Keringat Lelah Sang Ayah

  • Whatsapp

beritalima.com | Kerut wajah saat tiba di rumah menandakan usaha Ayah yang memang tidak mudah. Ayah menunjukkan tanpa mengajarkan apa artinya pantang menyerah. Mungkin, peluh dan tampang lusuh menggambarkan secara utuh. Kesulitan dan rintangan yang ia hadapi tak mungkin ia ceritakan. Mungkin makan yang cukup dan kebahagiaan yang berturut menjadi tolak ukur keberhasilan Ayah bagi keluarganya di rumah.

Sikap yang lemah lembut membuatku tak rela kebahagiaannya terenggut. Usahaku hanya menjadi anak berbakti hingga ia tua nanti. Terkadang, rasa syukur tidakku terapkan untuk sekadar menghargai setiap keringat yang ia teteskan. Nasihat-nasihat yang terkadang aku abaikan, di kemudian hari akan menjadi penyesalan. Niatnya pasti baik, karena ia tak mungkin munafik. Mimpi agar anaknya menjadi yang terbaik, ia terapkan di setiap detik ia berkutik. Tak terhitung jasa-jasa Ayah yang tak kenal henti ia kasih tanpa mengenal rasa pamrih.

Teringat suatu ketika saat Ayah sakit, hanya sekadar menginjak-injak tubuhnya untuk dipijit aku pun menolak seolah itu pekerjaan rumit. Padahal, tak terhitung semenjak bayi berapa kali ia merawatku tanpa mengharpkan balas budi. Ayah selalu menyempatkan waktu di sela kesibukannya, saat kecil dan kondisiku yang masih ringkih, mungkin ia tak tega mendengar suaraku yang merintih. Ia mengantarku ke klinik di saat kondisi tubuhku sedang pelik. Keamanan dan kenyamanan merupakan jaminan dari Ayah yang tak tergantikan.

Bahkan hingga saat ini, ragamu tetap lebih kuat dariku. Tubuhku masih dengan kondisi yang sama, lemah dan ringkih. Usia bukan menjadi tolak ukur yang nyata. Nyatanya, kau masih sehat dan bugar, dibanding aku yang selalu merintih walaupun kini beranjak besar. Aku tak percaya superhero, fiksi kusebutnya. Sosok Ayah adalah bentuk nyata yang tak bisa kusandingkan dengan karangan khayalan belaka. Bahkan kata pahlawan pun tak cukup mulia untuk penjulukan Ayah karena terlalu besar jasanya.

Memang ia tak mengandung dan melahirkan seperti Ibu. Namun, tidak dapat disamakan dengan persis bila memperhitungkan peranan Ayahku. Mengantarku setiap pagi ke sekolah, merupakan rutinitasnya yang lumrah. Bagiku, cium tangan di depan pintu gerbang sekolah merupakan tanda ilmuku akan dilimpahi berkah. Uang saku yang ia berikan padaku, kusimpan sebagian agar menyenangkan Ayaku. Ia pasti suka jika sejak kecil, anaknya ini sudah gemar menabung.

Ayah selalu suka jika aku memamerkan pencapaianku di depannya. Bila ia sedang bersamaku dan bertemu dengan orang-orang, ia dengan bangga menceritakan keberhasilanku ke mereka. Satu kejadian yang selalu kuingat dalam benak, ayahku sangat antusias saat bercerita keunggulan yang ada dalam diriku kepada orang tua yang kebetulan ayah dari teman kelasku. Ia tak mau kalah jika anaknya ini sedikit pun di pandang rendah.

Danar Jatikusumo
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Program Studi Jurnalistik

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *