Komite I DPD RI: BUMDes Belum Efektif Tingkatkan Ekonomi Desa

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) belum efektif meningkatkan perekonomian desa karena di berbagai daerah, BUMDes dikelola ala kadar atau asal jadi dan hanya menghabiskan dana desa saja.

“Ini menjadi catatan buat kita semua, terutama untuk Kementerian Desa, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Provinsi dan Kabupaten. Selaku pembina, mereka bertanggungjawab dalam kemajuan BUMDes di desa-desa,” kata anggota Komite I DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Liyanto dalam keterangan pers yang diterima awak media, Sabtu (15/5).

Mengacu kepada UU No: 6/2014 tentang Desa, kata Abraham, Pasal 90 UU itu menyebutkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUMDes dengan memberikan hibah dan akses permodalan. Kemudian melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar dan memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam di desa.

Dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendesa PDTT) No: 4/2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan pembubaran Badan Usaha Milik Desa disebutkan menteri bertugas menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria BUM Desa.

Gubernur mensosialisasi, bimbingan teknis tentang standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan serta memfasilitasi akselerasi pengembangan modal dan pembinaan manajemen BUMDes di provinsi. Adapun bupati/walikota melakukan pembinaan, pemantauan dan evaluasi terhadap pengembangan manajemen dan sumber daya manusia pengelola BUMDes.

Diakui, dirinya telah keliling ke ratusan desa di NTT untuk melakukan pengawasan dana desa. Salah satu bidang yang ditanyakan mengenai pengelolaan BUMDes.

Dari hasil pantauan, rata-rata dana yang dikucurkan untuk BUMDes lima tahun terakhir antara Rp 200-400 juta. Namun, jenis kegiatan baru sebatas koperasi simpan pinjam, penyewaan kursi dan tenda, penyewaan traktor, pembukaan kios penjualan Sembilan Bahan Pokok (Sembako).

Anehnya, hasil kegiatan yang dilakukan tidak jelas pelaporannya. “Saat ditanya, rata-rata tidak ada pelaporan keuangan yang jelas. Apakah untung atau rugi, tidak ada laporannya. Ini yang harus menjadi perhatian agar tak semata menghabiskan dana desa,” ujar Abraham.

Selain pengelolaan yang tidak profesional, persoalan yang sering muncul dalam pengelolaan BUMDes seringnya ganti pengurus. Itu menyebabkan laporan keuangan pengurus lama dengan pengurus baru tidak nyambung atau tak jelas. “Pergantian pengurus sering terjadi karena ketidakcocokan dengan kepala desa,” tutur Abraham.

Sesuai arahan Menteri Desa, kata dia, BUMDes menjadi tulang punggung pembangunan desa di masa mendatang. Itu karena negara tidak mungkin terus meningkatkan jumlah kucuran dana desa karena kemampuan uang negara terbatas.

Untuk menambah penghasilan di desa-desa, diharapkan bisa didapatkan dari BUMDes. Namun, jika melihat pengelolaan BUMDes yang tidak efektif, harapan BUMDes sebagai tulang punggung pemasukan kas desa tidak akan tercapai.

“Pemerintah pusat maupun daerah perlu memberikan pelatihan yang lebih banyak lagi ke pengelolaan BUMDes. Supaya jiwa entrepreneurship (wirausaha) bisa muncul. Jika dilepas begitu saja, tanpa pelatihan dan pembinaan, kehadiran BUMDes nanti hanya untuk habis-habiskan dana desa,” jelas Abraham.

Saat ini, Komite I DPD RI membahas perubahan UU No: 6/2014 tentang Desa. Dalam perubahaan itu, dirinya mengusulkan jenis usaha BUMDes perlu diperluas. Misalnya BUMDes bisa menyalurkan pupuk bersubsidi, pengecer BBM, penyalur beras dan berbagai kebutuhan dasar masyarakat desa.

Selama ini, monopoli penyaluran pupuk dilakukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), BBM dimonopoli Pertamina, beras dimonopoli Depot Logistik (Dolog). “Kami mengusulkan BUMDes dikelola pihak ketiga yang profesional. Atau menyertakan modal ke UKM yang sudah maju di daerah-daerah. Desa tinggal mendapatkan laba dari penyertaan modal,” tegas dia.

Ia optimis jika dana desa dan BUMDes dikelola dengan baik, mengurangi angka kemiskinan, terutama Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang kemiskinannya menempati nomor tiga nasional. Pasalnya, SDA di NTT masih tersedia cukup banyak. Misalnya ada sektor pertanian, perikanan, peternakan yang belum dimanfaatkan optimal. (akhir)

 

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait