LaNyalla Diskusi Demokrasi Indonesia dan Bahas Amandemen Dengan BEM DIY

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti melakukan diskusi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) se Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dalam Ngopi Bareng di Oase Cafe, Minggu (6/6).

Diskusi bertema ‘Menampung Aspirasi Millennials Menuju Demokrasi Indonesia Lebih Baik, Berdaulat dan Mandiri’, LaNyalla mengajak para calon penerus bangsa berdiskusi mengenai sistem demokrasi di Indonesia.

Selain LaNyalla, pembicara lain adalah Dr S Aminuddin (Ketua Majelis Mubaligh Muda Indonesia), dr Ali Mahsun Atmo, M Biomed (Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima se-Indonesia) dan Arie Gumilar (Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu).

Menurut LaNyalla, mahasiswa dan pemuda motor reformasi 1998. Dan, momen reformasi dimanfaatkan melakukan amandamen terhadap UUD 1945 untuk  pertama kalinya. “Semangat Amandemen saat itu untuk membatasi masa jabatan presiden sekaligus memperkuat peran DPR RI. Namun, amandemen bergulir terus hingga perubahan posisi MPR RI,” kata LaNyalla.

Sejak amandemen, mulai 2004 presiden dipilih rakyat. Ini juga berlaku bagi anggota DPR RI dan DPD RI yang sekaligus merupakan anggota MPR RI.
“Artinya, kita masuk sistem presidensiil murni dan liberal, dimana suara rakyat, one man one vote, dihitung sebagai kedaulatan rakyat.

“Kita sudah meninggalkan secara total bayangan dan harapan pendiri bangsa yang menempatkan Pancasila sebagai sumber inspirasi sekaligus way of life sistem bernegara Indonesia,” tutur LaNyalla.

Khususnya, lanjut LaNyalla, sila keempat dimana kedaulatan rakyat diwujudkan melalui Pemilu untuk memilih wakil-wakilnya dan memberikan kedaulatan itu kepada wakilnya untuk bermusyawarah dalam menjalankan dan mengelola negara ini. Termasuk memilih siapa yang diberi mandat menjalankan roda pemerintah, dalam hal ini Presiden,” sambung dia.

Senator dari Dapil Provinsi Jawa Timur ini menyadari, pemilihan presiden oleh MPR RI saat itu memiliki beberapa kekurangan, terutama di era Orde Baru yang didominasi faksi pendukung presiden masa itu.

“Terutama sejak Fusi Partai dan fakta Utusan Golongan adalah ‘orang-orang’ yang direstui Presiden. Bahkan Utusan Daerah, meski dipilih DPRD di setiap Provinsi, tetap saja calon-calonnya ‘disetujui’ dan terlebih dahulu dilakukan litsus oleh Sospol sehingga yang maju ke Senayan, ya hampir setali tiga uang dengan Utusan Golongan,” papar dia.

Ditegaskan, jika kelemahan harus diperbaiki, menurut dia, arah perbaikan bangsa seharusnya tetap berpegang teguh terhadap cita-cita para pendiri bangsa agar Indonesia tidak membentuk dan menjalankan pemerintahan yang meniru apa yang ada di Barat.

Mengenai suara rakyat dihitung hanya sebagai angka, atau one man one vote, LaNyalla mengatakan, seharusnya suara rakyat disalurkan kepada hikmat permusyawaratan perwakilan, yang bersidang dengan menimbang suara, sesuai amanah Pancasila.

“Bukan menghitung suara sehingga MPR bersidang tak boleh mengambil keputusan melalui voting. Tetapi harus benar-benar menimbang suara dan pendapat. Sehingga pada akhirnya menuju titik mufakat,” tutur LaNyalla.

Dikatakan, Sistem Presidensiil Indonesia khas yang disebut dengan Demokrasi Pancasila. Untuk itu, Pancasila seharusnya dijadikan nafas dalam semangat perbaikan bangsa. Jadi kalau ada yang tanya, sebenarnya apa DNA sistem pemerintahan Indonesia? Parlementer atau Presidensiil?
“Jawabnya Pancasila yang merupakan sintesa atas dialektika teori-teori yang diterapkan negara-negara di barat. Saya katakan di sini Demokrasi Pancasila itu bukan teori yang tidak bisa diwujudkan,” sebut LaNyalla.

Pancasila merupakan sumber segala hukum yang seharusnya dijadikan pedoman, termasuk untuk memilih para pemimpin bangsa. Dari tatanan sila-sila Pancasila, yakni membangun manusia Indonesia yang Berakhlak, Beradab dan Bersatu diharapkan memunculkan para Hikmat Kebijaksaan, yang mewakili suara rakyat untuk mengambil keputusan penting terhadap bangsa dan negara melalui musyawarah mufakat.

“Termasuk memilih siapa yang diberi ‘mandat’ untuk memimpin pemerintahan. Sehingga diharapkan Keadilan Sosial terwujud. Itulah Demokrasi Pancasila. Itulah Presidensiil yang diinginkan para pendiri bangsa,” tutur dia.

Karena itu, DPD RI menilai pentingnya Amandemen konstitusi kelima dilakukan dengan suasana kebatinan untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Hal ini dilakukan karena DPD RI menilai semangat amandemen konstitusi yang dilakukan sejak 1999 hingga 2002 sudah cukup banyak melenceng dari harapan para pendiri bangsa. :ari ini kita melihat sekian banyak UU yang dikatakan Derivatif dari Konstitusi, yang dalam kenyataannya menyusahkan rakyat.” (akhir)

 

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait