Oleh: Helmy Akuntan NDeso
Kalau dipikir-pikir sebenarnya sebab terjadinya bencana banjir dan akibat yang ditimbulkannya sama dengan terjadinya korupsi. Banjir akibatnya bisa menenggelamkan seluruh kota. Korupsi akibatnya lebih parah, bisa menenggelamkan seluruh sendi kehidupan bangunan negara.
Korupsi terjadi karena bertemunya dua faktor yaitu faktor *niat* yang sifatnya tidak dapat dikontrol atau dikendalikan (uncontrollable) dan faktor *peluang* atau kesempatan yang sifatnya dapat dikontrol atau dikendalikan (controllable). Salah satu faktor tersebut tidak ada maka korupsi tidak akan terjadi.
Begitu juga banjir terjadi karena bertemunya faktor *hujan* yang sifatnya tidak dapat dikontrol atau dikendalikan (uncontrollable) dengan faktor *linkungan* yang sifatnya bisa dikontrol atau dikendalikan (Controllable). Salah satu faktor tersebut tidak ada maka banjir tidak akan terjadi.
Sebagai kepala daerah, Gubernur Bupati dan Walikota dituntut untuk dapat menjaga kebersihan dan menata lingkungan di wilayah kerja daerahnya masing-masing. Dengan membangun infrastruktur yang diperlukan dan membangun fasilitas-fasilitas pendukung lainnya agar tidak terjadi banjir saat musim hujan tiba. Melakukan sosialisasi tidak membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya.
Ketika betul terjadi banjir biasanya masyarakat dengan mudah langsung menyimpulkan *Gubernurnya kurang antisipasi* dianggap tidak ahli dalam mengurusi soal banjir. Dulu Ahok sekarang Anies yang sering menjadi sasaran umpatan kemarahan para nitizen.
Alasan mereka sederhana walaupun hujan itu uncontrollable tapi masih predictable artinya masih bisa diprediksi atau diperkirakan sebelumnya karena ada siklus musimnya dan ada tanda-tanda cuacanya. Sehingga kepala daerah sejatinya masih ada waktu atau kesempatan untuk melakukan langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi bencana banjir.
Hari ini Indonesia sedang memasuki musim pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020. Total daerah yang akan melaksanakan sebanyak 270 dengan rincian 9 propinsi 224 kabupaten dan 37 kota. Rencananya hari pencoblosannya dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang bertepatan dengan hari anti korupsi sedunia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk maju menjadi kontestan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, bisa puluhan milyar rupiah bahkan sampai ratusan milyar rupiah. Secara logika tidak sebanding dengan gaji atau penghasilan yang akan diterima oleh seorang kepala daerah.
Meskipun faktor niat orang untuk berbuat korupsi tidak dapat dikontrol atau dikendalikan karena memang niat tersebut adanya dibenak diri atau pikiran masing-masing orang. Tetapi sebagai Presiden atau Kepala Negara tentu sudah dapat memprediksi. Bahwa saat ini sedang musimnya calon-calon kepala daerah untuk mencari sumber dana yang besar agar bisa menang dalam Pilkada. Gayung bersambut dengan para cukong yang sedang mengantri dan berniat melakukan investasi dibanyak kabupaten kota.
Benar saja minggu yang lalu Menko Polhukam Mahfud MD mengeluarkan pernyataan bahwa 92% calon kepala daerah yang bakal maju ikut dalam Pilkada tahun ini dibiayai oleh para cukong, hal yang demikian sangat berpotensi terjadinya korupsi.
Dampak kerja sama dengan cukong ini lebih berbahaya dari korupsi uang tutur Mahfud MD. Biasanya dalam bentuk korupsi kebijakan berupa lisensi pengusahaan hutan, lisensi tambang dan lisensi-lisensi lainnya yang lebih merugikan negara dan masyarakat.
Pertanyaannya lalu untuk apa beliau mengucapkan hal tersebut dihadapan wartawan ??. Seharusnya informasi awal atas temuan tersebut segera dilaporkan ke Presiden agar sebagai kepala negara dapat melakukan langkah-langkah antisipasi pencegahannya dengan mempersempit atau menutup peluang-peluang yang ada supaya tidak betul terjadi banjir korupsi yang dapat menenggelamkan negeriku Indonesia tercinta. Masih ada waktu !
Hemat penulis, sosok mantan ketua mahkamah konstitusi yang satu ini memang sangat fenomenal. Dipercaya oleh Presiden Jokowi dianggap mampu membenahi hukum di indonesia. Namun ternyata tidak bisa berbuat apa-apa dikala mengetahui UU KPK 2002 sebagai instrumen pembendung meluapnya aliran banjir korupsi dibongkar dan dimutilasi oleh DPR RI.
Jangan sampai nanti masyarakat menyimpulkan sendiri bahwa *Presidennya kurang antisipasi.* Tidak berani melawan sama cukong dan dianggap melakukan pembiaran atau tutup mata tutup telinga terhadap adanya banjir korupsi yang pada akhirnya bisa berujung kepada pelanggaran konstitusi (HAND).