SURABAYA, beritalima.com | Sejak pandemi COVID-19 masuk ke Kota Pahlawan, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama jajaran samping langsung mengambil langkah cepat untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus tersebut. Bahkan, jajaran di tingkat kecamatan dan kelurahan juga bersinergi dengan kepolisian dan TNI bergerak bersama menyelesaikan pandemi COVID-19.
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya pada Kamis, (21/5/2020) menyebutkan, terdapat 10 kecamatan di Surabaya yang mengalami kasus tertinggi Covid-19. Yakni Kecamatan Rungkut 180, Krembangan 172, Tambaksari 101, Sawahan 87, Wonokromo 85, Gubeng 76, Bubutan 73, Mulyorejo 58, Tegalsari 55 dan Sukolilo 54. Sedangkan di tingkat kelurahan, 10 kasus tertinggi COVID-19 berada di Kelurahan Kemayoran 113, Kalirungkut 75, Kedung Baruk 61, Jepara 40, Ngagel Rejo 39, Banyu Urip 37, Mojo 31, Morokrembangan 27, Mulyorejo 26 dan Ketintang 24.
Wilayah Rungkut dan Krembangan ditetapkan sebagai dua kecamatan tertinggi kasus penyebaran Covid-19 di Surabaya. Meski Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimcam) bersama jajaran kelurahan setempat terus bekerja maksimal, namun upaya yang dilakukan ini juga tak lepas dari berbagai kendala ketika di lapangan.
Camat Rungkut Surabaya, Yanu Mardianto bercerita bagaimana upaya dan kendala yang selama ini dialaminya dalam memutus mata rantai virus itu. Ketika terjadi pandemi dan bertepatan dengan awal pelaksanaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Surabaya, pihaknya masif melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Baik itu di wilayah perkampungan, perumahan, pasar maupun pertokoan.
“Kita lakukan sosialisasi kepada pemilik warung dan pengusaha terkait aturan apa saja yang boleh dan tidak saat PSBB. Khususnya protokol kesehatan yang harus disiapkan, oleh tempat usaha yang boleh buka ketika PSBB,” kata Yanu Mardianto, Sabtu (23/05/2020).
Namun begitu, dalam prosesnya itu, Yanu Mardianto mengaku menemui berbagai kendala di lapangan. Kendala yang ditemui pun bervariatif. Ada ketika orang diajak berkomunikasi itu memahami, namun ada pula yang masih merasa acuh. Meski begitu, pihaknya tak menyerah untuk tetap menyampaikan kewajiban kepada masyarakat. “Kewajiban kita tetap menyampaikan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka paham terhadap aturan-aturan PSBB. Ketika ada yang melakukan pelanggaran juga kita tindak,” tegasnya.
Selain masif melakukan sosialisasi langsung bersama jajaran samping, pihaknya bersama puskesmas juga aktif melakukan tracing di lapangan. Ketika diketahui ada warga yang confirm COVID-19 dan masih berada di rumah, maka ia berkolaborasi dengan RT/RW dan PSM (Pekerja Sosial Masyarakat) untuk menghubungi warga itu agar mau dilakukan penjemputan dan diarahkan ke rumah sakit. “Sedangkan keluarga yang ditinggalkan, maka dia menjadi tanggungan kita untuk mendapatkan permakanan, karena dia harus isolasi mandiri. Sebab, begitu ada satu keluarga yang confirm, maka dalam satu keluarga itu masuk ODP (orang dalam pemantauan),” terangnya.
Di samping menemui kendala saat memberikan edukasi kepada masyarakat terkait penerapan PSBB, Yanu Mardianto juga mengaku memiliki banyak kisah menarik ketika menangani pasien COVID-19. Seperti data pasien COVID-19 tidak match di lapangan hingga pasien itu sudah pindah namun masih terdata tinggal di alamat yang lama. “Makanya kita pakai adalah tracing dari pemilik kos yang lama. Kalau tidak dicari maka potensi penularan semain besar. Karena itu kita terus cari yang bersangkutan, jika sampai tidak ketemu maka kemudian kita sampaikan bahwa orang itu sudah tidak tinggal di alamat tersebut,” katanya.
Yanu Mardianto juga menyatakan, bahwa upaya yang dilakukan ini, membutuhkan peran serta tiga pilar, baik di kecamatan maupun kelurahan. Apalagi ketika menghadapi orang yang susah pemahamannya, maka peran tiga pilar ini yang akan bekerja untuk meyakinkan orang tersebut. “Nah, pengertian-pengertian itu juga yang kita perkuat di jajaran RT/RW dan PSM untuk melakukan itu,” terangnya.
Menurutnya, agak dilematik juga ketika menghadapi orang-orang seperti itu. Sebab, di satu sisi, dimungkinkan juga bagi orang tanpa gejala (OTG) melakukan isolasi mandiri di rumah dengan memenuhi syarat tempat tinggal. Tapi, bagi mereka yang mengajukan isolasi mandiri namun tempatnya tidak memungkinkan, maka ia akan mengambil langkah persuasif agar orang itu mau dirawat di hotel, rumah sakit atau lokasi isolasi lain yang telah ditentukan. “Jadi kita bersama RT/ RW dan PSM yang memberikan edukasi kepada orang tersebut agar mau dirawat di rumah sakit,” kata dia.
Upaya memutus mata penyebaran COVID-19 rupanya juga mendapat dukungan masyarakat. Karena itu, warga di wilayah Kecamatn Rungkut memberlakukan one gate system dan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus itu. Mereka berjaga secara bergiliran dan swadaya di setiap pintu-pintu masuk kampung. Jika ada warga yang datang dan bukan berasal dari wilayah itu, maka orang tersebut akan ditanya terlebih dahulu keperluannya apa. “Jadi siapapun yang masuk harus disemprot, di-thermo gun, ditanya apa keperluannya. Kalau misalnya keperluannya hanya melintas, itu kita minta dia untuk memutar tidak lewat jalur itu, untuk mencegah penyebaran COVID-19,” tuturnya.
Berbagai kendala itu, rupanya tak hanya dialami jajaran di wilayah Kecamatan Rungkut Surabaya. Camat Krembangan, Agus Tjahyono juga mengaku mengalami hal serupa. Salah satunya saat pihaknya bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) akan menggelar rapid test massal. Saat pelaksanaan rapid test, rupanya banyak warga yang tiba-tiba menghilang dari rumahnya.
“Jadi pada saat rapid test ini banyak yang hari H itu mereka menghilang dari kampungnya. Ibaratnya sekitar 50 orang di rapid test pada saat itu, yang datang itu hanya sekitar 30 orang. Jadi 20 di antaranya itu ternyata saat kami cari di rumahnya itu tidak ada,” kata Agus.
Informasinya, kata Agus, sepertinya mereka takut di-rapid test. Karena itu, kemudian ia mengambil strategi lain agar warga yang dinilai rentan COVID-19 ini bisa dilakukan pemeriksaan rapid test. Nah, untuk itu ia mengambil langkah door to door dalam pelaksanaan rapid test tersebut. “Jadi pada saat kami melakukan rapid test, kami langsung melakukan test door to door dengan tidak memberitahukan sebelumnya,” katanya.
Tak hanya menemui kendala saat pelaksanaan rapid test massal. Agus mengakui, saat proses mobilisasi warga ke rumah sakit untuk dilakukan isolasi pun juga demikian. Meski tak banyak, namun ada saja warga yang menolak saat dirawat dan diisolasi ke rumah sakit. Alasan mereka pun bervariatif, seperti ingin isolasi mandiri di rumah karena ada anak dan istri sendirian di rumah.
“Jadi ada yang mereka ingin isolasi mandiri saja. Kemudian ada alasan keluarga dan anak sendirian di rumah. Tapi akhirnya kami memobilisasi warga yang bersedia. Kemudian besoknya baru kita treatmen orang-orang yang menolak itu akhirnya mereka mau,” ungkapnya.
Bahkan, untuk meyakinkan warga agar mau isolasi di rumah sakit, Camat Krembangan juga melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat. Upaya ini dilakukan sebagai langkah persuasif untuk meyakinkan warga tersebut.
“Otomatis kita membutuhkan bantuan tokoh masyarakat dan warga setempat. Supaya mereka juga memberikan bantuan bahwa apa yang dilakukan ini untuk kebaikan. Kalau misalkan dia (confirm COVID-19) masih di situ (rumah), otomatis dia pasti keluar beli kebutuhan apa dan dimungkinan akan menularkan ke yang lain,” pungkasnya. (*)