LABUHA, Beritalima.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan ketertarikan terhadap penanganan 11 kasus korupsi di Maluku Utara. Ke-11 kasus tersebut ditangani Kejaksaan Tinggi Malut. Satu dari 11 tindak pidana korupsi tersebut adalah kasus bantuan sosial (Bansos) dan dana subsidi untuk Perusahaan Daerah Prima Niaga Halsel (PNH) Halmahera Selatan.
Dalam koordinasi dan supervisi (korsup) yang dilakukan di Kejati Malut, Kamis (29/3), tujuh penyidik KPK membahas penanganan kasus tersebut bersama Kepala Kejati Ida Bagus Nyoman Wismantanu. 11 kasus tersebut dibahas perkembangannya satu per satu.
Dugaan korupsi berjamaah Bansos Halsel merupakan salah satu kasus yang selama ini paling menarik perhatian publik Malut. Pasalnya, total Bansos yang diduga bermasalah mencapai Rp 47 miliar. Selain itu, kasus ini ditengarai melibatkan banyak pejabat daerah.
Dana Bansos yang diduga bermasalah itu berasal dari tahun anggaran 2007, 2008, dan 2009. Dugaan penyelewengan ini pertama kali dilaporkan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke Kejati pada 2016. Pada Agustus 2016 Kejati menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Penggunaan anggaran Bansos Rp 47 miliar itu diduga tak sesuai peruntukan. Dimana Pemerintah Kabupaten Halsel disebut menyalurkannya untuk LSM-LSM yang tak memiliki badan hukum. Sebagian dana Bansos juga mengalir ke Perusda PNH, dimana Rp 7 miliar diantaranya disebut-sebut digunakan Bupati Halsel kala itu Muhammad Kasuba (MK) untuk anggaran sewa KM Halsel Express. Padahal, Halsel Express merupakan kapal milik Pemkab sendiri. Bansos Halsel sebesar Rp 400 juta juga diduga mengalir ke tangan Nurlela Muhammad, mantan pejabat di internal Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Halsel. Penggunaan Bansos lain yang dipermasalahkan adalah untuk biaya sewa rumah sejumlah pejabat Halsel seperti Sekretaris Daerah Helmy Surya Botutihe dan mantan Kepala Inspektorat Bambang Hermawan.
Dalam penyidikannya, Kejati telah memeriksa MK selaku mantan bupati, mantan Kepala Perusda yang kini menjadi Wakil Bupati Halsel Iswan Hasjim, Nurlela Muhammad yang saat ini menjabat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Halsel, serta Helmy Surya. Mereka diperiksa sebagai saksi. Total ada 115 saksi yang pernah diperiksa untuk kasus ini.
Sayangnya, pada 17 April 2017 Kajati Malut Deden Riki Hayatul Firman memutuskan menghentikan penyidikan kasus tersebut. Alasannya, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak ditemukan bukti kerugian negara. BPK berpendapat penyaluran dana Bansos sudah sesuai peruntukannya.
Kajati Malut Ida Bagus Nyoman Wismantanu membenarkan Bansos Halsel telah di-SP3 pendahulunya. Menurutnya, hal itu juga telah disampaikan ke KPK. Wismantanu menuturkan, SP3 bukan berarti penanganan kasus tersebut bermasalah.
“SP3 itu merupakan salah satu proses hukum untuk memberikan kepastian hukum kepada pencari keadilan,” katanya.
Sayoang-Yaba Mengambang
Selain Bansos, kasus korupsi kakap lain yang mengambang di meja Kejati adalah megaproyek pembangunan jalan dan jembatan Sayoang-Yaba, Halsel, pada 2015. Pembangunan jalan sepanjang 25,9 kilometer yang melintasi Kecamatan Bacan Timur dan Bacan Barat Utara itu menelan anggaran Rp 49 miliar. Proyek tersebut terindikasi bermasalah lantaran kondisi jalan saat ini yang jauh dari kata layak.
Data yang dirangkum BeritaLima.com menyebutkan, megaproyek Sayoang-Yaba merupakan proyek milik Dinas Pekerjaan Umum Maluku Utara yang dianggarkan melalui APBD. Pemenang tender dalam proyek ini adalah PT Bangun Utama Mandiri Nusa (BUMN). Perusahaan bernomor pokok wajib pajak 02.698.122.5-942.000 itu menjadi pemenang setelah mengalahkan 27 perusahaan konstruksi lainnya.
Perusahaan yang beralamat di Jl. Ki Hajar Dewantara, Kampung Pisang, Ternate Tengah ini diketahui sering mengerjakan proyek-proyek besar di Malut. Selain Sayoang-Yaba, PT BUMN juga pernah mengerjakan proyek pembangunan gedung kantor Kejaksaan Negeri Labuha, Halmahera Selatan, senilai Rp 3,4 miliar.
Lalu proyek pekerjaan galian tanah persiapan perpanjanganlandas pacu runway Bandara Oesman Sadik Labuha senilai Rp 12,8 miliar, pembangunan jalan hotmix dan bangunan pelengkap jalan ruas Labuha-Indomut-Belang Belang senilai Rp 4,8 miliar, peningkatan jalan sirtu ke jalan aspal ruas jalan Sayoang-Bori senilai Rp 5,9 miliar, dan pembangunan jalan hotmix ruas dalam kota Bibinoi, Halsel, dengan nilai proyek Rp 4,4 miliar.
Dalam proyek jalan Sayoang-Yaba, BPK mengendus adanya kerugian negara hingga puluhan miliar. Kualitas material jalan juga diduga tak sesuai standar yang menyebabkan jalan begitu cepat rusak. Sayangnya, penanganan kasus ini tergolong lamban. Kejati bahkan terkesan melindungi aktor-aktor di balik megakorupsi ini. (iel)