SURABAYA, beritalima.com|
Pada akhir Juli lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif. Aturan itu berisi ketentuan pembiayaan ke lembaga keuangan bank dan non-bank bagi pelaku ekonomi kreatif. Salah satunya adalah pembiayaan berbasis kekayaan intelektual seperti pinjaman uang melalui konten Youtube.
Menanggapi hal tersebut, Igak Satrya Wibawa S Sos MCA PhD, selaku Dosen Peminatan Industri Kreatif S2 PSDM Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga, menyebut peraturan tersebut memberikan angin segar bagi konten kreator, khususnya di industri kreatif.
Menurutnya, hal itu menjadi tawaran menarik karena beberapa negara lain telah melakukannya sehingga menjadi hal yang sangat umum.
“Namun, di Indonesia belum pasti penegakan peraturan itu. Kalau menjadi angin segar iya tentu. Sebab, bagaimanapun konten kreator mendapatkan kesempatan lebih besar untuk berkarya,” terangnya
Lebih lanjut, Igak mengungkapkan bahwa dipilihnya Youtube serta film sebagai salah satu konten dalam PP Ekonomi Kreatif adalah karena berkembangnya profesi konten kreatif di industri digital media yang memperoleh penghasilan lebih tinggi daripada orang pada umumnya. Sehingga digital media mendapatkan peluang uji coba untuk memastikan konten yang dibuat layak dijadikan nilai pinjaman di bank.
Komparasi dengan Negara Luar dan Potensi Isu
Menurut Igak, terbitnya PP Ekonomi Kreatif ini dapat dikatakan terlambat, namun sudah dalam langkah yang lebih baik sebab disesuaikan dengan kondisi industri kreatif di Indonesia. Namun, hal itu belum cukup dan membutuhkan kepastian hukum lembaga yang mengatur value konten.
“Beberapa negara lain seperti Kanada dan Amerika Serikat, value mereka sudah ada, dan sudah ada komparasi (value) nya dibanding dengan kita,” sambungnya.
Ia lalu mencontohkan bahwa film di Amerika yang memiliki value yang cukup besar, dan mempunyai tafsir nilai uang dari produk film itu sehingga bank memiliki ketepatan menaksir harga yang dikisar. Jika salah satu aktor seperti Brad Pitt membintangi film, maka bank akan menaksir berapa keuntungan dan kemungkinan pinjaman yang akan dikeluarkan.
“Sedangkan di Indonesia belum ada lembaga yang mengatur, menjamin dan me-monitizing hal itu, yang mengukur harga nilai atau produk yang akan dijaminkan,” imbuhnya.
Dari potensi isu tersebut, bank-bank di Indonesia akan sulit menerima konten sebagai jaminan utang. Sebab, bank juga ingin memiliki kepastian nilai konten untuk diekuivalenkan dengan sejumlah rupiah yang akan menjadi utang.
Karena itu, peraturan tersebut perlu adanya langkah lebih lanjut, seperti keselarasan dengan lintas sektoral perbankan, hukum dan hak cipta, memiliki lembaga yang menaungi, dan banyak sektor lain yang harus dibenahi agar program ini agar dapat berjalan dengan baik.
“Paling tidak industri kreatif saat ini mempunyai bayangan dan dapat mempersiapkan diri untuk membuat konten-konten yang solid dan mempunyai nilai jual yang tinggi dan tentu stabil dan memiliki stabilitas yang dibutuhkan dalam perbankan,” pungkasnya. (Yul)