JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fernando Sinaga memberikan masukan kritis terhadap Standar Norma dan Peratuan Hak Azazi Manusia (SNP HAM) tentang Tanah dan Sumber Daya Alam (SDA) dalam konsultasi publik yang dilakukan Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (Komnas HAM) secara virtual, Kamis (29/7).
Soalnya, pengawasan yang dilakukan DPD RI selama ini menemukan berbagai permasalahan pertanahan dan SDA meski pada saat yang sama Pemerintah telah melakukan upaya dan program seperti sertifikasi tanah, perhutanan sosial, penataan ulang tanah terlantar dan pelepasan 22.000 desa dari kawasan hutan.
Konsultasi publik ini sebagai acuan, pedoman buat pemangku hak dalam melindungi dan membela hak–haknya, dan bagi pengemban kewajiban dalam menyusun dan merancang perundang–undangan, merumuskan kebijakan serta implementasinya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM terkait tanah dan SDA.
“Dari pengawasan Komite I, kami melihat Pemerintah belum mampu menyelesaikan konflik pertanahan yang terjadi khususnya di daerah karena lemahnya komitmen dan keseriusan Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan konflik lahan.
“Contoh kasus yang telah kami lihat saat kunjungan bersama dengan Wamen ATR/BPN dan Komnas HAM ketika berdialog dengan Suku anak Dalam di Jambi,” ujar Fernando.
Karena itu, kata Fernando, di forum publik ini dirinya memberikan masukan kritis yang pertama, yaitu DPD RI berharap Komnas HAM bisa bekerjasama dengan di DPD RI sebagai wakil daerah untuk memperkuat komitmen dan keseriusan Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan konflik tanah dan SDA melalui NSP HAM.
Kedua, soal permasalahan desa yang ada dikawasan hutan dan Hak Guna Usaha (HGU) dimasukan dalam SNP HAM.
“Ada 22 ribu desa yang harus dilepaskan dari kawasan hutan. Saya sepakat dengan dari Kemendes yang menyatakan SNP ini belum membahas lebih dalam tentang desa. “Karena itu, saya minta Komnas HAM memasukan masalah HGU dan pelepasan desa dikawasan hutan kedalam SNP ini,” kata Fernando.
Ketiga, Komite I DPD RI berharap agar NSP HAM ini dapat memberikan informasi tentang klustering tingkat keparahan konflik tanah dan sumber daya alam diberbagai daerah.
“Saya informasikan di Kaltara, persoalan konflik tanah dan SDA yang melibatkan masyarakat adat dan institusi negara sudah berjalan belasan tahun dan tak kunjung selesai. Ini bisa menjadi materi SNP HAM dalam menyusun klustering tingkat keparahan konflik tanah dan SDA di daerah.”
Ditegaskan, konflik pertanahan dan SDA sesungguhnya terindikasi melanggar prinsip–prinsip HAM yaitu kesetaraan, non diskriminasi, universal dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Pelanggaran prinsip HAM ditandai dengan adanya korban jiwa, melibatkan kekerasan dan represif, kehilangan harta benda dan kerugian material lainnya.
Bahkan, tidak jarang menimbulkan traumatik tersendiri bagi masyarakat.
Merujuk catatan Komite I DPD RI selama ini, tercatat sampai 2020, telah terjadi 241 kasus konflik pertanahan, tertinggi ada di sektor perkebunan dengan 122 kasus dan kehutanan 41 kasus.
Total luas lahan konflik 624 ribu hektar meliputi sektor kehutanan lebih dari 312 ribu hektar dan perkebunan 230 ribu hektar.
Konflik agraria di sektor perkebunan paling banyak pada lahan sawit 101 kasus dan tebu 3 kasus. Konflik paling banyak berkaitan dengan perusahaan swasta 106 kasus dan BUMN 12 kasus.
Disamping itu, konflik juga melibatkan masyarakat dengan aparat dan klaim institusi.
“Masukan keempat, DPD RI berharap NSP HAM Tanah dan SDA ini dapat mendorong Komnas HAM melibatkan tanggungjawab negara dalam menyelesaikan konflik tanah dan SDA. Tanggungjawab negara adalah bagian dari prinsip HAM,” tegas Fernando.
Fernando ingin NSP HAM memperkuat kewibawaan, ketegasan Komnas HAM sebagai lembaga negara penegak HAM yang berpihak pada rakyat.
“Kementerian/Lembaga sejatinya harus patuh. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kami dari DPD RI menyesalkan adanya ketidakpatuhan dan kurangnya komitmen dalam bekerjasama berbagai Kementerian/Lembaga untuk menegakan HAM bersama Komnas HAM,” demikian Fernando Sinaga. (akhir)