JAKARTA, Beritalima.com– Penyertaaan Modal Negara (PMN) kepada delapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengakibatkan invetasi membengkak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2021 di sorot politisi senior Dr Hj Anis Byarwati dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI DPR dengan Dirjen Kekayaan Negara (DJKN) dan Direksi Penerima Penyertaan Modal Negara (DPMN).
RDP membahas tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) 2020 dan 2021 kepada BUMN digelar secara tatap muka dan virtual pekan ini. Catatan pertama disampaikan Anis terkait kenaikan PMN dalam pos investasi di RAPBN 2021 Rp 37,4 triliun kepada delapan BUMN sehingga APBN 2021 menjadi Rp 42,38 triliun atau naik 13 persen dari acuan awal.
“Kenaikannya 98 persen dari yang disepakati sebelumnya dengan DPR sehingga total Pemerintah menyediakan dana sangat besar buat BUMN yaitu Rp 151,1 triliun atau lebih dari 20 persen dari dana PEN. Dengan beragam skenario, Rp 115,95 triliun pencairan utang Pemerintah, Rp 11,5 triliun dana talangan, dan PMN Rp 23,65 triliun. “Bagaimana penjelasan untuk poin ini?” tanya Anis.
BUMN yang mendapatkan kenaikan kucuran PMN ini adalah PT Hutama Karya Rp 3 triliun dalam RAPBN 2021 menjadi Rp 11 triliun dalam APBN 2021. Suntikan itu diberikan dalam dua tahap. Menurut Anis yang Ekonom lulusan Universitas Airlangga itu, secara prioritas dan logika akal sehat dana ini digunakan untuk pembangunan tol yang di saat pandemi ini sebaiknya dipertimbangkan agar ditunda.
“Sebenarnya masih bisa dianggarkan untuk tahun depan. PMN untuk PT Hutama Karya ini tak harus diberikan saat Indonesia membutuhkan pemulihan ekonomi. Apalagi pembangunan jalan tol ini bukan termasuk dalam kategori padat karya yang menyerap tenaga kerja karena pelaksanaannya banyak menggunakan alat berat dibandingkan dengan tenaga manusia.”
Dikatakan Anis, kenaikan PMN harus diberikan tepat sasaran, yaitu kepada BUMN yang tidak berpotensi memiliki risiko fiskal yang kelak akan menjadi beban keuangan negara. “Realitanya selama ini tidak tepat sasaran,” ungkap Anis.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan data setoran pendapatan yang terus menurun. Indikatornya dapat terpantau dari rendahnya setoran hasil Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) yang masuk ke pos Penerimaan Negara bukan Pajak (PNBP). Tahun ini BUMN cuma mampu menyetor Rp 65 triliun sedangkan 2019 penerimaan PNBP dari KND mencapai Rp 80,72 triliun yang berarti mengalami penyusutan 19,6 persen.
Begitu juga untuk 2021, Pemerintah kembali memangkas prediksi PNBP dari KND menjadi Rp 26,13 triliun. Dan, dividen yang diberikan BUMN menjadi tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan negara.
Secara khusus, Anis menyinggung tentang kasus Jiwasraya. Menurut Anis, kebijakan pemerintah atas kasus Jiwasraya Gate malah memberi preseden buruk terkait penyelesaian yang dilakukan melalui PMN dengan nilai yang cukup fantastis.
“Dalam kasus Jiwasraya, kita tahu ada indikasi kuat korupsi, organised crime dan fraud sehingga ‘perampokan’ itu harus diproses secara hukum dan pihak yang terlibat harus menyelesaikan kewajibannya kepada nasabah. Kasusnya harus dibuka,” tegas Anis.
Ia menilai bukan negara yang harus menanggung pembayaran dana nasabah, akan tetapi pihak-pihak yang terlibatlah yang harus bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. “Pemberian dana sebesar Rp 20 triliun yang diambil dari APBN ini, jelas merupakan pengalihan tanggung jawab pihak yang terlibat kepada rakyat Indonesia,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)