas. Itu buat yang mampu, bagi yang tidak mampu ya akan menambah jumlah peserta menunggak saja,” demikian Hery Susanto. (akhir)