Oleh: Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si***
Isu hukum tentang tidak maksimalnya perlindungan hak-hak isteri dan anak dalam putusan perceraian hangat dibicarakan pasca publikasi penelitian AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership For Justice 2) tentang analisis putusan perkara perceraian di peradilan agama (PA).
Penelitian AIPJ2 menganalisis putusan perkara cerai yang diajukan peradilan Agama (PA). Diantara kesimpulannya adalah hanya 2 % perkara cerai di PA yang mengajukan permohonan hak asuh anak; diperkirakan ada 850.000 anak yang kena dampak perceraian, tetapi hanya 1 % putusan perkara cerai di PA yang terdapat permohonan pemberian nafkah anak dan dari perkara tersebut hakim PA mengabulkan 50 % dari permohonan nafkah anak; hanya 1 % putusan perkara cerai di PA yang terdapat permohonan pemberian nafkah isteri; dan kurang dari 1 % putusan perkara cerai di PA yang terdapat permohonan terkait harta bersama dan dalam 9 dari 10 perkara harta bersama ini hakim mengabulkan permintaannya.
AIPJ2 juga mengkampayekan secara massif hasil penelitiannya tersebut dalam berbagai forum diskusi publik maupun diskusi terbatas atau FGD yang melibatkan hakim, pemerintah, dan organisasi masyarakat.
Pro-kontra muncul pasca-penelitian tersebut dipublikasikan khususnya terkait rendahnya perlindungan hak-hak istri dan anak oleh hakim dalam perkara perceraian. Berbagai pertanyaan kritis terkait konsep hak-hak isteri dan anak dan keakuratan data putusan yang diteliti sampai pada metodologi penelitian yang digunakan oleh AIPJ2, bahkan kesimpulan penelitian bahwa perlindungan hak-hak isteri dan anak dalam perkara perceraian belum maksimal dipertanyakan kebenarannya.
Ketidakjelasan konsep hak isteri dan anak
Ada sejumlah hak-hak isteri dan anak yang dapat dituntut dalam perkara perceraian. Penelitian AIPJ2 diatas hanya terfokus pada nafkah isteri dan nafkah anak serta harta bersama. Banyak hak-hak isteri dan anak lainnya yang belum tercakup dan diteliti dalam penelitian tersebut.
Konsep nafkah isteri dan anak dalam penelitian tersebut juga tidak dijelaskan secara detail sehingga menjadi tidak jelas. Apakah nafkah isteri tersebut hanya nafkah lampau isteri dan anak (nafkah madliyah) saja atau juga mencakup nafkah iddah dan hak mut’ah serta nafkah isteri dan anak selama berlangsungnya gugatan perceraian sebagaimana diatur pasal 24 PP No 9 Tahun 1975?. Apakah hak-hak isteri dan anak yang diteliti tersebut terkait gugatan rekonvensi dalam perkara cerai talak dan komulasi gugatan hak-hak isteri dan anak dalam perkara cerai gugat atau juga mencakup penggunaan kewenangan hakim secara ex officio atas nafkah iddah dan nafkah anak?. Apakah penelitian yang mengkaji putusan tersebut juga mengkaji gugatan perceraian dan gugatan rekonvensinya atau tidak?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak tergambarkan secara jelas dalam pemaparan hasil penelitian AIPJ2. Hal ini menjadikan penelitian tersebut menjadi tidak komprehensif dan kurang obyektif dalam menggambarkan kondisi perlindungan hak-hak isteri dan anak melalui putusan hakim di PA. Ini tentu dapat mengurangi atau berdampak pada keakuratan kesimpulan penelitian tersebut.
Perlu dipahami bahwa ketentuan hukum acara di PA, gugatan perceraian dapat berbentuk cerai talak (jika yang mengajukan gugatan cerai adalah suami) dan cerai gugat (jika yang mengajukan cerai adalah isteri). Ada sejumlah hak-hak isteri dan anak yang dapat dituntut untuk diperiksa bersamaan dengan gugatan perceraian baik dalam cerai talak maupun cerai gugat. Cerai talak dan cerai gugat mempuyai karakteristik dan perbedaan yang mendasar terkait prosedur dan proses pemeriksaan termasuk kaitanya dengan perlindungan hak-hak isteri dan anak. Seharusnya penelitian memperjelas jenis dan karakteristik putusan yang dijadikan sampel untuk dikaji.
Dalam perkara cerai talak, selama proses pemeriksaan sebelum sidang pembuktian, istri dapat mengajukan gugatan balik (rekonvensi) mengenai hak-hak isteri dan anak yaitu nafkah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, harta bersama dan hak asuh anak (hadhanah).
Isteri dalam gugatan rekonvensinya juga dapat mengajukan gugatan provisi, yaitu ijin tidak tinggal satu rumah, nafkah anak dan isteri selama berlangsungnya gugatan perceraian, menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya harta bersama atau harta bawaan, dan permohonan isteri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk didampingi oleh seorang pendamping (baca pasal 24 PP No 9 Tahun 1975 dan pasal 41 UU Nomor 23 Tahun 2004).
Dalam cerai talak, hakim secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami untuk isterinya, sepanjang isterinya tidak terbukti berbuat nusyuz, dan menetapkan kewajiban mut’ah, serta menetapkan nafkah anak jika anak terbukti berada dalam asuhan ibunya.
Adapun dalam cerai gugat, hak-hak isteri dan anak yang dapat dituntut adalah gugatan nafkah anak, nafkah isteri, mut’ah, nafkah iddah, hadhanah dan harta bersama. Tuntutan tersebut harus dikomulasi dengan gugatan cerai. Istri juga dapat mengajukan gugatan provisi sebagaimana dalam cerai talak diatas.
Dalam buku II edisi revisi tahun 2013, hakim dalam cerai gugat secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah terhadap suami, sepanjang isterinya tidak terbukti telah berbuat nusyuz. SEMA nomor 4 tahun 2016 huruf C angka 5 juga berlaku dalam cerai gugat dimana hakim juga secara secara ex officio dapat menetapkan nafkah anak kepada ayahnya apabila secara nyata anak tersebut berada dalam asuhan ibunya.
Kritik Metodologi
Catatan kritik lainnya adalah terkait metodologi penelitian yang digunakan tim peneliti AIPJ2 dalam meneliti putusan perceraian di PA. Metodologi penelitian yang digunakan Tim peneliti AIPJ2 dalam menganalisa putusan perceraian adalah dengan menggunakan 5 tahap, yaitu tahap pertama, mitra universitas, organisasi masyarakat sipil (OMS), dan AIPJ2 mengembangkan dua instrument survei untuk menganalisis putusan perceraian; tahap kedua, lebih dari 200 putusan perceraian dibaca dan dianalisis oleh mitra universitas dan OMS kemudian dimasukkan kedalam database survey. Selanjutnya, tahap ketiga, aplikasi mesin digunakan untuk membaca dan menganalisis putusan perceraian dengan menerapkan pertanyaan yang sama yang digunakan oleh mitra universitas dan OMS.
Aplikasi mesin menganalisis 508.276 putusan perceraian di pengadilan agama dalam perkara perceraian; tahap keempat, penasehat AIPJ2 dan para mitra kemudian mengkaji hasil analisis putusan baik yang dilakukan oleh para mitra maupun yang dilakukan oleh aplikasi mesin; dan terakhir tahap kelima, diskusi temuan-temuan utama dari analisis putusan dengan Mahkamah Agung RI, Bappenas dan mitra-mitra lain.
Uraian tahapan metodologi penelitian diatas terdapat dalam slide presentasi AIPJ2 tentang analisa putusan dan dispensasi kawin yang disampaikan AIPJ2 dalam diskusi Badilag tanggal 02 Oktober 2020. Metodologi penelitian ini menarik dikritisi. Karena metodologi sangat menentukan kualitas hasil penelitian.
Dari tahapan penelitian diatas, dapat diketahui bahwa AIPJ2 mengkaji putusan perceraian bersumber dari dua hal utama yaitu hasil kajian 200 lebih putusan perceraian yang dianalisis oleh mitra universitas dan OMS dan hasil kajian menggunakan aplikasi mesin yang menganalisis 508.276 putusan perceraian. Lalu hasil analisis putusan baik yang dilakukan oleh para mitra maupun yang dilakukan oleh aplikasi mesin tersebut dikaji oleh penasehat AIPJ2 dan para mitra.
Model metodologi diatas mengandung beberapa kelemahan dan sekaligus sebagai catatan kritis atas penelitian tersebut, diantaranya terkait ketidakjelasan kriteria putusan yang dipilih untuk dikaji baik oleh para mitra maupun yang dilakukan oleh aplikasi mesin tersebut. Jumlah putusan yang dikaji oleh mitra universitas dan OMS sangat sedikit dibanding dengan jumlah putusan yang dikaji menggunakan aplikasi mesin. Perbedaan jumlahnya sangat signifikan. Potensi kesalahan atau ketidaktepatan analisis menggunakan aplikasi mesin.
Potensi kesalahan analisis menggunakan aplikasi mesin karena mesin tidak dapat menalar dan menyelami secara mendalam pertimbangan hukum dan amar putusan yang dirumuskan hakim. Putusan adalah hasil olah pikir mendalam hakim dalam tahap konstatir, kualifikasi dan konstituir berdasarkan alat bukti dan fakta-fakta hukum yang terbukti dikaitkan dengan ketentuan hukum yang ada.
Kajian melalui aplikasi mesin dilakukan untuk putusan perceraian yang ada dalam direktori putusan, tanpa mengklasifikasikan putusan cerai talak dan cerai gugat, juga tidak dilakukan analisis gugatan cerai yang diajukan penggugat/pemohon dan jawaban tergugat/termohon. Padahal klasifikasi dan analisis atas hal-hal tersebut sangat penting dilakukan terutama untuk menyimpulkan penilaian sejauhmana perlindungan hak-hak isteri dan anak dalam putusan hakim.
Idealnya, AIPJ2 seharusnya mengkaji secara utuh apakah penggugat dalam gugatan cerainya mengajukan komulasi hak-hak isteri dan anak atau tidak?. Dalam cerai talak, harus dilihat apakah isteri dalam jawabannya mengajukan rekonvensi terkait hak-hak isteri dan anak atau tidak? Kalau ada dalam gugatan, maka harus dianalisis tuntutan tersebut dikabulkan atau ditolak atau dinyatakan tidak diterima (NO) oleh hakim dalam amar putusan? Lalu apa saja pertimbangan hukum hakim dalam putusan terkait tuntutan hak isteri dan anak tersebut? setelah menganalisa semua pertanyaan tersebut, baru dapat dinilai sejauhmana perlindungan hak-hak isteri dan anak dalam putusan hakim.
Hak-hak isteri dan anak dalam cerai talak dan cerai gugat sebagaimana uraian diatas jika tidak ada dalam putusan atau jika hakim tidak mempertimbangkan dalam pertimbangan hukum putusan dan juga tidak menjawab dalam dictum / amar putusan, maka tidak boleh serta merta hakim dinilai tidak melindungi hak-hak isteri dan anak dalam putusannya.
Apabila penggugat dalam gugatan cerainya tidak mengajukan komulasi hak-hak isteri dan anak atau dalam cerai talak, isteri dalam jawabannya tidak mengajukan rekonvensi terkait hak-hak isteri dan anak, maka putusan yang tidak mencantumkan hak-hak isteri dan anak tersebut dibenarkan secara hukum.
Hal ini dikarenakan hakim dalam perkara perdata terikat oleh asas hukum ultra petitum, yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut/dimohonkan atau meluluskan lebih dari pada yang dimintakan. Hal ini diatur dalam pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) RBg.
Apabila putusan mengandung ultra petitum tanpa dasar hukum yang jelas, harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan iktikad baik. Mengadili dengan mengabulkan melebihi dari apa yang digugat, dapat dipersamakan dengan tindakan illegal. Putusan yang didasarkan pada petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono, dapat dibenarkan selama masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primair. (Yahya Harahap, 2008 : 801 sd 802).
Agar tidak melanggar asas ultra petitum, maka solusinya adalah dalam cerai gugat hak-hak isteri dan anak harus dikomulasi dalam gugatan perceraian dan dalam cerai talak diajukan dalam gugatan rekonvensi bersamaan dalam jawaban.
Jika hak-hak isteri dan anak ada dalam gugatan, maka hakim harus memeriksa dan mengadili seluruh gugatan yang ada termasuk gugatan hak istri dan anak tersebut. Sesuai pasal 178 ayat (2) HIR dan pasal 189 ayat (2) RBg, hakim tidak boleh memeriksa dan memutus sebagian gugatan saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya.
Dalam konteks pembuatan gugatan, hakim dapat memberikan pemahaman dan pencerahan kepada pihak terkait hak-hak isteri dan anak yang dapat dituntut dalam gugatan baik dengan komulasi maupun rekonvensi. Upaya ini sebagai wujud implementasi pasal 119 HIR yaitu ketua pengadilan berkuasa memberi nasihat dan pertolongan kepada penggugat atau kepada wakilnya tentang hal memasukkan dalam surat gugatannya.
Terkait kewenangan ex officio yang dapat digunakan hakim terhadap beberapa hak isteri sebagaimana uraian hak isteri dan anak dalam cerai talak dan cerai gugat diatas, maka tentang kewenangan ex officio ini seharusnya dilihat secara jernih dan obyektif. Karena sebagian hakim mempuyai alasan yang logis sehingga tidak menggunakan kewenangan ex officio untuk memberikan perlindungan hak-hak isteri dan anak. Hal ini tidak mungkin diketahui dan tidak mungkin dapat dibaca oleh aplikasi mesin.
Diantara alasan hakim tidak menggunakan kewenangan ex officio-nya adalah karena mempertimbangkan problem kesulitan dalam eksekusi atas putusan hak-hak isteri dan anak pasca perceraian. Alasan ini logis secara hukum. Karena hakim dalam membuat putusan juga harus mempertimbangkan eksekutabilitas putusan tersebut.
Tugas hakim tidak hanya memeriksa dan memutus perkara, tetapi juga menyelesaikan masalah dengan tidak menimbulkan masalah baru. Disini, amar putusan hakim harus jelas, tegas, dan dapat dieksekusi (eksekusi). Harapannya putusan hakim tidak hanya menghadirkan keadilan dan kepastian hukum tetapi juga kemanfaatan hukum yang membahagiakan para pihak.
Berdasarkan fakta dilapangan, eksekusi putusan hak-hak isteri dan anak itu sulit dan rumit. Eksekusi putusan seringkali berbiaya tinggi, tidak sedikit biaya eksekusi lebih besar daripada nominal uang atau nafkah yang ditentukan dalam putusan. Belum lagi problem eksekusi hak isteri dan anak sangat terkait dengan iktikad baik lembaga atau intansi lain diluar pengadilan.
Perbaikan Kedepan
Terlepas dari sejumlah catatan kritis diatas, pro kontra penelitian AIPJ2 dapat dijadikan momentum untuk menggugah hakim PA agar lebih maksimal dan semakin peduli memberikan perlindungan hak-hak isteri dan anak melalui putusan yang dibuatnya.
Untuk memaksimalkan perlindungan hak isteri dan anak, perlu dibangun inovasi-inovasi pelayanan di PTSP pengadilan khususnya untuk memaksimalkan meja 1 dan posbakum untuk membangun kesadaran hukum pihak yang ingin mengajukan gugatan perceraian agar memuat tuntutan hak-hak isteri dan anak dalam gugatannya atau dalam perkara cerai talak istri didorong mengajukan rekonvensi atas hak-haknya dan anak.
Last but not least, perlu didorong agar lahir Peraturan Pemerintah (PP) tentang pedoman eksekusi perkara perdata khususnya eksekusi hak-hak isteri dan anak dalam perkara perceraian agar hak-hak isteri dan anak yang ada dalam putusan dapat dieksekusi dan dirasakan manfaatnya oleh pihak. Dalam bentuk PP, karena efektivitas eksekusi perdata sangat terkait dan melibatkan instansi lain diluar pengadilan. Juga perlu didorong dirumuskannya Peraturan MA RI (PERMA) tentang pedoman penyelesaian perkara perceraian yang didalamnya diatur secara tegas terkaitkewajiban dan kewenangan hakim untuk memberikan perlindungan hak-hak isteri dan anak dalam perceraian.
***Wakil Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Kelas IB, Jawa Timur, penulis buku Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak Perspektif Keadilan Gender