TERNATE, Beritalima.com – Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dikepung puluhan massa aksi yang menamakan diri Front Pemberantasan Kejahatan Korupsi (FPKK), Rabu (2/5/2018). Massa yang terdiri atas DPD Laskar Anti Korupsi (LAKI) Malut, LSM LPR-MU, Parade-MU, dan Barisan Pemuda Pelopor (BAPPOR) Kepulauan Obi itu mendesak penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran hukum yang saat ini sudah sampai ke meja Kejati. Para demonstran ini menggunakan satu unit truk yang dilengkapi sound system.
Penyelesaian kasus yang dituntut FPKK adalah dugaan illegal logging yang dilakukan PT Poleko Yubarson di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Juga beberapa kasus lain di Obi yang telah dilaporkan ormas LAKI Malut ke Kejati 9 Maret lalu.
Dalam orasinya, Koordinator Lapangan Fisno La Halidi mendesak Kejati agar segera menuntaskan dugaan korupsi pembangunan infrastruktur penanggulangan bencana di Obi. Terutama pembangunan kembali jembatan Jikotamo dan penataan sungai. “Sungai di Obi melebar akibat banjir dan dapat mengancam pemukiman warga. Sedangkan pembangunan bronjong penahan arus dan sejumlah infrastruktur lain diduga bermasalah. Permasalahan itu sudah dilaporkan ke Kejati Malut. Maka hari ini kami datang untuk mempertanyakan sudah sejauh mana laporan kami diproses,” ungkapnya.
Sementara Wakil Ketua DPD LAKI Fahri Sumarto menegaskan akan membawa kasus tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi melalui DPP LAKI jika Kejati lambat menindaklanjutinya. “Kami menuntut ketegasan dan keseriusan sikap Kejati terhadap pemberantasan korupsi di Malut,” ujarnya.
Koordinator BAPPOR M. Risman Boti menambahkan, pihaknya bersama FPKK bakal terus mengawal kelanjutan kasus tersebut. Pasalnya, pembangunan infrastruktur yang bermasalah di Obi hanya membuat masyarakat makin sengsara. “Kami bersatu untuk sama-sama berjuang melawan kejahatan korupsi, terutama di Kepulauan Obi, Halmahera Selatan. Dan BAPPOR Kepulauan Obi akan terus mengawal hingga tuntas, apakah akan diselesaikan di Kejati Malut atau di KPK RI,” tandasnya.
Laporan LAKI Malut ke Kejati sendiri tak lepas dari kecurigaan akan ketidakjelasan penggunaan dana penanganan bencana senilai Rp 3,636 miliar yang dialokasikan melalui APBD Halsel 2017. Pasalnya, jembatan Jikotamo yang telah dua tahun ambruk akibat banjir tak juga dibangun kembali. Sebagai gantinya, BPBD Halsel membangun bronjong melintasi sungai. Proyek senilai Rp 480 juta itu disebut LAKI tak melalui tender dan tak sesuai spesifikasi sebagai sarana penyeberangan. Saat ini, bronjong itu telah tenggelam dan hanya dapat dilewati kendaraan berat seperti truk.
Tak hanya soal jembatan, sejumlah proyek pasca banjir milik BPBD di Obi juga dipertanyakan. Yakni rehabilitasi plat deker gerbang MTQ Laiwui senilai Rp 200 juta, rehabilitasi plat deker lapangan MTQ Laiwui Rp 200 juta, rehabilitasi plat deker Dusun Turi Rp 200 juta, rehabilitasi dan rekonstruksi plat deker kuburan Akegula Rp 139 juta, dan rehabilitasi dan rekonstruksi Pasar Laiwui Rp 140 juta.
Ada pula proyek rehabilitasi dan rekonstruksi drainase primer Desa Buton dan Dusun Turi senilai Rp 420 juta, rehabilitasi dan rekonstruksi talud sungai Desa Laiwui Dusun Turi Rp 1,2 miliar, pekerjaan timbunan penahan ombak Desa Anggai Rp 200 juta, pembangunan drainase plat deker Desa Laiwui Rp 200 juta, pembangunan teluk pantai Soligi Rp 200 juta, serta pembangunan plat deker Desa Buton Rp 200 juta.
Sementara PT Poleko Yubarson digugat lantaran dituding sebagai penyebab banjir bandang di Obi. Perusahaan kayu itu selama ini melakukan aktivitas penebangan di hutan di belakang Desa Jikotamo, Akegula, Buton, Laiwui, dan Kampung Baru. Penebangan kayu bulat juga dilakukan hingga bibir sungai.
Selain itu, sisa-sisa kayu bulat dibiarkan Poleko tertumpuk di ruas sungai Desa Buton. Aktivitas perusahaan pemegang SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 962/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 itu juga disebut menyebabkan saluran air tertutup lantaran dijadikan jalan pengoperasian perusahaan. (iel)