Oleh: Barid Effendi
SURABAYA, beritalima.com | Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa, namun kata reformasi umumnya merujuk pada gerakan mahasiswa tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto dan menandai berakhirnya orde baru, berganti dengan era reformasi. Salah satu tuntutan para mahasiswa saat itu adalah “ciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)”.
Maraknya praktik-praktik usaha yang beraroma KKN pada saat itu melahirkan konglomerasi yang dekat dengan penguasa dan tidak memberi kesempatan untuk berusaha secara luas bagi semua pihak. Kondisi ini akhirnya meruntuhkan bangunan perekonomian negara yang telah dirintis bersama-sama dan diagung-agungkan sebagai keberhasilan penerapan sistem perekonomian yang demokratis berdasarkan Pancasila.
Cita-cita orde baru membawa Indonesia menuju tinggal landas dengan konsep yang dirancang dalam Garis Besar Haluan Negara, dan dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun, harus berakhir dengan tragis, yakni timbulnya krisis multi dimensi. Ini semua terjadi antara lain karena Indonesia tidak memiliki perangkat hukum dan kelembagaan yang mengawal terselenggaranya demokrasi ekonomi.
Demokrasi Ekonomi
Para pendiri bangsa ini sejak awal telah meletakkan pondasi tatanan kehidupan bernegara dengan menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Konsep inilah yang secara ilmu politik/pemerintahan dikenal dengan istilah Demokrasi, namun dalam tatanan kehidupan bernegara di bidang ekonomi pun juga sama, sehingga dikenal istilah demokrasi ekonomi. Landasan konstitusional demokrasi ekonomi kita adalah Pasal 33 UUD 1945, sedangkan landasan idiilnya adalah Pancasila.
Salah satu amanat yang amat mendasar dalam UUD 1945 adalah bahwa perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang, dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menjadi kewajiban bangsa Indonesia untuk menjaga bahwa segala kemajuan yang kita capai haruslah merupakan langkah-langkah yang menuju secara bertahap ke arah perwujudan cita-cita tersebut.
Runtuhnya kejayaan orde baru menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa ini dalam membangun perekonomian negara. Konsep demokrasi ekonomi yang telah disepakati para pendiri bangsa, namun tanpa adanya perangkat hukum dan kelembagaan yang mengawal pelaksanaan demokrasi ekonomi itu sendiri ternyata sia-sia.
Semangat reformasi 1998, akhirnya turut mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999) dan melahirkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengawasi pelaksanaan UU tersebut. KPPU yang kemudian sering dijuluki sebagai Anak Kandung Reformasi karena lahir dari rahim reformasi, mengemban amanat yang sangat mulia, yakni untuk mengawal terselenggaranya demokrasi ekonomi.
Kiprah Anak Kandung Reformasi
Lahir di tengah-tengah euphoria reformasi, dan dengan proses legislasi yang terburu-buru, meninggalkan jejak substansi konstitusi yang terlewati. KPPU seolah-olah terlahir premature dengan beberapa organ yang diamanatkan dalam UU No. 5/1999 yang belum bisa berfungsi. Akibatnya, pada awal berdirinya, KPPU harus berjuang dengan sarana dan dukungan pemerintah yang sangat terbatas untuk menunjukkan jati dirinya sebagai institusi reformis, membangun keyakinan konsep hukum persaingan usaha untuk dapat diterima menjadi bagian konsep hukum administrasi yang berlaku di Indonesia.
KPPU juga harus berjuang membuktikan perannya sebagai pilar tegaknya hukum persaingan usaha dan pengawal terselenggaranya demokrasi ekonomi sehingga mampu menjawab tuntutan dan tantangan cita-cita gerakan reformasi.
Semangat patriotik para perintis KPPU pun telah menunjukkan kiprahnya dengan berbagai prestasi yang mendapat pengakuan baik di tingkat nasional maupun internasional. Salah satu prestasi fenomenal di awal kiprahnya adalah putusan perkara TEMASEK dan terungkapnya kartel SMS yang menekan tarif jasanya menjadi semakin kompetitif.
Kajian bersama antara KPPU, LPEM-FEUI, dan JICA menemukan bahwa dampak putusan ini diperkirakan telah memberikan income saving bagi konsumen sebesar 1.6–1.9 trilyun rupiah selama kurun waktu tahun 2007–2009. Angka tersebut belum termasuk efek multipleyer terhadap ekonomi nasional dari penggunaan SMS untuk menunjang kegiatan usaha.
Kiprah lain dari sisi advokasi kepada pemerintah adalah terbukanya regulasi industri penerbangan yang mampu menekan harga tiket lebih murah dan terjangkau, sehingga memicu dan memacu kegiatan ekonomi secara nasional yang ditandai dengan tumbuh-kembangnya bandar udara di berbagai daerah. Dan masih banyak lagi prestasi penegakan hukum persaingan yang telah ditorehkan oleh KPPU.
Namun di balik kiprah dan prestasi tersebut, terpendam masalah besar dan mendasar, karena legitimasi sekretariat dan status pegawainya sampai saat ini belum diakui oleh pemerintah. Hal ini jelas akan menjadi ganjalan bagi KPPU dalam menjamin keberlanjutan, akuntabilitas, dan kinerja lembaga, apalagi dalam memenuhi tuntutan dan tantangan global yang semakin komplek.
Pemerintah pun perlahan-lahan mulai mengakui dan mengapresiasi peran KPPU dalam mendukung pembangunan nasional. Sejak tahun 2010 pemerintah memberi kepercayaan pengelolaan penganggaran dengan bagian anggaran tersendiri, yang diikuti dengan kepercayaan sebagai penanggung jawab program dalam tata kelola penganggaran. Kepercayaan ini juga telah dibuktikan oleh KPPU dengan hasil audit BPK sebanyak 8 tahun berturutan mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Selanjutnya pemerintah pun mengapresiasi terhadap eksistensi dan legitimasi komisioner KPPU yang diwujudkan dengan pelantikan oleh Presiden di istana mulai KPPU periode 2018-2023.
Apresiasi dan pengakuan peran KPPU juga tergambar dengan jelas pada RPJMN 2020-2024, yang menempatkan peran KPPU untuk ikut mengemban agenda Pembangunan Prioritas Nasional ke satu (PN-1), yakni ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan berkelanjutan dan berkeadilan. Peran ini jelas sangat strategis dalam mendukung Visi Presiden 2019 – 2024, yakni “Terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong”.
Selain itu, pemerintah pun seharusnya menyadari bahwa KPPU adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, sehingga KPPU berperan juga sebagai alat kontrol untuk meluruskan kebijakan pemerintah pusat dan daerah agar sesuai dengan visi dan misi Presiden dalam mewujudkan reformasi di bidang ekonomi dan keberpihakan nyata kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Dengan demikian KPPU lah yang akan mengamankan Presiden dari tekanan kekuatan apapun dalam membuat dan melaksanakan kebijakan ekonominya, termasuk tekanan kekuatan oligarki dan plutokrasi.
Tersandung Konstitusi
Pengakuan prestasi dan peran strategis KPPU oleh pemerintah tersebut, rupanya belum mampu meluluhkan keyakinan persepsi konstitusi oleh pemerintah itu sendiri, terutama dari Kementerian PAN dan RB dalam memberikan solusi untuk melegitimasi sekretariat KPPU dan status pegawainya. Merubah rumusan Pasal 34 UU No. 5/1999, seolah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Kemen PAN dan RB tetap bersikeras dengan dalih untuk mengamankan Presiden agar tidak melampaui amanat dalam UU No. 5/1999 tersebut, sekalipun dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Perjuangan KPPU untuk mendorong Komisi VI DPR RI agar mengagendakan amandemen UU No. 5/1999 pun telah dilakukan. Sejak 2013 draf amandemen pun sudah masuk dalam program legislasi nasional. Namun alotnya pembahasan di dapur legislasi negeri ini, hingga dua periode DPR pun tidak menuntaskan agenda tersebut. Bahkan pada tahun 2020 agenda amandemen ini pun dikeluarkan dari daftar Prolegnas dan tidak ada kejelasan tindak lanjutnya.
Drama panjang legislasi ini dengan pengorbanan biaya dan waktu yang tidak sedikit, seolah menjadi potret paradoks hebohnya pembahasan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja dengan jumlah pasal yang fantastik dapat berlangsung begitu cepat. Namun di balik itu sekaligus menjadi potret rendahnya kepedulian penyelenggara negara ini terhadap legalitas dan kelangsungan lembaga pengawal penyelenggaraan demokrasi ekonomi.
Secara konstitusi, politik hukum di negeri ini dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 juga telah memberikan amanat kepada Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Akan tetapi senjata ini pun rupanya belum ada yang mampu membisikkan dan meyakinkan kepada Presiden untuk menyelesaikan kemelut sandungan persepsi konstitusi ini. Perdebatan para ahli hukum dari pemerintah dan praktisi pun belum mampu mengerucutkan persepsi, sehingga pro dan kontra masih terjadi dan belum menjadi solusi.
Dalam pembahasan antar kementerian bersama Ketua KPPU di Kantor Sekretariat Negara tanggal 14 April 2016, antara lain disepakati agar ketua KPPU menginisiasi pengajuan permohonan pengujian materiil atas penafsiran Pasal 34 UU No. 5/1999 ke Mahkamah Konstitusi. Pengajuan permohonan uji materiil pun telah dilakukan dan telah dibacakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 tanggal 26 Oktober 2020.
Akan tetapi Mahkamah Konstitusi pun hanya memberi pertimbangan hukum bahwa permasalahan kesekretariatan KPPU akan ditingkatkan menjadi kesekretariatan jenderal ataukah bukan, hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya, melainkan menjadi kewenangan pemerintah dan lembaga terkait untuk menentukannya.
Meskipun dalil Mahkamah Konstitusi mengatakan “Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan dapat dijadikan sebagai landasan hukum hal yang membangun amar putusan”, kembali lagi Putusan MK ini rasanya tetap akan menjadi polemik dan batu uji kepedulian Presiden dan jajarannya untuk menyelesaikan sandungan konstitusi ini.
Padahal secara yuridis, melalui Putusan “MK” yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) ini seharusnya tidak ada keraguan dan cukup meyakinkan bagi pemerintah untuk melegitimasi sekretariat dan status pegawai KPPU tanpa harus menunggu ada atau tidak adanya agenda amandemen UU No. 5/1999.
Akhirnya tetap menjadi sebuah ironi anak kandung reformasi, lembaga yang bertanggungjawab kepada Presiden, dibiayai dengan APBN dan lahir dari rahim reformasi, serta mengemban amanat mulia cita-cita gerakan reformasi, tersandung oleh kekakuan persepsi konstitusi dan seolah tidak tersedia solusi untuk mendapatkan legitimasi institusinya, apalagi tersentuh janji-janji dalam program reformasi birokrasi.
Oase di tengah kekakuan persepsi konstitusi pun rasanya sulit untuk diterima menjadi bahan diskusi dalam mencari solusi, apalagi mengalahkan harga mati yang harus merevisi rumusan konstitusi. Padahal peran dan posisi lembaga secara konstitusi sudah sangat jelas untuk dipahami dan bahkan telah diperkuat dengan beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi. (Barid Effendi, Staf Ahli KPPU Bidang Kelembagaan dan Kerjasama)