Jakarta, beritalima.com| Direktur Eksekutif Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai data yang disajikan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 cenderung bias sehingga tidak merepresentasikan kondisi yang sebenarnya. Menurutnya hal ini tidak boleh dianggap remeh karena bias data menyebabkan bias Informasi, kesalahan prediksi dan perhitungan risiko serta kemungkinan untuk mengambil keputusan yang salah.
“Oleh karena itu, jika Pemerintah serius berbenah, dapat dimulai dengan perbaikan manajemen data, termasuk mengubah definisi kasus Covid-19 dan kematian akibat Covid-19. Tahukah Anda bahwa dari data yang disajikan itu tidak semuanya positif Covid-19. Banyak di antara mereka yang meninggal dengan hasil tes negatif Covid-19 tapi dihitung sebagai kematian akibat Covid-19 dan dimakamkan mengikuti protokol Covid-19. Ada juga yang meninggal karena penyakit penyerta atau Komorbid yang tidak kompatibel secara klinis namun dihitung akibat Covid-19. Jadi, ini semacam penggelembungan angka, mark up, overestimate atau overstatement dan sebagainya,” ujar R Haidar Alwi, Selasa (29/9/2020).
Haidar mencontohkan bahwa seorang pasien berinisial HS di Duren Sawit, Jakarta Timur, yang meninggal dunia pada Jumat (22/5/2020). HS dengan riwayat penyakit Asam Urat dan Asam Lambung sempat dilarikan ke rumah sakit karena ada keluhan sesak nafas. Tanpa memiliki riwayat kontak dengan pasien Covid-19, HS akhirnya menghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan dengan protokol Covid-19. Beberapa hari kemudian, hasil tes PCR-nya keluar dan ternyata yang bersangkutan negatif Covid-19 tapi dicatat sebagai kasus Covid-19.
“Lalu, apa yang kita lihat dalam kasus HS ini? Lamanya waktu yang dibutuhkan dari tes hingga hasilnya keluar menjadi celah untuk menggelembungkan angka kasus Covid-19 di Indonesia. Kenapa? Sebelum hasil tes PCR-nya keluar, sudah dimakamkan dengan protokol Covid-19 dan dilaporkan sebagai kasus Covid-19. Padahal, hasil tesnya ternyata negatif Covid-19 dan tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien positif Covid-19. Jadi, tidak ada alasan untuk mencatatnya sebagai kasus Covid-19. Andai hasil tes PCR keluar sebagaimana mestinya dalam hitungan jam bukan dibuat berhari-hari, pasti akan berbeda cerita,” tutur R Haidar Alwi.
Hasil tes PCR seorang pasien berinisial HS yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 dan dilaporkan sebagai kasus Covid-19. Padahal, yang bersangkutan negatif Covid-19 dan tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien positif Covid-19. (Dok. Istimewa untuk Threechannel)Berikutnya seperti yang dialami RM, warga Duren Sawit, Jakarta Timur, yang belum lama meninggal dunia karena menderita gagal jantung dan dimakamkan mengikuti protokol Covid-19. Setelah hasil tes PCR-nya keluar, rupanya RM memang positif Covid-19 dan dicatat sebagai kasus Covid-19 dengan penyakit penyerta atau Komorbid. Walau demikian, yang harus diketahui, tidak semua pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia harus dilaporkan sebagai kematian akibat Covid-19. Ketentuan ini dimuat dalam panduan atau pedoman internasional yang dirilis WHO pada 16 April 2020.
“Merujuk pada pedoman itu, seharusnya RM tidak dilaporkan sebagai kematian yang diakibatkan oleh Covid-19 meskipun hasil tes PCR-nya positif. Akan tetapi yang menjadi penyebab utama kematiannya adalah penyumbatan aliran darah ke otot jantung sehingga mengakibatkan gagal jantung dan meninggal dunia. Sementara Covid-19 hanya digolongkan sebagai kondisi signifikan lainnya yang berkontribusi terhadap kematian. Menurut WHO kasus semacam ini tidak dapat dilaporkan sebagai kematian akibat Covid-19,” kata R Haidar Alwi.
International Guidelines for Certification and Classification (Coding) of Covid-19 as Cause of Death. (WHO)
Menurutnya, Pemerintah Indonesia harus mempunyai aturan yang jelas dan terukur tentang mana kematian yang dapat diklasifikasikan sebagai akibat dari Covid-19 dan mana yang tidak. Misalnya, pasien Covid-19 dengan Komorbid paling mematikan di dunia seperti penyakit ginjal, jantung, diabetes dan lain sebagainya tidak dilaporkan sebagai kematian akibat Covid-19. Namun berlaku bagi pasien dengan riwayat penyakit paru-paru seperti Pneumonia dan sejenisnya karena Covid-19 memang menyerang sitem pernapasan manusia.
Pasalnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat menemukan 94% penyebab kematian pasien Covid-19 adalah Komorbidnya. Hanya 6% saja yang benar-benar disebabkan oleh Covid-19. Selain itu, Yayasan Jantung Indonesia mengungkap 3 (tiga) besar Komorbid penyumbang angka kematian tertinggi yakni penyakit ginjal, diabetes mellitus dan penyakit jantung. Barulah kemudian diikuti oleh penyakit penyerta lainnya.
“Pantas saja jumlah kasus dan kematian pasien Covid-19 di Indonesia sebegitu tingginya. Kasus yang disebabkan oleh penyakit-penyakit paling mematikan pun ternyata diklasifikasikan sebagai kasus Covid-19. Kalau Pemerintah punya aturan yang jelas dan terukur untuk memisahkan mana kematian yang disebabkan oleh Covid-19 dan mana akibat Komorbid selain penyakit paru-paru, aku yakin angkanya tidak akan sebesar sekarang ini. Sederhana memang, tapi angka-angka ini memengaruhi pengambilan keputusan maupun kebijakan yang menyangkut bangsa dan negara,” papar R Haidar Alwi.
Kemudian, WHO dalam rilisnya 4 Agustus 2020 menegaskan, setiap negara memang memiliki pendekatan yang berbeda-beda mengenai Covid-19 dan definisi kematian yang diakibatkan oleh Covid-19. Itu artinya, tidak ada keseragaman dalam formula sehingga tidak bisa dibandingkan antara satu dan yang lainnya. Apa yang diterbitkan WHO pun hanya sebatas pedoman untuk dijadikan bahan rujukan, bukan aturan mutlak yang harus diberlakukan oleh setiap negara.
“Masing-masing negara berhak menentukan formulanya masing-masing. Tapi kenyataannya penjelasan Pemerintah kepada rakyat mengenai aturan WHO soal definisi kasus Covid-19 dan kematian akibat Covid-19, seolah-olah wajib diikuti dan mutlak diberlakukan. Pertanyaannya, kenapa Pemerintah begitu ngotot berpedoman pada data yang bias dan over padahal bisa ditekan dengan data yang lebih akurat? Apakah memang sengaja digelembungkan demi menguras uang rakyat dan menjatuhkan bangsa dan negara ini?” Demikian R Haidar Alwi mengutarakan pandangan dan analisanya.
Diketahui bahwa Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat hingga Selasa (29/9/2020), jumlah kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 282.724 orang, yang mana sebanyak 210.473 di antaranya berhasil sembuh dan 10.601 lainnya meninggal dunia. Dengan demikian, kasus aktif saat ini adalah 61.650 pasien. [Red]