SUMENEP, beritalima.com| Fenomena korupsi untuk mengumpulkan modal pilkada membuat KPK mengimbau kandidat pemilu untuk tidak melakukan politik uang. Musababnya, dampak politik uang dalam pemilihan bisa menjadi cikal bakal orang melakukan korupsi.
Maraknya korupsi politik lima tahun kebelakang sejalan dengan maraknya politik uang pada pemilu kepala daerah 2020 yang akan digelar serempak pada tanggal 9 desember 2020. Pemilu legislatif 2019 dinilai sebagai contoh kasus pemilu dengan praktik politik uang paling masif dan vulgar sepanjang sejarah pemilu di
Indonesia.
Membaca pola-pola korupsi yang ditanganinya, KPK sepakat pada thesis yang menyebutkan bahwa korupsi politik lahir dari korupsi pemilu dan politik berbiaya tinggi.
Di sisi yang sama, ICW (2018) menyebut bahwa politik uang, khususnya
mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying), adalah penyebab mahalnya biaya berkontestasi dalam pemilu.
Dua praktik ilegal ini menyusul akar
persoalan utama, yaitu penjaringan bakal
calon kandidat pemilu di partai politik
Komisi Pemberantasan Korupsi
(2018) menyebut 32 persen atau 179
tersangka korupsi yang kasusnya mereka
tangani merupakan aktor politik. Aktor
politik yang dimaksud KPK hanya mencakup
jabatan anggota DPR dan DPRD (144 orang)
dan kepala daerah (89 orang). Tidak
termasuk di dalamnya aktor politik lain,
seperti ketua umum atau kader partai
politik yang tidak menduduki jabatan
publik. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2010 hingga Juni 2018, terdapat 503 anggota dewan dan 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh aparat penegak hukum.
Sepanjang periode 2014-2019, KPK
menetapkan 22 anggota DPR RI 2014-2019 sebagai tersangka korupsi. Diantaranya adalah Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, dan Ketua Umum
PPP Muhammad Romahurmuziy.
Ironisnya, Taufik Kurniawan dan Romahurmuziy bahkan ditetapkan sebagai tersangka saat keduanya tercatat sebagai caleg pemilu 2019.
Dilihat dari pelaku, modus, dan
polanya, korupsi yang dilakukan oleh aktor politik di atas tergolong sebagai korupsi politik. Robin Hodess (2004:11)
mendefinisikan korupsi politik sebagai
penyelewengan kekuasaan yang dilakukan politisi (political leaders or elected officials) untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan tujuan meningkatkan kekuasaan atau kekayaan.
Korupsi oleh pemegang kekuasaan atau kewenangan politik ini tidak hanya terjadi dalam bentuk transaksi uang, tetapi juga pengaruh (trading in influence).Dari sisi waktu, korupsi politik dapat terjadi sebelum, saat, dan setelah pelaku menjabat sebagai pejabat publik.
Kasus korupsi politik membuat
pemilu dihujani kritik. Mereka
mempertanyakan mekanisme pemilu yang tak jua menghasilkan pejabat publik yang baik. Nyatanya, pemilihan yang terbuka dan kompetitif belum mampu menghasilkan orang terbaik untuk menjalankan pemerintahan. Bagaimana tidak, anggota dewan dan kepala daerah pelaku korupsivpolitik di atas merupakan produk pemilu.
Sistem pilkada langsung dan sistem
pemilu legislatif proporsional terbuka pada akhirnya kerap dituding menjadi sumber
persoalan. Padahal, celah terjadinya politik uang tetap potensial terjadi pada sistem pilkada tidak langsung dan pemilu legislatif tertutup.
Ada dua hal yang perlu segera
dibenahi. Pertama, proses rekrutmen dan pendanaan partai politik. Kedua, pendidikan politik bagi pemilih.
Di Pilkada serentak 2020, selain
partai politik harus memperbaiki proses
rekrutmen, kandidat juga harus mempunyai tim sukses yang handal dan mampu bekerja secara serius. Tim sukses harus mampu menganalisa kekuatan dan tantangan sehingga dapat menyusun strategi pemenangan yang efektif tanpa
menerapkan cara-cara ilegal seperti menyuap pemilih. Pada dasarnya, menyuap pemilih adalah cara instan yang merupakan buntut dari ketidakmampuan partai, kandidat, dan tim sukses menarik hati dan minat pemilih.
Meski memerlukan kerja
panjang dan sumber daya yang tidak sedikit, cara-cara ini dapat jauh menguatkan nilai jual kandidat.
Untuk pemilu ke depan, kolaborasi
antara bagusnya kualitas kandidat dan
handalnya tim sukses akan dapat mengikis politik uang. Namun, kerja-kerjavpemenangan yang benar ini juga perlu dipadukan dengan pendidikan politik bagi pemilih.
Konten mengenai bahaya politik
uang dan impact mahalnya biaya
pemenangan pemilu terhadap korupsi
harus terus dihadirkan dengan bahasa dan analogi yang mudah dipahami publik. Tentu, pendidikan politik ini adalah kerja panjang yang tidak hanya dilakukan di waktu-waktu pemilu saja.
(Ferry Saputra, aktivis sosial)