JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi Keuangan, Perbankan dan Pembangunan, Dr Hj Anis Byarwati mengatakan, kata kunci untuk Reformasi Perpajakan harus menjunjung tinggi prinsip keadilan.
Itu dikatakan politisi sekaligus ekonom senior dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menanggapi Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan, kelanjutan reformasi perpajakan diarahkan untuk perluasan basis pajak dan mencari sumber baru penerimaan negara.
Untuk itu, Kemenkeu memastikan melakukan reformasi perpajakan guna mengejar pemenuhan target pajak 2022, diantaranya menyempurnakan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan mengurangi regresivitasnya. Penguatan kebijakan ini bagi pribadi dan potensi pengenalan pungutan baru khususnya pemajakan eksternalitas terhadap lingkungan.
Menanggapi rencana itu, Anis menegaskan, sudah seharusnya pajak bisa menjadi alat redistribusi kekayaan yang paling efektif. “Kenyataannya, beberapa tahun terakhir malah yang terjadi sebaliknya,” kata Anis dalam keterangan pers yang diterima awak media, Senin (24/5).
Ketua DPP PKS bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengingatkan, ketika menggaungkan tax amnesty 2016, mimpi yang ditawarkan Pemerintahan Jokowi diantaranya memperbaiki basis data perpajakan. Padahal, tax amnesty jelas mengampuni para ‘pengemplang pajak’ dengan membayar tarif yang sangat rendah.
Langkah Tax Amnesty itu dilanjutkan dengan adanya penetapan Perppu No: 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU. “Realita yang tidak bisa diingkari, sampai 2020 tax ratio menurun terus. Berarti ada yang harus dipertanyakan dengan tax amnesty. Ada apa sebenarnya?”
Kemudian secara berturut-turut, pemerintah melakukan penurunan PPh badan dan berbagai insentif termasuk PPnBM 0 persen mulai dari properti sampai dengan kendaraan. “Dari sini tentu kita sudah bisa berpikir, jika satu sisi sumber penerimaan berkurang, pasti akan dicari sumber penerimaan lain,” kata Anis.
Dinilai, menaikkan PPN di tengah kondisi pemulihan dampak pandemi Covid-19, jelas bukan saat yang tepat. Kebijakan menaikkan PPN akan menjadi beban baru rakyat, dan usaha retail. Menaikkan PPN menghantam daya beli masyarakat, dan pada gilirannya menurunkan tingkat konsumsi. “Ini berarti akan menurunkan penerimaan negara,” tegas Anis.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI itu menegaskan, kebijakan menaikkan PPN, apalagi di tengah stimulus perpajakan yang seolah diobral bahkan sampai muncul wacana tax amnesty dua patut dipertanyakan.
Dinilai, target perpajakan terlalu tinggi. “Pesan saya kepada pemerintah, langkah reformasi perpajakan tidak boleh mencederai keadilan. Dimana keberpihakan pemerintah? Jangan sampai masyarakat yang sedang susah karena dampak pandemi, ditambah bebannya,” kata Anis.
Anis mengatakan, banyak orang salah kaprah dengan tax amnesty, seolah bangga mengikutinya, lalu merasa menjadi pahlawan dalam menambah penerimaan negara. Padahal tax amnesty bisa dikatakan, pengemplang pajak diampuni dan di beri tarif ringan.
Mencermati konstitusi, definisi tax amnesty yaitu pengampunan atau amnesti pajak adalah sebuah kesempatan berbatas waktu bagi kelompok wajib pajak tertentu membayar kewajiban dengan jumlah tertentu.
Jadi, tak amnesty sebagai pengampunan atas kewajiban membayar pajak yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya, tanpa takut penuntutan pidana. “Jadi, ini perbuatan yang salah, kemudian diampuni,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)