JAKARTA, Beritalima.com– Legislator dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur, Amin Ak mengkritisi kebijakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait dengan impor raw sugar serta kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Farmasi.
Setelah melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi ke PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI dan PT Phapros di Semarang, Rabu (22/7), anggota Komisi VI DPR RI itu kepada Beritalima.com, Kamis (23/7) mengatakan, dirinya mendesak Pemerintah memberikan kuota impor raw sugar untuk BUMN pemilik pabrik gula sesuai kapasitas pengolahan dari raw sugar menjadi Gula Kristal Putih (GKP).
Langkah itu, jelas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, seharusnya sudah dilakukan Pemerintah sejak dulu.
Saat ini kapasitas pengolahan raw sugar menjadi GKP melalui BUMN sekitar 400 ribu ton per tahun atau 10 persen dari total impor raw sugar per tahun.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, kebutuhan gula untuk industri dan rumah tangga mencapai 6 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 2 juta ton per tahun.
Karena itu, Amin mendesak Pemerintahan Jokowi memberikan kepastian besaran kuota impor gula untuk BUMN pemilik pabrik gula paling lambat di awal tahun. Tujuannya untuk memberi kesempatan kepada BUMN menyiapkan sarana proses rafinasi raw sugar menjadi GKP. Karena itu, pembantu Jokowi di Kementerian BUMN dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuat kesepakatan terkait kepastian kuota itu.
Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) VI Fraksi PKS itu, juga mengingatkan pentingnya revitalisasi pabrik gula secara menyeluruh. Mulai manajemen sampai sarana prasarana produksi karena pabrik dengan peralatan kuno tidak akan efisien. Diperlukan revitalisasi pabrik-pabrik gula.
Selain itu, Amin juga mendesak manajemen PTPN agar menjadikan petani mitra strategis dan mendorong mereka menjadikan komoditas tebu jadi pilihan pertama mereka. Holding PTPN harus berupaya mencukupi kebutuhan gula dengan berbagai langkah strategis, baik yang terkait dengan produktifitas lahan (on farm) hingga perbaikan sarana produksi (off farm). “Pemberdayaan petani tebu penting agar bahan baku untuk pabrik gula bisa terpenuhi sekaligus mengurangi ketergantungan impor.”
Saat berkunjung PT Phapros, Wakil Rakyat dari Kabupaten Jember serta Lumajang itu mempertanyakan penurunan kinerja perusahaan farmasi plat merah tersebut usai bergabung ke dalam group Kimia Farma yang menjadi holding BUMN Farmasi. Alih-alih melipatgandakan pendapatan, laba PT Phapros 2019 turun menjadi Rp102,31 miliar dibanding 2018 yang mencapai Rp133,29 miliar atau turun 23,2 persen.
Amin juga menyoroti kinerja PT Kimia Farma (Persero), perusahaan induk Phapros yang kinerjanya menurun signifikan. Mengutip laporan keuangan Kimia Farma yang disampaikan Direksi Kimia Farma saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (21/4) lalu, posisi laba bersih perseroan (setelah pajak) pada 2018r Rp491,56 miliar berbalik menjadi rugi bersih Rp12,72 miliar pada 2019.
Amin menilai market share produsen obat pelat merah itu terbilang kecil bila dibandingkan perusahaan swasta. Saat ini total pangsa pasar industri farmasi nasional sekitar Rp88,36 triliun per tahun dan diperebutkan oleh 250-an perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Karena itu,
Amin mendorong BUMN Farmasi mencapai target penguasaan market share 10 persen yang dicanangkan saat pembentukan holding BUMN Farmasi tahun lalu. Dengan pertumbuhan pasar (market size) 10 persen per tahun, terbuka lebar BUMN Farmasi untuk melipatgandakan market sharenya secara nasional.
“Manajemen Phapros harus memperbaiki kinerjanya. Jangan kalah gesit dari perusahaan swasta. Janji untuk menurunkan impor bahan baku obat juga harus segera direalisasikan,” tegas Amin.
Lebih lanjut dikatakan, BUMN Farmasi wajib memperkuat riset dan pengembangan (R&D) baik dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) maupun anggarannya agar mampu mendongkrak Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) industri obat-obatan dan alat kesehatan. Dengan riset yang kuat, pemanfaatan sumber bahan baku obat di dalam negeri dapat ditingkatkan sehingga kemandirian industri farmasi bisa diwujudkan.
“Setiap tahun devisa kita terkuras lebih dari US$2 miliar atau sekitar Rp28 triliun untuk impor bahan baku obat. Padahal keanekaragaman hayati Indonesia sangat besar dan berlimpah, terbesar kedua di dunia setelah Brasil,” demikian Amin Ak. (akhir)