Ketika “Romeo-Juliet” Bercerai

  • Whatsapp

( Sekelumit Refleksi tentang Perceraian dan Hakim)

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)

William Shakespeare-lah yang mula-mula mengangkat dua nama itu lewat salah satu karyanya. Keduanya hanya tokoh rekaan tentang pria dan wanita muda yang sedang bercinta dan berakhir tragis. Yang membuat dua nama itu melegenda ialah karena akhir tragis cinta mereka seolah terjadi di dunia nyata. Banyak pasangan pria wanita di dunia yang mengalami nasib laksana kisah asmara Romeo dan Juliet (sering juga ditulis Julia). Di Timur Tengah cerita serupa juga ada dan dikenal dengan tokoh Laila-Majnun. Di Indonesia konon banyak memiliki kisah legenda yang mirip alur kisah Romeo dan Juliet. Tulisan berikut tentu tidak dimaksudkan meresensi “novel” karya pujangga, dramawan, dan aktor Inggris kenamaan yang meninggal 23 April 1616 itu. Akan tetapi, dalam konteks pembicaraan mengenai kandasnya bahtera rumah tangga, wacana berikut tentu masih mempunyai benang merah dengan kedua tokoh tersebut.

Alasan perceraian, secara normatif telah tertulis dalam Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975, sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Keenam alasan tersebut ( dari a sampai f ) telah diambil alih oleh Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan menambahkan 2 alasan lain (g-h), yaitu:

g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.”

Keharusan adanya alasan dalam perceraian secara filosofis memang dimksudkan untuk menegakkan salah satu prinsip perkawinan dalam undang-undang, yaitu “mempersulit terjadinya perceraian”. Akan tetapi, realitas menunjukkan, bahwa setiap tahun data mengenai angka perceraian di hampir semua Pengadilan Agama tidak pernah menunjukkan penurunan. Padahal, pada saat yang sama berbagai kemajuan yang diikuti kesejahteraan juga semakin meningkat. Banyak pemerhati bertanya-tanya, apakah gerangan yang menyebabkan demikian? Salah satu yang menimbulkan pertanyaan kita ialah kasus menenai pasangan muda yang rumah tangganya harus kandas di tengah jalan sebagaimana berikut ini.

Meti dan Yudi (keduanya bukan nama sebenarnya) merupakan pasangan suami istri yang relatif muda, meskipun dengan usia 30 tahunan sudah cukup untuk disebut dewasa. Data juga menunjukkan bahwa usia menikah pasangan ini pun sudah memenuhi batas minimal dibolehkan menikah. Melihat tahun kelahiran Meti (yang tertera 1990) dan tahun menikah (pada tahun 2008), ibu muda itu, ketika menikah setidaknya jelas sudah berusia 18 tahunan, sebuah usia yang sebenarnya sudah cukup menurut ketentuan UU perkawinan sebelumnya. Sedangkan suaminya yang kelahiran tahun 1986 secara mate-matis juga sudah melebihi ambang batas minimal usia menikah 19 tahun. Akan tetapi, usia biologis seseorang memang sering tidak ekuivalen dengan kedewasaan mental spiritualnya. Jangan-jangan hal demikian terjadi kepada Meti dan Yudi. Padahal, sekilas pasangan itu sebenarnya tampak ideal. Meti cantik meskipun sedikit bawel sedangkan suaminya yang berpenampilan flamboyan itu juga cukup tampan. Ketika keduanya sama-sama mengenakan ‘baju kebesaran’, yang melihat pasti akan sepakat mengatakan Yudi dan Meti laksana Romeo dan Juliet. Tetapi mengapa 2 orang sejoli ini harus duduk di hadapan hakim. Pasti mereka sedang mengalami persoalan sirius dalam rumah tangganya. Mungkin banyak kalangan mengira rumah tangga dengan bisnis yang relatif mapan, sudah cukup untuk menyimpulkan sebuah keluarga ideal. Tetapi mereka tetap saja harus mengunjungi pengadilan untuk kasus yang berkenaan dengan Pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989 alias perkara cerai gugat.

Dengan perkara tersebut dapat dipastikan bahwa Metilah yang merasa sangat ‘dirugikan’ oleh suaminya dalam rumah tangganya. Pastilah ia sudah memendam persoalan rumah tangga sekian lama, sebelum akhirnya memutuskan mengajukan perkara ke pengadilan. Dalam sidang, ketika hakim menanyakan mengapa akan bercerai, sang Juliet terlihat sangat berapi-api menjawab. Dari jawabannya yang juga disampaikan secara emosianal itu, tampak persoalan rumah tangganya tidak semua tertulis di dalam gugatan. Hampir semua alasan yang sesekali dikemukakan sambil mengusap air mata itu ‘memojokkan’ Yudi suaminya. Kalau yang dikemukakan memang benar, dengan beban 3 anak yang diasuhnya itu, hakim memang dapat memakluminya, jika ibu muda itu kerap emosional di persidangan. Di tengah persidangan pun ia sering menyela dengan informasi tambahan bahwa saat mengajukan perkara ini sudah tidak dapat bekerja karena, akibat sebuah pertengkaran yang terjadi sebelumnya, semua piranti kerjanya tidak dapat dioperasikan lagi.
Apa yang dikemukakan Meti memang baru sepihak. Semua cerita mengenai duka lara rumah tangga yang dialaminya memang beru versi istri. Sebagai hakim boleh bersimpati akan tetapi tidak boleh langsung percaya. Sebagai hakim yang terikat dengan asas audi et alteram partem harus mendengar ‘klarifikasi’ sebagai informasi versi suami.
Ketika sampai pada tahapan sidang yang ditentukan, ternyata persoalan rumah tangga versi suami pun terungkap. Sepanjang mengenai adanya perselisihan dan pertengkaran diakui. Hanya saja, menurut suami hal itu disebabkan oleh perilaku Meti istrinya. Sejumlah track record istrinya pun dikemukakan dengan panjang lebar. Karena ada bagian-bagian yang menyangkut nama baik, Meti pun sering bereaksi spontan.

Ketika sidang sudah sampai tahap akhir, pada akhirnya terungkap bahwa Yudi memang telah bersikap seperti yang diungkapkan Meti dalam gugatannta tetapi Yudi pun telah dapat membuktikan bahwa Meti istrinya ternyata juga telah terbukti menjalin ‘komunikasi khusus’ dengan pria lain. Profesi yang bergerak di bidang kecantikan, memang memungkinkan banyak kolega dari berbagai kalangan, termasuk kaum Adam. Kesimpulan sementara Hakim sering hanya sampai pada tahap, bahwa keduaanya sama-sama melakukan kesalahan. Dan, karena tidak ada yang mau mengalah akhirnya hakim pun, dalam kasus demikian, hampir semuanya mengabulkan gugatan dengan menjatuhkan talak suami terhadap istri, terlepas suami suka atau tidak.

Pertanyaan Konyol
Sebuah perselisihan rumah tangga memang sering unik. Ada yang terjadi secara terbuka. Karena bersifat terbuka, perselisihan model ini sering diketahui oleh orang lain: tetangga dan masyarakat luas. Suami istri yang berselisih dan bertengkar dengan cara demikian biasanya dari kalangan awam atau dengan status sosial biasa serta pendidikan rendah. Zaman dahulu, di desa sering kita lihat suami istri yang bertengkar nyaris di dengar oleh orang satu kampung. Kepala Kampung, tokoh adat, dan tokoh agama sering terlibat melerainya. Dalam konteks demikian mencari saksi pertengkaran memang relatif mudah.
Akan tetapi, ada kalanya perselisihan suami istri berlangsung secara tertutup. Tipologi perselisihan dan pertengkaran model begini biasanya terjadi pada masyarakat yang berpendidikan dan status sosial tinggi. Pada kelompok orang dengan tipologi ini, perselisihan dan pertengkan yang terjadi sering sulit diketahui. Bahkan, secara empiris, tidak jarang sebuah pertengkaran yang sedang berlangsung tiba-tiba berhenti, bahkan berpura-pura rukun seolah tidak pernah terjadi apa-apa, begitu melihat ada orang lain datang bertamu ke rumahnya. Karena sifatnya yang tertutup, maka perselisihan dan pertengkaran model ini, juga sering sulit dibuktikan dengan ‘saksi ideal’. Orang lain hanya melihat akibatnya saja, seperti saling bersikap dingin, tidak hangat seperti biasa, tidak tegur sapa, atau bahkan tidak serumah dalam waktu lama. Yang bisa demikian juga biasa dialami oleh masyarakat modern (meskipun tidak berpendidikan tinggi), seperti keluarga yang tinggal di apartemen atau kondominium yang terbudaya hidup secara “nafsi-nafsi”. Alat bukti saksi sebuah pertengkaran pasti tidak mungkin diajukan. Oleh karena itu pertanyaan hakim, “Apakah anda melihat sendiri pertengkaran?” akan menjadi pertanyaan yang naif sekaligus konyol jika diajukan kepada saksi.
Urgensi Psikologi Masa Bagi Hakim

Suasana persidangan sering secara tiba-tiba gaduh. Dua orang sedang berselisih yang semula masuk terlihat tenang itu sering tiba-tiba melakukan dialog ( jawab-menjawab ) secara liar. Tampaknya bibit kebencian yang sudah dibawa dari rumah itu, muncul dan mereka ingin melampiaskannya guna mencari perhatian hakim. Ekspresi sikap dan tutur kata di depan hakim seolah ingin meyakinkan, bahwa dirinyalah yang benar dalam kemelut rumah tangga yang sedang terjadi. Dalam suasana demikian kalau hakim tidak bisa mengelola suasana memang akan berakibat runyam. Dalam konteks demikian menguasai psikologi masa bagi hakim tampaknya sangat diperlukan. Bahkan, tidak jarang kekerasan dalam ruang sidang berawal dari jawab-menjawab kedua belah pihak secara lisan dan berlangsung secara tidak terkontrol. Memilih kata sekaligus menyusun kalimat, agar harga diri para pihak yang sudah pada puncak kemarahan juga harus hati-hati. Hakim dituntut berhati-hati memilih diksi dalam setiap kalimat yang diucapkan agar kata-katanya tidak seperti minyak tanah. Ibarat kayu bakar kering yang sudah berbara api, tentu akan lebih cepat tersulut jika kemudian dituangi minyak tanah.

Di samping menguasai psikologi, yang lebih penting dalam suasana demikian Hakim tidak boleh terpancing emosi. Tegas dan suara keras sesekali diperlukan tetapi harus diyakini dapat meredam suasana. Sebagai hakim perlu sadar bahwa 2 orang yang sedang duduk di depan meja sidang itu adalah 2 orang manusia. Mareka akan berperilaku sebagaimana manusia jika hakim memanusiakan. Dua orang yang sedang berselisih itu sering sudah mengalami kemelut rumah tangga yang berujung kepada kemelut hati dan pikiran. Mereka akan bisa berkata dan bersikap di luar dugaan jika perasaannya tersinggung. Dari mana pun sumbernya, termasuk hakim.

Ilustrasi di atas tentu bukan dimaksudkan untuk menyoal penyebab terjadinya kekerasan di persidangan selalu perlu menyalahkan hakim. Tetapi harus diakui hakim juga seorang manusia yang punya keterbatasan, termasuk di bidang emosi. Sebagian keterbatasan itu sesekali muncul ketika harus berhadapan dengan para pihak yang menjengkelkan. Pada saat demikian hakim perlu segera tanggap diri (biasanya dengan mengucapkan dzikir tertentu) dan mengembalikan emosi dalam posisi semula. Dalam konteks ini, 5 kata mutiara, sebagaimana dikutip dari Merdeka.com ( 24 Maret 2022 ), mungkin penting untuk senantiasa menjadi bahan refleksi bagi hakim, yaitu:
1. Lemparkan senyum kepada yang memancing amarah.
2. Jangan mudah terpancing emosi oleh orang lain. Ketika ada seseorang yang ingin memancing emosimu, sebaiknya berilah senyuman kepadanya.
3. Tak peduli dia akan membalas senyummu atau tidak, yang terpenting ialah hal ini menunjukkan kalau kamu tidak terpancing emosi akibat ulahnya.
4. Jangan seperti mereka yang lebih mendahulukan emosi dibandingkan berpikir dengan kepala dingin sebelum melakukan tindakan anarkis.
5. Banyak kerugian yang terjadi akibat ulah orang yang tidak bisa mengontrol diri. Sebenarnya, orang yang selalu marah-marah akan merugi.
Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait