Oleh:
Pangeran Karyonagoro
Gusti Pangeran Hario (GPH) Djatikusumo dilahirkan di Surakarta pada 1 Juli 1917 sebagai seorang bangsawan yang melalui masa kecilnya di Karaton Kasunanan Surakarta. Setelah menamatkan pendidikan di ELS dan HBS, ayahnya, Sunan Paku Buwono X sebenarnya menginginkan agar anak laki-lakinya tersebut menjadi seorang prajurit dengan belajar di Akademi Militer di Breda. Namun, Djatikusumo lebih memilih untuk bersekolah di sekolah tehnik tinggi di Delft, Belanda.
Alasan kenapa ia tidak meluluskan keinginan sang ayah karena ia tidak bersedia mengangkat sumpah setia kepada Ratu dan Konstitusi Belanda yang wajib dilakukan oleh setiap lulusan akademi militer tersebut.
Meletusnya Perang Dunia II di tahun 1939, membuat Djatikusumo memutuskan untuk kembali ke Tanah Air kemudian meneruskan pendidikannya di sekolah militer Corps Opleiding Reserce Officieren (CORO). Sebagai seorang perwira lulusan CORO, ia turut bertempur melawan pasukan Jepang di Ciater, Bandung, Jawa Barat. Pendidikan militernya diteruskan di sekolah tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor pada masa pendudukan Jepang.
Usai menjalani pendidikan di PETA, Djatikusumo kemudian ditempatkan di Daidan (Batalyon) PETA di Solo. Setelah proklamasi kemerdekaan, ia tetap melanjutkan karier militernya sebagai komandan batalyon kemudian sebagai Panglima Divisi IV di Salatiga. Pada bulan Juni 1946, Djatikusumo diangkat menjadi Panglima Divisi V Ronggolawe di Mantingan, kemudian dipindahtugaskan ke Cepu.
Ketika bertugas di Salatiga, ia mendirikan Sekolah Opsir Cadangan dalam rangka memberikan pelatihan militer bagi guru-guru dan pelajar sekolah menengah yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan militer.
Pada tahun 1948, ia diangkat sebagai Direktur Akademi Militer di Yogyakarta berkat pengalamannya dalam menyelenggarakan pendidikan. Masih di tahun yang sama, jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat sempat diembannya.
Ia pun turut berperan dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, saat terjadi Agresi Militer ke 2 dengan memimpin para taruna Akademi Militer bergerilya di sekitar Yogyakarta. Pemerintahan sipil di Kabupaten Sleman pun dipimpinnya atas nama Sultan Hamengku Buwono IX.
Setelah berakhirnya perang kemerdekaan, berbagai jabatan yang pernah dipangkunya antara lain Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) dan Direktur Zeni Angkatan Darat. Selain berkarier di bidang militer, beberapa posisi penting di pemerintahan juga dipercayakan pada Djatikusumo. Selama satu tahun ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata. Ketika mengemban jabatan itu, ia bertugas untuk mengembangkan pariwisata Indonesia dengan memprakarsai pementasan sendratari cerita klasik Ramayana. Dengan mengambil latar belakang Candi Prambanan, sendratari kolosal yang melibatkankan lebih dari 100 orang penari dan pemain gamelan untuk pertama kalinya diselenggarakan pada tahun 1961.
Sederet jabatan lain yang pernah dipegangnya adalah Konsul Jenderal RI di Singapura, Dutabesar dan Berkuasa penuh RI untuk Malaysia, kemudian untuk kerajaan Maroko, dan Republik Prancis serta yang terakhir sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Advertisement
Djatikusumo masih aktif mengikuti berbagai seminar-seminar terutama di bidang wawasan kebangsaan meskipun usianya sudah lanjut. Pangkat militer terakhir yang disandangnya adalah Letnan Jenderal dan akhirnya dinaikan menjadi Jenderal Kehormatan. Jenderal Kehormatan GPH Djatikusumo tutup usia pada 4 Juli 1992 di Jakarta. Jenazahnya dikebumikan di Wonogoro, Jawa Tengah.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Jenderal Kehormatan GPH Djatikusumo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 073/TK/Tahun 2002, tanggal 6 November 2002.