JAKARTA, beritalima.com | Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menyoal pengajuan keberatan ke 57 pegawai KPK yang telah diberhentikan oleh Pimpinan KPK kepada Presiden.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan, keputusan pemberhentian 57 Pegawai KPK oleh Pimpinan KPK sudah sah, final dan mengikat secara hukum, baik dari aspek pemberhentian dari pegawai pada KPK maupun aspek gagal menjadi ASN pada KPK atau institusi negara manapun termasuk pada institusi POLRI.
Namun, lanjut dia, pada saat ini Surat Keputusan Pemberhentian 57 Pegawai KPK dari Pimpinan KPK tengah diajukan keberatan oleh mereka kepada Presiden Jokowi sebagai upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 dan pasal 77 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Masalahnya sekarang, kedudukan atau legal standing Presiden tidak berada pada wewenang untuk memproses upaya administratif berupa keberatan dimaksud, karena kewenangan untuk itu berada di tangan Pimpinan KPK. Tetapi, mengapa keberatan itu ditujukan kepada Presiden? Menurutnya, ini langkah licik tetapi sekaligus bodoh.
Dari segi hukum acara menurut pasal 75 ayat (1) jo. pasal 77 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014, Tentang Administrasi Pemerintahan, Keberatan itu wewenang atasan yang mengeluarkan Keputusan Pemecatan terhadap 57 Pegawai KPK, yaitu Pimpinan KPK, sedang Presiden bukan atasan 57 eks Pegawai KPK.
Oleh sebab itu, kata Petrus, wajib hukumnya bagi pihak Sekneg mengabaikan pengajuan keberatan dimaksud, dan dalam tempo 10 hari dari sekarang segera menolak Keberatan itu dengan tetap mengantisipasi ketentuan pasal 77 ayat (4) dan (5) UU No. 30, Tahun 2014, Tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu soal Keputusan Pejabat TUN yang bersifat “Fiktif Positif” dalam tempo 10 hari sejak diajukan harus sudah selesai proses Keberatan, jika tidak maka konsekuensi yuridisnya ialah Keberatan dianggap telah dikabulkan.
Karena itu, lanjut Petrus, pengajuan Keberatan kepada Presiden Jokowi dimaksud diduga dilakukan dengan “Itikad Tidak Baik” guna mendapatkan Keputusan yang besifat “Fiktif Positif” memfait accompli Presiden sekaligus membenturkan Presiden dengan Pimpinan KPK, BKN dan Menpan-RB, terlebih-lebih bertentangan dengan tahapan Upaya Administratif sesuai ketentuan UU No. 30 Tahun 2014, Tentang Administrasi Pemerintahan.
“Semua pihak harus ingat bahwa persoalan 57 mantan Pegawai KPK itu tidak tunduk pada UU No. 5 Tahun 2014 Tentang ASN, karena 57 Pegawai KPK yang dipecat tidak pernah menjadi ASN di KPK. Karena itu menuntut Presiden Jokowi membatalkan Keputusan Pemecatan dengan dasar Presdien Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi dan manajemen ASN, jelas sebagai eror in persona dan eror in obyecto,” ujarnya dia, Senin (25/10/2021).
“Ke 57 mantan Pegawai KPK itu hanya ingin menciptakan kegaduahan demi kegaduhan di ruang publik dengan target menciptakan opini publik guna mendapatkan panggung politik untuk mendiskreditkan Presiden Jokowi. Karena itu tidak pada tempatnya jika Presiden Jokowi dan Kapolri membuka pintu mengakomodir ke 57 eks Pegawai KPK menjadi ASN pada Polri, karena tidak ada landasan hukumnya dan karakter mereka bukan konstruktif tetapi destruktif,” tambahnya. (Gan)
Teks Foto: Petrus Selestinus. (Foto: Ist)