TRENGGALEK, beritalima.com
Adanya berbagai wacana maupun isu bahwa perangkat desa khususnya sekretaris desa yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) akan dimutasi atau ditarik oleh pemerintah kabupaten (pemkab) ke lingkungan UPTD maupun SKPDnya sedikit banyak menimbulkan permasalahan baru dilapangan.
Wacana tersebut mencuat, akibat adanya ketentuan dalam Pasal 118 ayat (6) Undang-Undang Desa yang mengisyaratkan bahwa perangkat desa yang berstatus ASN dapat melaksanakan tugas sampai ditetapkan penempatannya sebagaimana akan diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP).
Permasalahan yang saat ini dihadapi dalam mengimplementasikan regulasi tersebut adalah ketika ada perbedaan persepsi atau ketidakjelasan pengaturan yang seharusnya sudah diatur terlebih dulu dalam PP sebagai peraturan turunan atau peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 118 (6) undang-undang desa dimaksud.
Disatu sisi, hal itu terkesan nampak sederhana namun jika memperhatikan dinamika yang terjadi dilapangan bahwa hingga sekarang belum ada pengaturan detail dan konstruktif terkait kejelasan penempatan sehingga menimbulkan transisi kedudukan perangkat desa yang berstatus ASN. Maka sudah dipandang perlu untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk antisipasi.
Untuk meminimalisir dampak lanjutan dari adanya peraturan tersebut, DPRD Kabupaten Trenggalek bersama mitra kerja terkait melakukan pembahasan serius. Dengan ini diharapkan kedepannya sudah tidak ada lagi kebingungan tafsir tentang status ataupun kedudukan para Sekdes ASN.
“Agar tidak menimbulkan multitafsir yang berkepanjangan, maka kami di Komisi I melakukan pembahasan bersama BKD,” ungkap Guswanto Wakil Ketua Komisi I DPRD Trenggalek pada beritalima.com, Selasa (28/1/2020).
Pembahasan ini bertujuan, lanjut Guswanto, untuk memberikan kepastian hukum agar ketidakjelasan status maupun fungsi bagi kalangan perangkat desa yang saat ini berkedudukan sebagai pegawai negeri. Karena jika dibiarkan berlarut, hal tersebut pastinya akan berimplikasi kepada pelayanan serta kelancaran manajemen administrasi di pemerintahan desa.
“Kita tidak ingin kondisi ini akan merugikan masyarakat. Kegiatan layanan yang semestinya berjalan dan dilaksanakan oleh seorang sekdes bisa terganggu ketika status yang belum jelas,” imbuhnya.
Masih kata dia, dampak kesimpangsiuran serta tumpang tindih nya perundangan secara psikologis sangat mungkin akan mempengaruhi kinerja sekdes di sejumlah desa. Sekdes yang merasa terbebani dengan adanya isu itu sangat mungkin tidak bisa bekerja maksimal karena isu itu kerap menjadi perbincangan publik ditingkat bawah utamanya di lingkungan desa.
“Alhamdulillah, kemarin sudah diputuskan. Per hari Senin, (27/1/2020) sebanyak 80 orang sekdes dari 152 desa ditarik dan dikembalikan kepada pemerintah kabupaten,” ujar politisi PDIP itu.
Namun untuk penempatan maupun distribusi alokasi penugasan, jelas Guswanto, pihak DPRD tidak ikut campur semua diserahkan sepenuhnya kepada otoritas di pemerintah kabupaten. Komisi yang menangani bidang pemerintahan, hukum dan perundangan tersebut menandaskan ketika posisi sekdes di desa kosong maka kewenangan melakukan pengisian ada pada Kepala Desanya sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
“Secara teknis, di PP nomor 43 Tahun 2014 yang di ubah menjadi PP nomor 47 tahun 2015 sudah jelas bahwa Desa punya kewenangan mengatur maupun mengelola sendiri pemerintah desanya,” sambungnya.
Selain itu, penerbitan PP Nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PP sebelumnya tentang Desa bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan penyelenggaraan pemerintahan desa.
“Dan bagi sekdes yang masih punya tanggungan pekerjaan, harus menyelesaikan dulu atau memberikan pendampingan kepada penggantinya. Dengan tenggang waktu enam bulan,” pungkasnya. (her)