Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pemerhati Pembangunan)
Sebagian besar masyarakat Indonesia tingal di pedesaan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Pemilihan tempat tinggal bagi masing – masing warga tentu berlatarbelakang alasan masing – masing. Ini soal pilihan tempat dengan segala argumen dan alasannya sehingga ia memilih tempat tinggal, kerja atau menjalankan profesi masing – masing yang dinilai tepat menurut sudut pandang relatif setiap orang. Persoalan kemudian, Kota sering dipersepsikan dengan kemajuan sementara desa sering dipersepsikan dengan ketertinggalan, sehingga lahirlah pemikiran untuk meluncurkan program pemberdayaan masyarakat desa. Benarkah masyarakat desa dianggap kurang berdaya sehingga perlu pemberdayaan ? Padahal orang yang tinggal di kota pun belum tentu lebih bahagia dari masyarakat yang tinggal di desa. Masyarakat di kota belum tentu lebih nyaman dari masyarakat yang tinggal di desa, tetapi kosa kata “pemberdayaan” jarang dipakai dalam terminologi “pemberdayaan masyarakat kota”.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sejak zaman Orde Baru sudah menaruh perhatian besar terhadap pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Bahkan sejak sejak tahun 2015, Pemerintah telah memberikan porsi anggaran yang besar untuk pembangunan pedesaan dan wilayah pinggiran. Tujuan normatifnya adalah untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan menyejahterakan masyarakat yang tergolong miskin. Mungkin sebagian lupa bahwa ketimpangan ekonomi yang sangat menyolok sebenarnya banyak terjadi di perkotaan. Lihat saja kantung – kantung kemiskinan di perkampungan kumuh perkotaan, ataupun kampung di sekitar bantaran kali yang memanfaatkan lahan yang belum tentu miliknya sendiri.
Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa seyogiyanya selalu melibatkan warga desa dalam setiap tahapan programnya. Karena walau bagaimanapun mereka adalah subjek pembangunan yang lebih tahu situasi dan urgensi pembangunan yang diharapkan. Desa jangan hanya sekedar menerima program tanpa ditanya desa tersebut sangat membutuhkan apa. Hal ini dilakukan agar nilai guna dan nilai manfaat atas program bisa benar – benar dirasakan oleh masyarakat setempat. Konsep yang disampaikan oleh orang “luar” belum tentu bisa pas dengan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu sekali lagi kata kuncinya adalah keterlibatan dan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan skala prioritas objektif yang sangat dibutuhkannya.
Masyarakat desa mungkin awam dengan istilah – istilah akademis, tetapi jangan lupa bahwa mereka kaya dengan pengalaman dan pengetahuan empiris yang diperoleh melalui penglihatan, pengamatan dan praktik langsung di laboratorium pedesaan. Keahlian historis yang dimiliki seorang akademisi sebaiknya dipadukan dengan keahlian empiris yang dimiliki oleh warga masyarakat agar mampu memecahkan berbagai problem sosial kemasyarakatan secara tepat. Tidak menarik kesimpulan dari fakta temporer yang kadang keliru dan bias. Objektivitas penelitian dengan mengikuti kaidah penelitian ilmiah memang dipengaruhi oleh beberapa faktar yang kadang diasumsikan, namun jangan lupa variabel asumsinya itu jangan terlalu banyak agar hasil penelitian tidak bias.
Lihat saja contoh kegagalan riset yang dilakukan oleh seorang peneliti di India yang menceritakan kehadiran aktivis pemberdayaan masyarakat yang datang ke sebuah desa selama 1 bulan dan menyimpulkan bahwa masyarakat di sana sangat rukun dan saling bergotong royong untuk memajukan desa. Namun setelah diteliti kembali, ternyata pada bulan kedua dan bulan ketiga, tidak ada kegiatan seperti itu. Setelah diselidiki, ternyata warga takut dianggap miskin, tidak mampu, dan tidak bahagia. Mereka disuruh oleh pemerintahan desa untuk bergotong-royong agar si peneliti dari luar itu yakin bahwa kondisi desa baik-baik saja. Ini contoh bias penarikan kesimpulan atas fenomena empirik yang terlalu singkat dan minim pelibatan partisipasi masyarakat setempat.
Belajar dari kacamata dan pengalaman orang lain di tempat yang lain, sejatinya menjadi pelajaran yang berharga agar kita tidak melakukan kegagalan atau kesalahan yang sama. Oleh karenanya perencanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa sebaiknya bersifat bottom up. Ajak bicara dan libatkan masyarakat dalam penyusunan program secara sungguh – sungguh, agar semakin tumbuh rasa tanggung jawab, rasa memiliki dan nilai manfaatnya semakin maksimal. Ruang diskusi dan dialog harus dibuka selebar – lebarnya agar tidak terjadi gap perencanaan. Kombinasi historik akademis dan praktek empiris bisa menjadi model sekaligus konsep dasar dalam mendesain program pembangunan desa yang berkelanjutan.
Dan jangan juga dilupakan bahwa gaung pembangunan yang dilakukan harus memiliki keseimbangan konsep antara pembangunan fisik dan pembangunan rohani. Mungkin saja pembangunan fisik berupa bangunan dan infrastruktur perkotaan lebih maju dari pedesaan, tapi jangan disangkal bahwa pembangunan rohani pedesaan bisa jadi lebih maju saat mereka lebih merasakan ketenangan dan ketenteraman di desa. Jadi pembangunan infrastruktur fisik harus disertai desain infrastruktur sosial dan infrastruktur spiritual. Inilah konsep arsitektur pembangunan manusia Indonesia yang utuh, unggul, bersatu dan tenteram.