Konflik Antara Gajah dan Manusia

  • Whatsapp

beritalima.com, Garis kehidupan manusia dan gajah di takdirkan bertemu di Lampung

Pembukaan lahan untuk perkebunan dan transmigrasi sejak zaman kolonial, Orde Baru, hingga sekarang berada di habitat dan ruang jelajah gajah.
Maka konflik pun terjadi.

Data Elephant Response Unit (ERU) mencatat setidaknya telah terjadi konflik antara gajah dan manusia sebanyak 408 kali di sepanjang perbatasan Taman Nasional Way Kambas dalam rentang tahun 2014-2017.

Gajah dianggap sebagai hama pengganggu kebun dan tanaman.

Jejak perjalanannya menyisakan kerusakan perkebunan, pertanian, bahkan korban jiwa.

Kehadiran mereka pun ditanggapi dengan pengusiran.

Berbagai cara dilakukan baik cara tradisional maupun metode menggunakan gajah jinak untuk memecah kawanan gajah.

Pertemuan gajah dan manusia di Sumatera, khususnya Lampung, tak bisa dihindari karena keduanya sama-sama mengincar lahan yang sama di wilayah tersebut.

Di Sumatera, Gajah hidup di daerah yang datar.

Kebetulan daerah datar itu adalah yang diincar manusia karena paling produktif.

Bisa menjadi sasaran saat ini ekspansi perluasan perkebunan dan juga tempat yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi untuk manusia modern.

Jadi interaksi itu menjadi sangat intens.
Maka konflik antara gajah dan manusia kerap terjadi.

Masalahnya ini sudah turun-temurun, sekarang kita sudah menanggung dampak proses puluhan atau bahkan ratusan tahun silam.

Tapi memang akselerasinya yang menggila saat ini, khususnya di Sumatera.

Bisa menjadi sasaran saat ini ekspansi perluasan perkebunan sawit dan juga tempat yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi untuk manusia modern, jadi interaksi itu menjadi sangat intens.

Manusia yang tidak terbiasa hidup dengan gajah, sedangkan gajahnya penjelajah dan kadang bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tidak datang ke tempat yang sama.

Orang yang datang merasa bisa membuka lahan dan sebagainya seenak sendiri.

Hasilnya menjadi konflik yang kronis di banyak tempat di Sumatera, dan sebagai spesies yang butuh ruang yang luas jadi terdesak.

Sedangkan pemahaman kita tentang ruang itu sangat minim.

Pada hal ruang jelajah gajah bisa mencapai 100-200 kilometer persegi untuk satu kelompok.

Jadi, kalau orang membuka lahan di satu daerah, mereka tidak sadar bahwa mereka sedang menekan satu habitat yang ada di sana.

Suatu kelompok gajah bisa bergerak ke sana, karena habitatnya terdesak.

Di Lampung itu dulu ada Operasi Ganesha, itu sebetulnya awalnya untuk kepunahan lokal gajah di Sumatera.

Awalnya terjadi drastis di Lampung, kenapa sekarang gajah sekarang cuma ada di Way Kambas dan Bukit Barisan ?

Di Bukit Barisan Selatan pun mengalami penurunan yang sangat drastis beberapa tahun terakhir ini, dan tidak banyak yang terdokumentasi.

Bahkan banyak yang menyangkal dan menolak bahwa gajah itu sudah menurun drastis.

Pada hal dulu bisa dibilang hampir semua daerah di Lampung itu terdapat gajah.

Kemudian pelan-pelan ada transmigrasi, perkebunan dan tambang.

Akhirnya gajah terdesak, gajah menjadi pihak yang harus menyingkir, ternasuk harimau, badak dan satwa liar lainnya.

Banyak yang diambil dari alam, banyak juga yang didorong, ujung-ujungnya ya sekarang tinggal di dua tempat itu.

Operasi Ganesha dulu ada program yang dikenal Tata Liman, Guna Liman dan Bina Liman. Liman itu artinya gajah.

Zaman Presiden Soeharto dulu, pengelolaan gajah dengan tiga pendekatan itu.

Gajah seperti ditata, dibina dan digunakan. Tata itu seolah seperti pengelolaan.

Tapi pada praktiknya dulu tempat-tempat memang sudah diincar untuk jadi area perkebunan.

Sekarang ada Pusat Latihan Gajah (PLG), termasuk di Way Kambas.

Ada gajah jinak, itu kebanyakan gajah yang diambil dari alam, dijinakkan.
Dijinakkan itu istilahnya Bina Liman.

Operasi Ganesha adalah operasi pemindahan ratusan gajah dari Kecamatan Air Sugihan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan menuju Kecamatan Lebong Hitam, Lampung.

Pemindahan ratusan gajah ini diinisiasi Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup era Soeharto, Emil Salim.

Kala itu Emil Salim tidak rela niat pemerintah yang ingin membuka lahan bagi para transmigran justru mengorbankan ratusan gajah.

Oleh karena itu, dia memberanikan diri mendiskusikan hal itu dengan Presiden Soeharto.

Soeharto mendengarkan aspirasi Emil Salim.
Ia pun meminta Panglima Kodam Sriwijaya saat itu Try Sutrisno untuk membantu memindahkan ratusan gajah tersebut.

Try Sutrisno yang di kemudian hari menjadi wakil presiden itu pun memerintahkan Letkol I Gusti Kompyang Manila untuk memimpin operasi yang dilaksanakan pada 1982 tersebut.

Zaman Presiden Soeharto dulu, pengelolaan gajah dengan tiga pendekatan itu.

Gajah seperti ditata, dibina dan digunakan. Tata itu seolah seperti pengelolaan.

Tapi pada praktiknya dulu itu tempat-tempat memang sudah diincar untuk jadi area perkebunan.

Kumpulan hewan seperti gajah bisa dibagi paling kecil, itu kelompok keluarga, betina dengan beberapa anak, dan tante.

Gajah biasanya betina kelompok besarnya itu.
Pejantan dewasa itu memisahkan diri.

Pejantan baru mencari gajah yang siap dikawini.
Tapi selebihnya yang jantan itu punya kelompok sendiri.

Para pejantan ini mengikuti kelompok betina tapi dari jauh.

Kelompok betina itu bisa 20-40 ekor, itu juga tergantung konfigurasi habitatnya.

Itulah kelompok klan, kumpulan dari beberapa kelompok, kelompok sendiri kumpulan dari beberapa keluarga.

Klan ini lah yang dipahami kebanyakan orang yang disebut dengan kantong gajah, ruang jelajah dari satu klan,

Satu klan dengan klan lain, kadang-kadang masih terhubung juga, tapi hanya sesekali

Gajah-gajah di Way Kambas itu masih satu metapopulasi, mungkin ada beberapa kelompok, ada beberapa klan.

Di Bukit Barisan Selatan juga begitu.
Kalau yang tidak terkoneksi sama sekali biasanya yang ada barrier yang sangat signifikan.

Misalnya wilayah yang dikelilingi sama dengan tebing, lantas mereka tidak bisa bersatu.

Tapi sebetulnya kalau di Sumatera pasti ada suatu masa pernah terhubung.

Tapi kalau sudah terjebak sangat jauh atau sekarang terhalang sama perkotaan misalnya.

Sekarang antara di Bukit Barisan Selatan dan di Way Kambas bisa dibilang tidak mungkin sambung, sudah ada barrier.

Bisa dibilang itu sudah tidak metapopulasi.

Gajah mencari tempat-tempat bukan hutan primer, tapi yang ada makanan.

Jadi ada kecenderungan juga gajah akan menghuni pinggir hutan, apa lagi kalau di pinggir hutan itu banyak perkebunan yang ditanam tanaman yang disukai gajah.

Tanaman padi saja bisa menarik gajah alami untuk keluar.

Dengan demikian terjadilah pengusiran terhadap gajah.

Kalau mereka sudah tidak punya tempat lagi untuk lari, biasanya mereka akan berupaya dengan segala cara untuk beradaptasi atau lebih beringas dan sebagainya.

Ini yang bikin kita khawatir, dan di Sumatera kecenderungannya seperti itu.

Jadi agresif itu kan respons saja dari apa kita lakukan terhadap mereka.

Kalau satwa itu tidak diperlakukan dengan baik biasanya mereka juga tidak menjadi beringas.

Kalau kita beringas ke mereka, dia juga akan seperti itu ke kita.

Gajah itu kan punya ingatan yang sangat kuat.

Makannya penanganan konflik itu tidak cukup hanya dengan mengusir saja, jadi harus holistik

Pertama, kebutuhan habitat harus diperhatikan dulu cukup atau tidak habitatnya.

Kemudian ada tempat-tempat tertentu menjadi obligat (kondisi dasar) untuk dia bergerak.

Karena dia juga perlu berinteraksi.
Gajah makhluk sosial yang sangat kuat, bahkan sepertinya lebih dari pada kita.

Gajah adalah mahluk yang setia kawan.

Misalnya satu temannya dalam kawanan sedang terjebak, mereka akan menunggu temannya itu.

Seekor gajah akan menunggu kawanannya sampai temannya betul-betul sadar dan bisa diajak jalan lagi.
Pada hal sudah diusir tetap saja mereka di situ.

Ketika kawanan gajah melihat anggota kelompok yang terjebak, teman-temannya harus menunggu, bantu menarik dan sebagainya.

Sangat tinggi sekali ikatan sosialnya, mungkin manusia bisa kalah.

Dan gajah multidimensi. Mereka bisa berbahasa lewat banyak hal.

Kita enggak bisa memahami bahasa mereka.

Tapi mereka akan sangat sensitif dengan keadaan.

Semakin meningkatnya interaksi antara gajah dengan manusia, menyebabkan para gajah semakin berani dengan manusia.

Terlebih lagi kalau mereka sudah tidak punya tempat lain.

Mau tidak mau akhirnya melawan.
Terlebih lagi kalau mereka tahu bahwa berinteraksi manusia tidak apa-apa.

Terlebih lagi bila mitigasi konfliknya hanya fokus pada pengusiran misalnya.

Mereka akan belajar dari situ.
Makanya kita harus berpikir bagaimana mengubah mindset kita.

Bagaimana mencari cara untuk hidup berdampingan secara lebih damai, itu memang tidak mudah tapi harus dicari, di beberapa tempat dimungkinkan.

Di Thailand, ada Taman Nasional Kaeng Krachan di Phetchaburi.

Di situ ada pengayaan habitat.
Tapi memang perlu komitmen high level di situ.

Kalau di Thailand rajanya langsung yang menitahkan, ini kawasan harus diamankan buat gajah.

Waktu itu raja memerintahkan tentara untuk menjaga keamanan tempat itu.

Kemudian ada dana khusus juga, dan sekarang menjadi tempat wisata.

Sedangkan di Afrika dan India, konflik secara sporadis juga masih terjadi.

Sekarang ada Tol Trans Sumatera, bagaimana nasib gajah, harimau, badak dan satwa liar lainnya ?

“Among Satwa Mrih Lestari”

Oleh :
Singky Soewadji

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *