Banyuwangi, beritalima.com – PT Bumi Suksesindo, perusahaan tambang emas yang beroperasi di Tumpang Pitu, Kabupaten Banyuwangi, bekerja sama dengan sekelompok anak muda di Desa Siliragung, Kecamatan Siliragung, berhasil membuktikan, pengolahan sampah berkelanjutan bukanlah angan-angan.
Bersama Komunitas Pemuda Etan Gladak Anyar (PEGA) Indonesia, PT BSI membangun tempat pengolahan sampah organik. “Kami memberikan fasilitas tempat atau kandang untuk produksi maggot,” kata Bahtiar Majid dari Community Empowerment PT BSI.
BSI juga memberikan kendaraan untuk mengangkut sampah dari rumah-rumah dan warung-warung. Perusahaan memfasilitasi akomodasi saat menjadi narasumber di sejumlah kawasan, seperti di instansi daerah dan kampus.
BSI terkesan dengan kegelisahan para anak muda ini. Sundarianto, Ketua PEGA Indonesia, galau setiap kali gagal memancing dan menjala ikan di sungai. Mereka hanya berhasil menjaring sampah. Dari sana, ia dan kawan-kawannya berniat untuk mengabdikan diri merawat lingkungan dan membersihkan sampah-sampah itu.
Mereka tidak memikirkan keuntungan apapun dari pengolahan sampah tersebut dan hanya melakukannya sambil belajar. “Tujuan sosial kami untuk mengolah sampah. Kalau bukan kita siapa lagi,” kata Sundarianto. Tujuan profit semakin jauh, karena berdasarkan sejumlah orang, keuntungan dari pengolahan sampah menjadi kompos sangat sedikit.
Belakangan, ada yang menyarankan pemakaian larva lalat tentara hitam (maggot) untuk mengurai sampah organik. Sundarianto tertarik dan mulai mempelajari secara otodidak segala sesuatu mengenai maggot ini. Internet menyediakan semua informasi yang dibutuhkan.
Namun memulai pengolahan sampah organik dengan maggot tak murah. Tahun 2017, harga bibit magot mencapai Rp 30 ribu per gram. “Kelompok kami tidak mampu. Maka kami memancing lalat dari alam dan mengumpulkannya untuk dibudidayakan,” kata Sundarianto. Mereka baru membudidayakan maggot BSF pada 2018.
Sundarianto dan kawan-kawan sempat menghadang truk operasional logistik PT BSI yang biasa melintasi desa untuk menarik perhatian perusahaan agar membantu usaha pengolahan sampah tersebut. “Kami nekat saja, Mas,” katanya.
PT BSI terkesan dengan tekad anak-anak muda yang dipimpin Sundarianto. Bukannya merepresi gerakan anak-anak muda ini, perusahaan justru sepakat membantu PEGA Indonesia pada 2018. Direktur PT BSI Riyadi Effendi menegaskan kembali komitmen untuk memastikan kehadiran perusahaan dan kegiatannya bisa bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan seluruh pemangku kepentingan. “Ini wujud Pasal 33 UU 45 semua kegiatan pertambangan untuk kemaslahatan dan kepentingan masyarakat,” katanya.
Melalui program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM), PT BSI berhasil mewujudkan banyak hal. “Kami mengembangkan binaan PT BSI yaitu peternakan maggot untuk pakan ternak berkualitas tinggi, memanfaatkan limbah organik yang ada di PT BSI,” kata Riyadi.
Setiap bulan diadakan pertemuan antara PT BSI dan PEGA Indonesia untuk mengurai persoalan dan mencari solusi, termasuk soal kendala produksi seperti kurangnya pakan dan sampah. “Kami ingin budidaya maggot ini berkembang,” kata Bahtiar.
Setiap pekan, Sundarianto dan kawan-kawan mengolah kurang lebih tiga ton sampah organik. Mereka rata-rata memproduksi satu kuintal maggot fresh per minggu. “Kalau kebanyakan sampah limbah dapur, hasilnya pupuk padat,” kata Sundarianto.
Ada lima produk yang bisa diperoleh dari pengolahan sampah organik ini, yakni maggot fresh untuk pakan ikan dan unggas, maggot kering untuk pakan hewan hias, pupuk padat untuk tanaman, pupuk cair untuk dekomposer dan mengurangi amoniak lingkungan, dan insektisida organik untuk mengusir hama tanaman. Semuanya berbahan baku sampah yang berasal dari PT BSI dan warga sekitar.
Saat ini pasar yang disasar baru lokal Siliragung dan sekitarnya. Mereka belum berminat untuk melebarkan sayap ke luar wilayah. “Alhamdulillah, kami sampai kekurangan produksi persediaan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan sendiri,” kata Sundarianto. Dari sini PEGA Indonesia bisa menghidupi kelompok secara mandiri.
PEGA sempat kesulitan bahan baku pada medio 2018-2020. Masalah bahan baku mulai teratasi setelah Sundarianto lebih massif mengambil sampah rumah tangga. Mereka menukar tempat sampah warga yang berisi sampah organik setiap kali mengepulnya, sehingga rumah warga senantiasa bersih.
“Teman-teman belum berani ambil sampah ke perumahan, produksi pun minim. Kami mengadakan pertemuan, mencoba mencari solusi. Bagaimana kalau kita jemput bola datang ke perumahan, menawarkan jasa pengangkutan sampah dan mendatangi warung-warung untuk menawarkan pemungutan sampah,” kata Bahtiar.
Saat ini ada seratus keluarga yang menyalurkan sampah kepada PEGA, dari semula hanya 15 keluarga. Selain itu PEGA juga mengambil limbah pertanian berupa buah semangka dan buah naga yang rusak saat dipanen. Namun mereka masih belum maksimal dalam mengolah sampah. Rumah pengolahan PEGA yang difasilitasi BSI bisa mengolah dua ton sampah per hari. Namun mereka baru mendapatkan tiga ton sampah per pekan.
“Kami akhirnya ,mengurangi produksi dan lebih banyak memproduksi telur daripada maggot fresh. Jadi kalau sudah dewasa, maggot tidak dikasih makan, lalu akan menjadi lalat dan menghasilkan telur. Telurnya untuk siklus lagi dan kami jual. Kemarin kami menyuplai per hari 1 ons untuk membantu budidaya maggot dalam skala bisnis. Kami jual Rp 2.500 per gram,” kata Sundarianto.
Kendati bermanfaat untuk lingkungan, pusat pengolahan sampah organik ini sempat memicu protes warga sekitar pada 2020. Apalagi kalau bukan karena bau. Sundarianto ingat benar bagaimana puluhan warga kampung sebelah mendatanginya. “Kami disuruh pindah dari tempat ini,” katanya.
Sundarianto pun berusaha meyakinkan warga bahwa akan berupaya keras untuk meminimalisasi bau yang muncul. Ia memperkenalkan kepada warga soal pengolahan sampah yang ramah lingkungan. “Kalau sampai rumah masih bau, monggo datang lagi. Alhamdulillah, sampai rumah, warga tidak komplain lagi karena bau sudah teratasi,” katanya.
Demo tidak sekali terjadi. Pertengahan 2021, warga juga berunjuk rasa. Namun semua bisa diselesaikan dengan dialog. “Kami berusaha meyakinkan warga. Pengolahan sampah di sini beda dengan di tempat pembuangan sampah. Bau berasal dari sampah organik, dan ini kami mengolahnya,” kata Bahtiar.
PT BSI dan PEGA sigap merespons protes warga yang mayoritas belum teredukasi soal pengolahan maggot. “Kami ada treatment khusus ketika ada bau. Bau tidak sampai berhari-hari seperti kalau sampah menumpuk di jalan,” kata Bahtiar.
Kerja keras Sundarianto dan kawan-kawan rupanya menarik perhatian luar negeri. Pemerintah Norwegia dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki program Clean Ocean Through Clean Communities (CLOCC). Sundarianto menduga Indonesia Solid Waste Association (InSWA) memperoleh informasi tentang kiprah PEGA dari media sosial. Ia kemudian diundang untuk menghadiri pertemuan di pusat kota Banyuwangi.
Februari 2023, mereka menandatangani kontrak perjanjian kerja sama InSWA dan CLOCC. PEGA diangkat menjadi konsultan lokal untuk mendampingi pengolahan sampah di 14 desa dan satu kelurahan di Banyuwangi hingga Februari 2024, antara lain Kebondalem, Tamansari, Genteng Kulon, Genteng Wetan, Glagah, dan Setail.
Belakangan, PEGA juga mendapat tawaran untuk melatih pengolahan sampah di Australia pada Mei 2023. Semula bimbingan dilakukan via media sosial. Namun warga Australia meminta perwakilan PEGA datang dan membimbing langsung.
Sukses pengolahan sampah oleh PEGA ini membuat PT BSI ingin mengembangkan pengolahan sampah ini lebih luas. Bahtiar mengatakan, pihaknya telah memfasilitasi pelatihan dengan Pemerintah Desa Pesanggaran, pelatihan dengan PKK, badan usaha milik desa, dan pemuda, pada November 2023.
“Teman-teman kami dampingi agar berkembang sebesar ini. Jadi benar-benar kontinu berproduksi, tak sampai putus, karena ini kaitan dengan sampah. Kadang kalau berhubungan dengan sampah, komitmen harus kuat dari kelompok. Kalau komitmen bagus dan produksi bagus, kita bikin pengembangan bekerja sama dengan desa. Desa menyediakan lahan, kami memfasilitasi tempat kandang maggot,” kata Bahtiar.
PT BSI berniat mengembangkan pengolahan sampah organik ini di Pesanggaran. “Berdasarkan evaluasi, sampah juga bagus, karena di pasar, sampah banyak, di warung makan, sampah banyak,” kata Bahtiar. (Bi)