Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Semarang Kelas I-A)
Tidak berapa lama lagi kaum muslimin akan memasuki hari raya idul adha. Hari raya yang sering juga disebut hari raya haji ini terdapat satu ibadah yang sudah terkenal, yaitu menyembelih hewan kurban. Dari tahun ke tahun jumlah hewan kurban menjadi ‘korban’ terus meningkat dari sisi kuantitas. Peningkatan jumlah yang tidak terpengaruh oleh ‘iklim ekonomi’ ini, setidaknya menjadi indicator, bahwa kesadaran umat untuk melaksanakan kurban juga semakin tinggi.
Akan tetapi sungguh sayang. Dalam sejarah praktik berkurban ria ini, pernah terjadi peristiwa tragis. Adalah Pak Sukiyo, si kakek 74 tahun ini harus meregang nyawa saat terjadi ‘rebutan’ daging kurban yang konon cuma 1 kilogram. Sontak saja, peristiwa yang terjadi 16 Oktober 2013 lalu ini, menjadi fenomenal. (Tribun News, 16-10-2013). Mengapa? Peristiwa ini terjadi saat puncak Idul Adha di Ibu Kota dan di area Masjid Istiqlal yang juga menjadi kebanggan nasional. Terlepas dari penyebab kematian yang masih kontroversial, tetapi tragedi ini seolah menambah deretan panjang peristiwa kematian akibat kerumunan masal. Yaitu, bahwa di satu sisi, akibat sulitnya kita mendidik masyarakat agar membudayakan antri, di sisi lain, kurang jeranya pihak penyelenggara menyelenggarakan pembagian sesuatu kepada masyarakat dengan metode pengerahan masa.
Masyarakat tentu tidak salah. Mereka datang ke lokasi karena mendapat undangan dari panitia. Apalagi, undangan itu diimingi dengan mendapat sesuatu yang jarang atau bahkan belum pernah didapatkan dalam keseharian. Adapun kemudian ternyata, ketika di lokasi, harus mengantri atau bahkan harus berebut dengan peserta lain tidak menjadi perhitungan mereka sebelumnya.
Panitia setempatlah yang mastinya mengantisipasi sedetail mungkin segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dengan mengambil sederet peristiwa sebelumnya, mestinya dapat mengetahui segala kemungkinan yang akan terjadi. Bukankah, banyak peristiwa serupa yang telah memakan kurban sia-sia, sebut saja peristiwa antrian pembagian dana BLT dan antrian zakat. Pada antrian pembagian BLT, misalanya, seorang kakek bernama Gondo, 78 tahun, warga Desa Denanyar, Kecamatan Jombang, harus pulang dalam keadaan tewas. Kurban tewas saat mengantri pencairan bantuan langsung tunai (BLT) di balai desa. (Kompas.com, 28-04-2009). Sebelum meninggal, kurban sempat mengantri selama hampir 3 jam. Kurban bahkan sempat berdesak-desakan saat berebut kursi antrian. Pada kasus pembagian zakat misalnya, di Pasuruan sebanyak lebih 20 orang meninggal. (antaranews.com, 17 September 2008). Peristiwa yang terjadi pada 15 September 2008 dan juga dikenal dengan “Tragedi Syaichon” ini menjadi peristiwa paling berdarah dalam sejarah antrian yang melibatkan masyarakat miskin.
Kita jadi bertanya-tanya dalam hati, mengapa masyarakat miskin yang harus menjadi kurban. Dalam keseharian beban hidup susah senantiasa sudah menghimpit. Ketika mereka mencoba ingin meraih secercah harapan kebahagiaan tetapi harus dilakukan dengan susah payah pula. Tragisnya sebelum yang diharapkan didapat terlebih dahulu harus lebih dahulu kehilangan nyawa satu-satunya. Ironisnya, mereka justru menjadi kurban oleh ‘ulah’ saudara-saudaranya yang kaya dan biasanya juga terdidik. Dengan mengambil pelajaran peristiwa tragis sebelumnya, mestinya pendistribusian apapun kepada orang papa dengan metode pengerahan masa sudah waktunya ditinggalkan. Jangankan orang miskin, orang beradapun jika dikerahkan secara masal dengan janji akan diberi sesuatu yang dianggapnya berharga, pasti akan mengalami nasib serupa. Atau, bahkan oleh sebagian orang sesuatu itu akan diraihnya dengan cara yang sistematis dengan tidak segan-segan menghancurkan sesama. Kondisi ini sudah menjadi naluri manusia pada umumnya.
Dalam hal ini, sebelum ditemukan ‘jurus jitu’ membuat manajemen pelaksanaan kurban, orang kota tampaknya masih perlu meniru dan menerapkan cara-cara tradisional seperti di kampung, yaitu dengan mengantar daging langsung ke orang yang berhak menerima. Cara ini memang kurang efisien tetapi sangat efektif meminimalisasi kemungkinan terjadinya insiden yang mungkin terjadi. Yang pasti, formula pendistribusian daging kurban, atau dana apa pun kepada orang-orang papa yang efektif dan efisien ini, perlu terus dicari agar syari’at qurban yang mulia ini justru tidak kontraproduktif. Yaitu, oleh karena pelaksanaannya selalu mengakibatkan jatuhnya kurban, mengundang cibiran dari umat non muslim. Hal ini akan membahayakan Islam dari sisi dakwah. Apalagi, jika sampai amalan yang menurut mayoritas ulama hanya berkualifikasi sunat ini, sampai harus kehilangan makna ta’abudinya. Wallahu a’lam.
Biodata Penulis
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 19910301 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan :
1. SD Negeri Sumberejo, 1975
2. MTs Negeri Srono, 1979
3. PGA Negeri Situbondo, 1982
4. Pondok Pesantren Misbahul Ulum Situbondo ( 1979-1982 )
5. Sarjana Muda Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1986
6. Sarjana Lengkap (S-1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988
7. S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni.
Pengalaman Tugas :
Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A, 2016-2021.
Sekarang: :
Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A, 31 Agustus 2021- sampai sekarang.
Alamat rumah : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com