JAKARTA, beritalima.com | Pembantaian sadis menimpa satu keluarga di Dusun Lewono, Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Jumat (27/11/2020). Selain itu, beberapa rumah di lokasi peristiwa juga dibakar.
Kapolda Sulteng Irjen Abdul Rakhman Baso mengungkapkan keterlibatan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dalam peristiwa keji tersebut, berdasarkan olah tempat kejadian perkara (TKP) yang dilakukan Kepolisian.
MIT merupakan kelompok teroris yang beroperasi di wilayah pegunungan Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kelompok ini telah bersumpah setia kepada Negara Islam Irak dan Suriah alias ISIS pada Juli 2014.
Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) mengutuk keras pembantaian dan pembakaran tersebut.
Sekjend DPP GMNI, Sujahri Somar menegaskan tindakan tersebut tidak sesuai ajaran agama apapun. Dan bila benar kelompok MIT yang berinduk pada ISIS menjadi pelaku tindakan terorisme itu, maka hal tersebut membuka mata bangsa ini bahwa terorisme yang didasari radikalisme atau ekstrimisme agama masih menjadi ancaman besar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“GMNI mendesak aparat membongkar peristiwa tersebut. Dan para pelaku harus ditindak tegas, tanpa kompromi!,” tegas Sujahri dalam keterangan resmi DPP GMNI, Sabtu (28/11/2020).
GMNI menilai, peristiwa keji semacam ini bisa terjadi karena Negara sudah melakukan pembiaran terlalu lama terhadap keberadaan kelompok-kelompok liar bersenjata semacam MIT, yang sudah jelas ingin meruntuhkan NKRI dan Pancasila.
Padahal, ujar Sujahri, regulasi perundang-undangan yang memberi ruang bagi negara untuk bersikap tegas pada gerakan liar bersenjata seperti terorisme telah cukup memadai.
Sujahri mengingatkan, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Seharusnya negara, dalam hal ini Pemerintah memperkuat implementasi nya. Persoalannya, mengapa selama ini pemerintah tampak lamban menindaklanjuti undang-undang itu, padahal terorisme bisa mengancam setiap saat,” tegas Sujahri.
GMNI pun mendesak pemerintah agar segera memberantas kelompok teroris yang anti NKRI itu hingga ke akar-akarnya. Jika tidak, peristiwa serupa akan terus terulang dan rakyat yang menjadi korban.
“Apalagi yang menjadi korban ini adalah kelompok masyarakat rentan atau minoritas agama. Jangan sampai negara dianggap ‘kalah’ oleh kebuasan gerombolan bersenjata liar itu, akibat lamban menangani mereka,” ujar Sujahri.
Sujahri juga menambahkan agar masyarakat tidak terprovokasi oleh peristiwa ini agar tidak terjadi percikan konflik yang bisa mengarah pada perang saudara.
“Kita ikut menghimbau kepada masyarakat setempat agar tidak ikut terprovokasi dengan adanya peristiwa ini yang nantinya menimbulkan konflik horizontal dan potensi perang saudara. Mari sama-sama kita serahkan pada proses hukum dan tetap menjaga persatuan di wilayah NKRI,” ungkap Sujahri.
Berdasarkan informasi dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), para korban merupakan jemaat Bala Keselamatan.
Bala Keselamatan adalah salah satu denominasi di kalangan Gereja Protestan yang terkenal dengan pelayanan sosialnya. (RED)