PADANG, beritalima.com – Saat ini media cetak di Indonesia termasuk media perempuan seakan terlena dengan kaum perempuan. Para wartawan lupa dengan tujuan utama pekerjaannya. Dalam membuat tulisan banyak wartawan yang tak mengetahui secara jelas misi dan tujuan pembuatan tulisannya tersebut.
Media perempuan yang ada saat ini belum berhasil dalam membangun wacana berperspektif gender. Wacana yang muncul di media yang dikelola kaum perempuan dan diterbitkan untuk para perempuan lebih menggambarkan garis patriakal yang memarginalisasi para gender kaum perempuan.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Pers, Josep Adi Prasetyo yang biasa disapa Stanley ketika membuka Konferensi Jurnalis Perempuan Indonesia bertajuk “Memperkuat Profesionalitas Jurnalis Perempuan di Era Global, Rabu (7/2/2018) di Ruang Ombilin Hotel Gran Inna Padang, Sumbar.
Bahkan menurut Stanley, media perempuan sebagaimana media umum, kerap ikut melakukan kekerasan wacana terhadap kaum perempuan mulai dari penggunaan bahasa yang bernada pelecehan, model tata letak hingga cara-cara liputan perkosaan yang justru menimbulkan potensi perkosaan berkelannjutan.
Dalam kehidupan jurnalistik tambah Stanley, perempuan memang tak lebih dari sebuah objek yang terhegemoni dalam wacana dan struktur yang didominasi laki-laki mulai dari kepemilikian media, editor, penulis, reporter mayoritas didominasi laki-laki.
Termasuk organisasi wartawan yang paling tua seperti PWI. Proses pengambilan keputusan dalam rapat redaksional juga menjelaskan hal yang sama.
Kenyataan hadirnya perempuan sebagai pimpinan pada sejumlah media perempuan kata Stanley juga tak mematahkan penegasan adanya garis patriakal yang dipraktekan media dan kebijakan para pengelolahnya.
“ Kalaupun ada liputan yang berhubungan dengan isu gender sebagaimana pernah dimunculkan media dalam pembunuhan buruh bernama Marsinah, menurut dia tak lebih merupakan bagian dari upaya berjualan isu,” tegas Stanley.
Dengan demikian sesungguhnya sambung Stanley, perempuan hanya ditampilkan sebagai alat jual dan objek jual semata. Perspektif dan pandangan gender sebenarnya diperlukan media sebagai penyeimbang cara pandang media dalam melihat persoalan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan yang berdiri di atas bangunan negara yang berstruktur patriakal.
“Lewat perspektif gender, media harus bisa memberikan akses dan ruang kontrol yang lebih besar kepada kaum perempuan terhadap sumber daya alam seperti tanah, air dan hutan,” katanya.
Lebih lanjut Stanley mengatakan media harus mengupayakan tindakan konkrit bagi peningkatan kebijakan dan realisasi program untuk mewujudkan akses tersebut.
“Dengan kepekaan gender, media lebih mudah mengenali bukan saja situasi yang tengah menimpa kaum perempuan tapi juga penindasan struktural terhadap kaum miskin, penderita anak-anak dan para korban kekerasan,” jelasnya.
Media perempuan merekonstruksikan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Hal ini kata Stanley bisa dilihat dari sejumlah rubrikasi media perempuan yang menegaskan bahwa perempuan yang baik memang harus berada di sektor domestik.
Kodrat perempuan seolah memang tepat seperti semboyan 3M dalam ungkapan perempuan Jawa yaitu Mana (Melahirkan), Masak dan Macak (Berias).
Menurut dia hampir semua media perempuan yang ada melengkapi gambaran miskinnya perspektif dan ideologi gender yang dimiliki para pengasuh media. Media perempuan juga membuktikan bahwa mereka sama sekali tak pernah meliput kaum perempuan yang berasal dari sektor bawah, mungkin dengan alasan sektor ini bukan segmentasi pembaca mereka.
Liputan tokoh yang kebanyakan merupakan tokoh perempuan yang datang dari dunia karir selalu ditanya dengan pertanyaan klise yang justru anti gender seperti,”bagaimana cara ibu membagi waktu antara karir dengan suami, dan keluarga?”.
Jelas, selain tak relevan juga melecehkan si tokoh perempuan, seolah nilai kesuksesan karirnya hanya bisa dinilai tinggi apabila ia juga sukses dalam merawat suami dan mengatur kehidupan rumah tangga.
Stanley menyebut tokoh perempuan Indonesia yang jadi pejuang HAM jarang mendapat halaman di media perempuan. Redaktur media perempuan lebih suka menulis tentang perempuan aktivis pemberantasan AIDS, perempuan aktivis lingkungan dan juga sejenisnya ketimbang menampilkan profil perempuan semacam Ade Rostina Sitompul, Esther Yusuf, Suraiya Kamaruzaman, Mama Yosepha, dan lain-lain yang lebih terkesan high profile dalam urusan politik.
“Kita juga tidak pernah menemukan liputan media perempuan soal ramai-ramai penolakan untuk jadi Presiden yang muncul pascapemilu 1999 yang lalu. Padahal seharusnya idealisme media perempuan membela Megawati dalam menghadapi isu penting tersebut,”kata Stanley .
Menurut Stanley, majalah dan tabloid perempuan seakan tak peduli dengan gonjang-ganjing politik di Indonesia selama 4 tahun terakhir. Bahkan ketika politik telah merambah isu gender sekali pun.
Konferensi Jurnalis Perempuan Indonesia merupakan rangkaian kegiatan HPN 2018. HPN merupakan kegiatan tahunan diselenggarakan masyarakat pers nasional yang terdiri dari Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).(**)