Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)
Diciptakan alam pria dan wanita
Dua makhluk dalam asuhan dewata
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Sampai hari ini, kita mungkin masih patut mempertanyakan, apa gerangan maksud Ismail Marzuki menciptakan lagu Sabda Alam dengan lirik di atas. Apa hubungannya dengan emansipasi yang digerakkan oleh kaum feminis? Ataukah beliau sengaja menciptakannya untuk sebuah jangkauan potret perempuan di era di mana isu kesetaraan gender menjadi salah satu isu yang trending seperti sekarang?
Kata “gender” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diberi 2 arti pertama, “jenis kalamin” atau “sex” (dalam Bahasa Inggris) dan kedua, diberi arti gamelan Jawa yang dibuat dari bilah-bilah logam berjumlah empat belas buah dengan penggema dari bambu. Orang yang biasa menonton pertunjukan wayang pasti mengenal jenis alat musik ini yang cara membunyikannya dilakukan dengan cara lembut ini.
Wacana kita kali ini menyorot gender menurut arti pertama, yaitu gender dengan arti jenis kelamin. Ternyata, dalam perkembangan berikutnya, kedua kata itu dimaknai secara berbeda. Jenis kelamin dimaknai perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis semata. Sedangkan gender dimaknai sebagai pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, seperti label bahwa perempuan bersifat lemah lembut, emosional, tidak mandiri, dan pasif. Pada sisi yang lain, laki-laki dianggap orang yang kuat, rasional, agresif, mandiri dan eksploratif. Gender yang awalnya hanya konstruksi sosial, dalam praktek terjadi penyimpangan yang salah satunya terlihat dari pola kerja laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki bekerja di sektor publik, sedangkan perempuan dikhususkan untuk bekerja di sektor privat. Dan, di abad modern ini, seiring dengan keberhasilan gerakan emansipasi wanita dikenal pula istilah kesetaraan gender. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk menggambarkan “keadaan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam peran kehidupan”. Grerakan ini muncul sebagai akibat adanya anggapan masih banyaknya hal-hal yang sampai saat ini masih menunjukkan belum berjalannya kesetaraan gender yang baik di Indonesia. Masih tingginya kekerasan terhadap wanita, eksploitasi tubuh wanita yang sering menjadi objek advertensi sebuah produk. Latar belakang demikian seolah menafikan Malahayati, laksamana Aceh perempuan gagah berani yang berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu lawan satu di atas geladak kapal pada 11 September 1599 kurang lebih lima abad silam.
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk negeri ini pun tidak luput dari sorotan. Secara tekstual banyak teks-teks literatur yang seolah diskriminatif gender. Dalam rangka mengepresiasi fenomena demikian, para ulama kontemporer, seperti Quraisy Shihab dan Nasarudin Umar, telah menelaah aspek dasar sumber ajaran agama mengenai hal ini. Kesimpulan yang didapatkan bahwa pada pokoknya, terkait isu gender ini, ternyata banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Al Hadits yang secara substantif mengajarkan doktrin kesetaraan gender. Kalaupun dalam realitas masih ada beberapa hadits yang bias gender, hal ini disebabkan 2 hal, pertama adanya pamahaman yang keliru dan kedua eksistensi hadits itu memang perlu diragukan dari sisi keberadaannya.
Dampak dari ‘revolusi’ pemikiran yang dilegitimasi oleh dunia akademik dan dilengkapi dengan dalil-dalil agama tersebut, kini di Indonesia capaian perjuangan keseteraaan gender hampair sampai pada titik puncak. Kalaupun masih ada pada sektor tetentu terlihat masih ada perbedaan penerimaan kehadiran perempuan bukan soal diskriminasi tetapi hanya soal kualifikasi. Sebab, pada saat yang sama, juga ada yang hanya boleh menempatkan perempuan lebih dominan. Akan tetapi, yang jelas saat ini dalam banyak hal justru kehadiran perempuan sudah mengalahakan keberadaan laki-laki. Bahkan kini sudah anyak sektor jasa yang dulu hanya diduduki laki-laki, kini banyak yang berhasil ‘direbut’ kaum perempuan. Kondisi demikan sering diikuti dengan realita kenaikan keberdayaan perempuan dari sisi ekonomi dalam kehidupan rumah tangga.
Akan tetapi saying, dalam praktik para perempuan tidak konsisten dengan’keberhasilan’ perjuangannya sendiri. Keseteraan yang mereka raih tidak dibarengi dengan konsekuensi aspek lain di luarnya. Yang sangat kentara dalam hal ini ialah dalam aspek hukum keluarga, yaitu dalam cara pandang terhadap hak dan kewajiban suami istri. Sebagai contoh, kini banyak perempuan yang mengajukan perceraian dengan alasan ekonomi. Bahkan, ada tren data statistika, jumlah perempuan yang mengajukan cerai jauh lebih bayak dibanding laki-laki. Mereka minta cerai suaminya dengan dalih suami tidak memberikan nafkah. Para hakim pun sering dibuat masygul. Mereka minta cerai karena suami tidak memberikan nafkah tetapi tampilan lahirnya terlihat cukup mabyor. Performancenya, sama sekali tidak mengesankan sebagai orang-orang yang kekurangan ekonomi pada umumnya. Usut punya usut ternyata mereka minta cerai bukan karena kekurangan ekonomi tetapi karena suami tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga tidak dapat memberikan nafkah kepada istrinya. Pada saat yang sama para istri pun ternyata mempunyai sumber mata pencaharian yang menghasilkan uang. Entah bagaimana asal mulanya, pekerjaan yang mereka dapat setelah berkeluarga membuatnya semakin tidak hanya hidup mapan tetapi juga mandiri. Dalam perkembangan berikutnya suami terus tenggelam, hidup dalam keluarga di bawah bawah bayang-bayang istri. Ironisnya pada saat yang sama cara berfikir suami masih terbawa pola pikir (mindset) lama. Dia masih menuntut agar aktivitas domestik tetap dikerjakan istrinya.
Kiranya latar belakang demikianlah itulah, antara lain, yang membuat istri geram hingga menuntut cerai. Keputusan menuntut cerai harus pula diikuti oleh sejumlah tuntutan hak-hak yang selama ini tidak ditunaikan oleh suami seperti nafkah. Sikap istri demikian memang tidak sepenuhnya salah. Pada beberapa aturan secara tegas memang terlanjur ditulis tentang kewajiban-kewajiban suami, khususnya nafkah istri. Aturan perundang-undangan demikian kini masih harus diperkuat oleh beberapa sikap Mahkamah Agung. Dari sisi acara, kini sdah ada SEMA yang memberikan peluang istri mengajukan hak-hak istri pada kasus cerai gugat ( perceraian yang diajukan oleh istri). Padahal, sebelumnya ada semacam cara pandang bahwa istri yang mengajukan cerai ke pengadilan agama, tidak dibenarkan mengajukan tuntutan hak-hak domestik keluarga, karena dianggap nusyuz. Saat ini persepsi demikian rontok dengan adanya SEMA tersebut. Pola pikir inipun kini telah merasuki mindset para pengadil. Para hakim pun secara masif beramai-ramai mengeimplementasikannya dalam produk peradilan dan sering dilakukan dengan kurang selektif dengan menggeneralisasi pada semua kasus. Teori-teori hukum tentang keadilan yang didapat di bangku kuliah pada berbagai strata akademik sering harus dikorbankan akibat adanya ‘tekanan’ isu-isu kekinian, seperti isu kesetaraan gender tersebut. Pada kasus seperti ini sering menempatkan suami dalam posisi: “sudah jatuh tertimpa tangga”.
Fenomena demikian, perlu membuat para pejuang kesetaraan gender mengkritisinya, termasuk oleh kaum perempuan sendiri. Di satu sisi keteraaan gender telah menempatkan perempuan pada capaian ke level produktif. Tetapi, pada saat yang sama, perempuan sendiri dengan mendapat dukungan aturan perundang-undangan, masih menempatkan dirinya sebagai orang yang perlu dikasihi. Pada tataran demikian, mau tidak mau menciptakan ironisme pada gerakan kesetaraan gender itu sendiri. Kalau saat ini, dalam kasus gerakan feminisme, ada sinyalemen kemunculan premanisme fiminis (PF), benarkah fenomena di atas sebagai juga salah satu bentuk isyarat kemunculan PF ini dalam keluarga (Islam)? Dalam bukunya “The Manipulated Man”, sebagaimana dikutip beberapa penulis, Esther Vilar, sang pengarang perempuan itu, pernah membongkar habis tentang bagaimana wanita telah menyalahgunakan perlakuan istimewa yang diberikan oleh laki-laki. Dan, konon akibat ‘investigasi’-nya itu, dia sering menerima surat ancaman dari para feminis garis keras
Kepedulian terhadap pemikiran di atas perlu terus diwacanakan dan dikembangkan. Aturan perundang-undangan yang bias gender perlu dilakukan perubahan secara adil. Tidak hanya itu, cara berfikir para praktisi sebagai penggunanya perlu mendapat ‘pembinaan’ agar dapat menerapkan aturan sesuai kasus yang dihadapi agar tidak bias gender. Upaya demikian pada pokoknya dimaksudkan agar gerakan kesteraaan gender yang telah mendapat label ‘halal’ itu justru terus menyisikan “slilit”. Slilit yang membuat ironi gerakan, yang justri sering muncul dari kaum perempuan sendiri. Yang lebih penting keseteraan gender yang semula mulia itu, akibat ironi tersebut jangan sampai mengalami peyorasi makna. Wallahu a’lam.