Ketika Para Penulis Melawan Raksasa Google

  • Whatsapp

– Untuk SATUPENA, Asosiasi Penulis

Denny JA

Teknologi tinggi telah datang. Ia tak hanya membawa berkah. Tapi juga memberikan problema bagi para penulis.

Ini yang terbaca dari 10 tahun kasus pengadilan (2005-2015). Yang berhadapan adalah Author Guild; asosiasi penulis di Amerika Serikat. Lawannya tak tanggung tanggung: Google!, sang Raksasa.(1)

Kasus ini sudah selesai. Namun efek teknologi tinggi bagi dunia penulis semakin hari, semakin dalam.

-000-

Awalnya adalah kemajuan teknologi. Google menggunakan teknologi yang disebut OCR: Optical Character Regocnition. Teknologi ini cepat sekali mengubah teks buku fisik menjadi versi digital.

Versi digital dari teks itu langsung terhubung dalam sistem pencarian Google.

Satu alat dapat melakukan scanning dalam satu jam untuk enam ribu (6000) halaman teks. Jika rata rata satu buku itu 200 halaman, satu alat dapat men-scanning 30 buku dalam satu jam.

Jika satu hari bekerja untuk 10 jam, maka satu alat dapat membuat versi digital untuk 300 buku. Satu bulan 9000 buku.

Jika digunakan 1000 alat (stasiun), dalam satu bulan teknologi membantu Google mengubah buku teks menjadi versi digital sebanyak 9 juta judul. Itu satu bulan!

Buku itu langsung tersaji secara digital kehadapan publik luas. Dari teras rumah, atau sambil duduk di atas kereta, siapapun langsung bisa mengakses buku digital itu.

Public library pun berubah! Perpustakaan paling besar ada d dalam handphone setiap orang yang bisa mengakses dari mana saja, kapan saja, siapa saja. Sejauh ada internet.

Alangkah asyiknya. Itu surga bagi pembaca. Tapi asyikkah buat penulis?

-000-

Datanglah masalah pertama. Bagaimana dengan copy rights? Bagaimana dengan hak penulis yang bukunya sedemikian mudah didigitalkan oleh Google?

Sebagai perusahaan raksasa, tentu Google sudah mengantisipasi isu itu.

Dua cara yang dilakukan Google. Pertama, Ia hanya mengubah buku fisik ke buku elektronik dan bebas diakses, hanya untuk jenis buku public domain.

Ini jenis buku yang tak lagi memiliki copy rights. Ialah buku yang terbit pertama kali sudah sangat lama. Oleh hukum buku itu sudah kehilangan copy rights. Kadaluwarsa.

Termasuk juga dalam public domain aneka buku yang oleh penulis/penerbit memang dibuat untuk digratiskan.

Sampai di area itu, Google aman.

Tapi buku di public domain sangat terbatas. Bukankah justru buku kontemporer yang banyak dicari? Namun buku kontemporer umumnya bukan public domain.

Tak kehilangan akal, Google bekerja sama dengan public library tiga universitas besar: Harvard, Standford dan Oxford.

Untuk kasus yang bukan buku public domain, google hanya menampilkan cuplikan buku saja. Tapi cuplikan pun sudah cukup menginfokan pokok gagasan buku.

Di sinilah kasus hukum terjadi. Banyak penulis tak sudi bukunya di-scanning diam diam, walau tak ditampilkan utuh. Dan itu gratis pula.

Para penulis pun menggugat Google. Mereka maju dengan menggunakan asosiasi penulis: Author Guilld. Ini asosiasi penulis di Amerika Serikat, berdiri tahun 1912.

Anggotanya kini berjumlah 9000. Termasuk yang menjadi anggota para pemenang Nobel, Pulitzer dan National Book Award. (2)

Pertarungan Author Guild versus Google di pengadilan memakan waktu 10 tahun. Dari pengadilan tingkat pertama, naik ke tingkat kedua. Naik pula ke Mahkamah Agung. Namun Mahkamah Agung memilih tidak menyidangkannya.

Para penulis merasa dirugikan. Walau bukunya tak dimuat utuh, cuplikan yang dibuat Google tetap dianggap tak pantas.

Dari cuplikan itu, sebagian mereka meyakini. Bukan cuplikan itu mendorong pembaca mencari dan membeli buku utuh. Tapi banyak pembaca merasa sudah cukup dengan cuplikan itu. Tak lagi perlu membeli buku utuhnya.

Kejadian ini bertepatan pula dengan trend buku utuh yang semakin kurang dibaca. Apalagi, buku semakin pula kurang dibeli.

-000-

Bagaimana putusan pengadilan? Baik di tingkat pertama, atau tingkat selanjutnya, Google tak disalahkan melanggar copy rights. Google dimenangkan pengadilan.

Asosiasi penerbit buku tak ketinggalan menggugat Google. Association of American Publishers, terdiri dari lima publishers – McGraw-Hill, Pearson Education, Penguin Group, Simon & Schuster and John Wiley & Sons, juga bergerak.

Di sinilah letak entrepreneurship Google. Menghadapi penulis dan penerbit, secara hukum Google mungkin tetap menang. Tapi Google akan kehilangan empati dan simpati di kalangan ini.

Google pun menawarkan paket settlement. Google bersedia membayar total USD 125 juta. Dengan kurs 1 USD 14 ribu rupiah, itu ekuivalen dengan 1 trilyun 750 milyar rupiah.

Sebagian besar dana itu diberikan kepada pihak yang dirugikan: penulis dan penerbit. Juga dana diberikan kepada lawyer penulis dan penerbit.

Hebatnya Google, Ia maju selangkah lagi. Sebagian dana itu, 25 persennya, sekitar USD 34,5 juta, atau sekitar 480 milyar rupiah digunakan untuk membentuk Copy Right Collective bernama Book Rights Registry.

Badan ini akan mengurus pembagian hasil dari penjualan buku yang berhasil discanning Google. Pembagiannya: Google mendapat 37 persen. Penulis + Penerbit mendapat 63 persen.

Penulis dan penerbit yang tak setuju dengan paket settlement dapat menarik bukunya yang sudah discanning Google, buku sebelum bulan Mei 2009.

Yang tak ikut settlement, Google hanya mengganti per judul USD 60. Atau sekitar 840 ribu rupiah. Alangkah murahnya.

Karena Author Guild menerima kesepakatan, banyak pula member penulis tak tak setuju keluar dari organisasi itu.

Dengan kesepakatan itu, raksasa Google makin berjaya. Makin lengkap fasilitasnya. Makin kaya pula.

Bagaimana dengan penulis?

-000-

Datangnya teknologi tinggi membelah para penulis dalam dua dunia.

Yaitu dunia penulis yang sangat kaya raya. Ini hanya bisa dicapai oleh sangat segelintir penulis. Mereka umumnya bersentuhan dengan dunia industri hiburan.

Buku penulis itu menjadi naskah film atau serial TV. JK Rawling, Stephen King adalah contoh penulis dengan aset trilyun rupiah.

Kedua dunia penulis yang semakin sulut. Mayoritas penulis sulit hidup jika hanya bergantung pada sisi komersial karya. Google dan internet semakin banyak menyediakan informasi dan hiburan gratis.

SATUPENA, Asosiasi penulis Indonesia yang baru saja lahir tahun 2017. Ketua umumnya Dr. Nasir Tamara. Ini asosiasi untuk penulis Indonesia lintas genre.

Penulis Indonesia menghadapi medan jauh lebih berat lagi. Disamping trend buku yang semakin tidak dibeli. Disamping banyaknya informasi dan hiburan yang gratis.

Penulis Indonesia juga menghadapi pembajakan buku.

Di Indonesia, sulit mengharap penulis bisa intens hanya bergantung hidup dengan tulisannya saja. Nilai ekonomi dari tulisan semakin rendah.

Menulis pun menjadi pekerjaan sambilan. Tapi kualitas bagaimana yang bisa diharap dengan kerja sambilan?

Tapi inilah sisi ajaib dunia penulis. Dalam kondisi sesulit apapun, selalu mungkin hadir karya gemilang.

Bahkan dalam penjara, dalam penderitaan alang kepalang, tetap bisa lahir karya yang sedemikian menggugah.

Selamat bekerja Asosiasi Penulis SatuPena.*

Feb 2021

beritalima.com

Pos terkait