LaNyalla: Hikmah Terbesar Pandemi Soal Fundamental Bangsa

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, hikmah pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia telah membuka kesadaran terhadap berbagai persoalan fundamental yang menjadi kelemahan bangsa dan negara Indonesia.

Itu dikatakan LaNyalla saat menjadi pembicara utama seminar Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah Indonesia (Demfasna) dengan tema ‘Menakar Ulang Kebijakan PPKM Darurat: Perlukah Diperpanjang?’ yang digear seecara Webinar, Selasa (3/8).

Dalam kesempatan itu, LaNyalla mengatakan tidak setuju dengan wacana yang menyatakan negara ini telah gagal dalam menangani pandemi Covid-19 yang terjadi sejak Maret 2020.

Dia tak sependapat ada tudingan yang menyebut Pemerintah gagap dalam penanganan pandemi karena membuat kebijakan berubah-ubah sehingga puncaknya terjadinya gelombang kedua pandemi yang sempat membuat fasilitas kesehatan dan sarana pendukungnya nyaris kolaps, termasuk gugurnya ratusan tenaga kesehatan di garda terdepan.

“Bagi saya, sampai hari ini, Pemerintah masih terus berupaya dan bekerja untuk menangani pandemi ini. Memang tidak mudah, menangani pandemi di negara kepulauan seluas Indonesia,” ujar LaNyalla.

Karena itu, dia mengajak semua elemen bangsa untuk melakukan refleksi dan merenungkan perjalanan bangsa. Mengapa sebagai bangsa, kita merasakan kesulitan dan sejumlah hambatan dalam menghadapi pandemi.

“Hikmah terbesar dari pandemi Covid-19 bagi bangsa dan negara Indonesia yang bisa kita petik, terungkapnya persoalan fundamental di banyak sektor yang selama ini tertutup dan belum kita pikirkan dengan serius dan matang,” kata dia.

Dijelaskan, persoalan fundamental pertama adalah bagaimana ketahanan sektor kesehatan Indonesia yang ternyata rentan dan rapuh, di mana seluruh pihak menyaksikan langsung bagaimana fasilitas kesehatan yang nyaris kolaps dan angkat bendera putih.

Persoalan fundamental kedua adalah bagaimana ketahanan sektor sosial negara ini. “Di mana pemerintah ternyata juga kesulitan untuk secara cepat dan mendadak harus menyalurkan bantuan sosial pada warga negaranya, terutama mereka yang terdampak secara langsung,” kata LaNyalla.

Persoalan selanjutnya mengenai ketahanan sektor pendidikan di Indonesia. LaNyalla menyebut ketika proses belajar mengajar harus dibatasi dan dilakukan secara online, terjadi ketidaksiapan infrastruktur dan kualitas pembelajaran yang akhirnya tergambar secara nyata bahwa Indonesia tidak siap dan tidak mampu memenuhi standar.

“Dan persoalan fundamental yang keempat, bagaimana penyelamatan ekonomi rakyat, yang ternyata usaha kecil rakyat, yang didominasi usaha mikro dan kecil, tidak mampu secara cepat bertransformasi dari market space ke market place,” jelas dia.

“Faktanya, marketplace yang ada didominasi barang-barang impor. Anak bangsa hanya menjadi pedagang yang menjual melalui dropshipper besar yang ada. Alias importir besar. Inilah pekerjaan besar kita sebagai bangsa yang akan merayakan kemerdekaan ke-76 tahun pada 17 Agustus nanti,” sambung LaNyalla.

Memang ada gagasan melakukan lockdown atau karantina secara total di awal pandemi Corona. Hanya saja hitungan saat itu dibutuhkan dana Rp 400 triliun untuk membiayai konsekuensi dari kebijakan lockdown.

“Bukan angka yang kecil. Meski sekarang, pemerintah akhirnya telah mengeluarkan anggaran Rp 1.000 triliun lebih. Tetapi saat itu, kalkulasi Rp 400 triliun untuk lockdown, bukan persoalan gampang. Karena ternyata ada beberapa faktor ikutan yang harus dipastikan agar kebijakan tersebut berjalan,” jelasnya.

Faktor ikutan pertama, harus ada dana langsung yang siap digelontorkan kepada rakyat yang terkena kebijakan lockdown. Itu sesuai UU No: 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

“Kedua, bagaimana mekanisme menyalurkan dana Rp 400 triliun tersebut secara cepat dan hitungan hari sebelum lockdown dilakukan. Dan dipastikan dapat diterima seluruh rakyat yang dikarantina?” ungkap dia.

Penyaluran dana karantina juga dinilai akan menjadi persoalan yang tidak mudah lantaran tidak semua rakyat bankable atau memiliki akses dengan bank, apalagi akurasi database warga negara Indonesia yang seringkali menjadi persoalan di lapangan.

Dia menyebut keadaan Indonesia tidak sama dengan negara menerapkan lockdown saat awal pandemi.

“Contoh, saat pemerintah Australia mengumumkan melakukan lockdown untuk penduduk Sydney, seluruh warga Sydney langsung menerima transfer dana dari pemerintah untuk kebutuhan hidup Rp 8 juta rupiah untuk satu minggu yang ditransfer melalui rekening mereka,” sebut dia.

LaNyalla menilai pemberian bantuan itu membuat warga negara Australia tertib berada di rumah. Subsidi dari pemerintah membuat warganya tidak harus keluar rumah mencari nafkah agar bisa membeli kebutuhan pokok.

“Itulah mengapa tadi saya sampaikan, pandemi ini membuka dan menunjukkan kelemahan kita sebagai bangsa yang sudah 76 tahun membangun, namun masih ada persoalan-persoalan fundamental di banyak sektor yang harus kita kerjakan hari ini,” urai LaNyalla.

Karena itu, dia mengajak seluruh pihak menyatukan kekuatan bangsa. LaNyalla meminta seluruh elemen masyarakat melakukan koreksi arah perjalanan bangsa dengan melihat persoalan-persoalan fundamental yang ada di negara Indonesia.

“Mari kita bersatu-padu untuk membantu pemerintah melakukan penataan yang simultan, antara kebutuhan mendesak, dengan perbaikan fundamental sektor-sektor ketahanan yang strategis tersebut. Termasuk memperkuat kemandirian pangan bangsa ini,” demikian AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (akhir)

 

beritalima.com

Pos terkait