Oleh: Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, SHI, MSi***
Pada pagi itu pintu inbox saya digedor-gedor oleh tiga kawan. Ketiganya teriak minta contoh putusan pengadilan atas kasus yang pernah saya tangani. Menggedor sambil teriak karena pesan yang ia kirim sejak sore belum saya baca dan balas.
Satu dua pesan tidak cukup, tetapi disertai pesan dan pertanyaan secara bertubi-tubi sebagai tanda bahwa pintu harus cepat dibuka dan secepatnya mendapat respon balik.
Ada yang meminta contoh akta perdamaian. Ia mendapat perkara yang potensial berujung perdamaian. Karena ini pengalaman perdananya, maka ia butuh contoh putusan akta perdamaian harta bersama untuk dipelajari.
Satunya lagi berharap mendapatkan putusan cerai yang pihak tergugatnya keberatan bercerai dan mengajukan tuntutan balik (rekonvensi) hak isteri dan anak.
Terakhir yang mengedor-gedor lebih dari satu kali berteriak, “Pak, kalau ada contoh putusan sela penolakan sita jaminan”, sambil juga meminta contoh putusan akhir harta bersama yang ada hutang bersama.
Ketiganya adalah kawan seprofesi sesama hakim. Kebetulan ketiganya bukan hanya hakim, tetapi sekarang juga sedang menjabat sebagai pimpinan pengadilan. Ada yang sudah menjadi ketua, wakil ketua dan satunya lagi baru saja dilantik menjadi ketua pengadilan.
Pasca cetang biru dua muncul, saya pun membalas satu persatu. Jika yang diminta ada, langsung saya kirim putusannya. Diiringi pesan bahwa putusan saya itu masih jauh dari sempurna. Belum bermutu. Untuk itu, balasan saya akhiri dengan “Ditunggu saran dan kritiknya ya”.
Begitu juga sebaliknya, jika belum punya, saya pun sambil meminta maaf membalas “saya juga lagi nyari contoh putusan bermutu tentang itu”. Jawab saya sambil mengerinyitkan dahi.
Cerita diatas contoh nyata bahwa mencari contoh putusan yang bermutu itu sulit. Putusan yang berkualitas tidak mudah ditemukan. Saya kira itu bukan hanya kegelisahan tiga hakim saja, tapi juga mungkin merepresentasikan kegelisahan mayoritas hakim.
Kalau hakim saja kesulitan mencari contoh putusan yang bermutu, maka hal tersebut sangat mungkin dirasakan oleh peneliti, akademisi dan juga masyarakat pencari keadilan.
Minimnya putusan bermutu tentu salah satu problem utama penegakan hukum di Indonesia yang harus dipecahkan. Padahal itu salah satu syarat utama terwujudnya badan peradilan yang agung.
Begini. Ini bukan soal teori tapi contoh putusan yang baik dan bermutu. Saya yakin mayoritas hakim paham teori pembuatan putusan dan mengetahui tahapan pertimbangan hukum itu secara teoritik ada tahap konstatir, kualifikasi dan konstituir. Mayoritas mengerti teori struktur putusan, apa itu tujuan hukum dan metode penemuan hukum. Tetapi tidak semua hakim mampu menerapkan teori tersebut dalam praktek pembuatan putusan.
Tentu ini ironi. Diera empat nol serba digital tetapi masih sulit untuk mencari contoh putusan yang bermutu. Kan sudah ada direktori putusan yang menghimpun jutaan putusan hakim se-antero nusantara? Juga sudah diklasifikasi berdasarkan lingkungan pengadilan dan jenis putusan, tinggal gugling dibuka klik ketemu dech putusan yang diinginkan? Apakah dari jutaan putusan tersebut tidak ada yang bermutu?
Pertanyaan diatas tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar sudah ada direktori putusan yang memuat jutaan putusan dan sudah diklasifikasi berdasarkan lingkungan pengadilan dan jenis putusan. Tetapi itu hanya kumpulan putusan. Campur aduk jadi satu. Belum ada kalisifkasi khusus yang khusus memuat putusan-putusan yang hanya bermutu berdasarkan lingkungan pengadilan dan jenis putusan untuk dijadikan contoh, referensi dan inspirasi.
Belum lagi, mencari putusan via direktori tidak selamanya sesuai antara judul klasifikasi yang ada dengan kenyataan putusan yang ada didalamnya. Putusan warisan tetapi isinya putusan cerai atau sebaliknya. Atau putusan yang diupload didirektori hanya draft ala kadarnya untuk memenuhi tuntutan one day publish. Tentu ini tidak semuanya. Banyak juga yang sesuai antara judul klasifikasi dengan kenyataan putusan yang ada.
Belum ada klasifkasi khusus yang khusus memuat putusan-putusan yang hanya bermutu baik tingkat pertama, banding dan kasasi. Ini penting. Jika ini ada, maka akan sangat memudahkan untuk mencari dan mempelajari putusan tersebut. Ya semacam bank putusan bermutu dan berkualitas. Putusan tersebut akan menjadi contoh dan model bagi hakim dalam membuat putusan.
Tidak hanya bermanfaat untuk sesama hakim, tetapi juga untuk para peneliti dan akdemisi sebagai bahan eksaminasi dan penelitian sehingga akan banyak bermunculan kritik konstruktif yang segar-segar yang tentu bermanfaat untuk peningkatan kualitas putusan kedepan.
Sebenarnya sudah ada tradisi baik yaitu tradisi pemilihan landmark decisions atau putusan-putusan pilihan masing-masing lingkungan pengadilan yang diumumkan setiap laporan tahunan Mahkamah Agung. Putusan tersebut termuat dalam bagian “Putusan Pilihan” di Direktori Putusan, yang kalau dicek masih didominasi putusan pilihan dari peradilan umum, minim sekali putusan pilihan dari peradilan agama.
Sayangnya landmark decisions selama ini hanya untuk putusan kasasi/PK saja dan belum dikelola dengan baik, kedepan perlu dikembangkan agar landmark decisions juga untuk putusan banding dan tingkat pertama. Putusan inilah yang nanti dikumpulkan menjadi bank putusan bermutu dan berkualitas direktori putusan.
Kalau kita tarik lebih jauh, problem utamanya bukan hanya pada direktori, tapi juga pada model diklat dan pembinaan hakim yang ada selama ini. Lebih dominan teori, minim contoh praktik. Banyak retorika, tapi miskin contoh dan tugas pembuatan putusan.
Mengapa ini terjadi? Bukan hanya problem kurikulum, tetapi juga karena faktor mentor atau pengajar yang minim pengalaman menangani dan membuat putusan terkait perkara yang diajarkan. Walhasil teori dan retorika yang dominan, bukan praktek dan contoh putusan.
Idealnya, pengajar materi pembuatan putusan adalah orang yang memiliki segudang contoh putusan yang baik dan bermutu yang pernah ia buat sehingga dengan gagah dalam penyampaian materi ia contohkan putusan karyanya dihadapan peserta untuk didiskusikan, dikaji dan dibedah. Ia akan menjadi role model pembuatan putusan baik secara teori maupun praktik.
Pengajar materi ekosyar, warisan dan harta bersama, misalnya, seharusnya adalah hakim yang sudah kaya pengalaman menangani dan mempuyai contoh putusan hasil karyanya sendiri. Hakim alumni Selong, Sumbawa Besar, Praya dan Bima sebagai pengadilan yang melimpah perkara warisan dan harta bersama bisa diminta menjadi pengajar. Tentu mengajar dengan contoh nyata sangat berbeda dengan hanya bermodal hasil bacaan buku dan contoh putusan orang lain.
Tidak hanya soal diklat dan pembinaan, tetapi juga terkait rekrutmen seleksi pimpinan pengadilan yang belum menjadikan penguasaan putusan dan teknis yustisial sebagai parameter utama.
Saya membayangkan, jika kedepan proses rekrutmen pimpinan pengadilan salah satunya harus melalui tes tulis praktek pembuatan putusan dan/atau melampirkan contoh putusan atas perkara yang ditangani sehingga akan diketahui kemampuan dan kapasitas terkait teknis yustisial. Bukan hanya tes tulis psikotes.
Praktek semacam ini sudah ada dalam tahapan seleksi hakim agung di Komisi Yudisial. Ini penting. Bagaimanapun pimpinan pengadilan adalah role model yang harus memberi pembinaan terkait putusan dan teknis yustisial lainnya terhadap bawahannya.
Jika semua gagasan diatas diakomodasi menjadi kebijakan, saya kok yakin akan mempercepat memperbanyak putusan yang bermutu yang dibuat hakim. Perlu diingat, ciri utama badan peradilan yang agung adalah banyaknya hakim yang kaya contoh putusan bermutu. Bukan miskin contoh, kaya retorika. Wallahu a’lam.
***Wakil Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Madiun, Jawa Timur, juga penulis buku Berfilsafat Dalam Putusan Hakim.