(Membaca Puisi Al Hadid, karya Fatin Hamama)
Denny JA
“Ketika sepotong besi jadi tombak,
besi tak pernah tahu,
untuk apa dia dijadikan tombak”
“Ketika sepotong besi jadi peniti,
peniti tidak pernah tahu,
untuk apa dia jadi peniti”
“kecuali suatu hari,
tombak dijadikan alat pembunuh,
dan bersarang di jantung kiri.
Tombak mengeluh.
Aku tak ingin jadi seperti ini.”
“Ketika besi-besi
yang menjadi senjata
berubah fungsi,
diam-diam mensyukuri.
“Aku menjadi penyemat baju
seorang sufi.
Setiap hari aku dibawa.
Rukuk sujud dan mensyukuri
Nikmat Tuhan yang diberi.
Aku tak ingin patah.
Biar aku berkarat kini”
Puisi di atas cuplikan yang saya susun kembali. Judulnya Al Hadid (Des 2000). Ditulis oleh Fatin Hamama.
Dua kali saya membaca puisi itu dengan sungguh sungguh. Dua pengalaman membaca itu memberikan dua imajinasi yang berbeda.
Pertama, saya membacanya di tahun 2012. Saat itu, saya belum lama mengenal penyair yang menulis puisi tersebut.
Masih teringat. Itu momen malam hari. Di kantor ketika saya ingin tafakur. Saya membaca puisi itu dari bukunya langsung.
Lama saya terdiam. Besi yang sama. Besi itu tak tahu apa apa. Oleh pembuat senjata, ia dijadikan tombak. Ia pun menjadi alat pembunuh.
Besi itu juga tak tahu apa apa. Ia diubah menjadi peniti. Seorang yang saleh menggunakan peniti itu. Ia sematkan di bajunya.
Ketika orang saleh, sufi, itu berdoa, peniti ikut berdoa. Ketika sufi itu bersyukur, peniti ikut merasakan getaran hati, kelembutan, dan ketulusan seorang sufi.
Imajinasi saya terbang jauh. Saya membayangkan dua besi itu berjumpa. Yang satu menjadi tombak untuk membunuh. Yang satu menjadi peniti baju sang Sufi.
Saat itu saya membayangkan. Besi yang menjadi tombak menangis.
“Alangkah beruntungnya kamu,” ujar besi yang menjadi tombak kepada besi yang menjadi peniti.
“Lihatlah aku. Tubuhku penuh darah. Aku mendengar orang itu mengerang kesakitan ketika aku, tombak itu, menghujam dada kirinya.
“Aku tak tega. Aku menangis. Tapi aku bisa apa? Menjadi tombak bukan mauku. Digunakan untuk membunuh bukan pilihanku.
“Terbayang Aku anak anaknya. Aku terbayang tangisan keluarganya. Aku menjerit. Mengapa aku digunakan untuk menyakiti orang lain.
Tapi aku bisa apa? Aku hanyalah besi.”
“Tapi lihatlah dirimu. Setiap saat di baju sufi, dirimu berdoa, menyatu dengan Tuhan yang Esa.”
“Ini tidak adil. Aku tak suka.”
Besi yang menjadi peniti menenangkan.
“Itu bukan aku yang mengatur, sahabatku. Dulu kita besi yang sama. Nasib kita sama. Ingatkan? Saat itu kita sama sama menjadi besi yang tersimpan lama di gudang.”
“Bukan pula mauku menjadi peniti. Tak kukira pula aku disematkan untuk baju seorang sufi. Bukan baju seorang pembunuh.”
Ujar besi yang menjadi peniti itu: “Nasib yang membedakan kita. Kekuatan di luar sana yang membedakan kita. Kita bisa apa?
“Terima saja apa yang ada. Kita hanya ikut saja.”
Di tahun itu, tahun 2012, lama saya merenung. Betapa kekuatan di luar sana maha kuasa. Kekuatan itu yang membuat hidup kita berbeda.
Tak hanya soal besi. Tapi juga soal nasib manusia.
Katakanlah, jika saya dilahirkan 10 abad lampau, pastilah hidup saya berbeda. Atau saya dilahirkan di desa Afrika sana. Pasti pula hidup saya tak sama.
Atau saya dilahirkan sebagai seorang putra raja, atau putri pengemis. Pasti pula hidup saya sangat bertolak belakang.
Tapi kita dilahirkan kapan, dimana, melalui orang tua mana, bukan kita yang pilih. Bukan kita yang menentukan.
Pada satu sisi, memang manusia seperti besi itu. Kekuatan di luar sana yang menentukan kita menjadi apa.
Saya terdiam. Hati saya berzikir. Menerima saja apa yang sudah diatur oleh nasib. Bahwa saya dilahirkan di Palembang, tahun 1963, menjadi putra ke enam Ayah dan Ibu saya.
Dari takdir itu, saya bergerak mencari makna.
Puisi Al Hadid tahun 2012 membawa saya dalam perenungan eksistensial.
-000-
Saya membaca kembali puisi Al Hadid itu, di tahun 2020. Saya sudah mengenal lebih dekat penulisnya: Fatin Hamama.
Saya membaca kembali puisi itu, ketika sang penyair baru saja ditinggal wafat ibunya. Lalu tak lama ditinggal wafat suami yang menjadi matahari hidupnya. Dua kejadian beruntun dalam waktu sangat dekat.
Fatin harus menjadi penyangga dua anaknya yang baru tumbuh dewasa, hidup berkeluarga. Tanpa didampingii suami lagi, Fatin harus merespon turun naiknya hidup.
Beberapa kali Fatin bercerita betapa berbeda situasi ketika suaminya wafat.
Ketika saya kembali membaca puisi Al Hadir itu, perhatian saya lebih pada bait yang lain:
“Aku tak ingin patah.
Biar aku berkarat kini.”
Membaca kembali puisi itu, kini imajinasi saya justru kepada karakter penulisnya. Sebagai peniti, Fatin tak ingin patah.
Tak apa ia rela. Tak apa Ia ridho berkarat. Sejauh ia menjadi “peniti baju sang sufi.”
Tinggalah kini Fatin memastikan bahwa Ia memang tak hanya menjadi peniti itu. Ia juga memang berlabuh di baju sang sufi.
Baju sang sufi adalah metafor bagi hidup yang suci. Hidup yang membawa cahaya. Hidupnya yang membawa berkah.
Sekecil apapun peran kita, walau hanya sebagai peniti, ia lebih bermakna sejauh menjadi penyemat baju seorang sufi.
Lebih bermakna dibandingkan menjadi kekuatan raksasa bom atom yang menghancurkan kota.
Membaca kembali puisi dalam momen yang berbeda, imajinasi yang berbeda pula yang tiba.
Membaca puisi Al Hadid secara sungguh sungguh dalam dua momen lain, saya mengetuk dua pintu batin yang tak sama.
Itulah hebatnya puisi yang bagus. Ia menjadi cermin dari imajinasi pembaca sendiri. Al Hadid salah satu puisi yang mendalam, yang pernah ditulis penyair Indonesia.*
15 November 2020