Lepaskan Jika Menangis Menyembuhkan Lukamu

  • Whatsapp
Ilustrasi foto: Aliyah Jamous/Unsplash

beritalima.com | Air mata merupakan doa ketika mulut tak mampu berujar. Tiap tetesannya mengandung ucapan hati yang tak bisa didengar. Kalau tangismu pecah, tidak apa.

Hidup bukan melulu soal berbagi senyum. Terkadang, senyum adalah tanda dari rasa sakit yang disembunyikan. Terkadang pula, menunjukkan air mata bukan berarti kamu lemah, tapi kamu telah berusaha sekuat mungkin untuk baik-baik saja.

Biarkan air mata mengaliri wajahmu. Menangis lebih baik daripada meluapkan kemarahan, sebab amarah dapat menyakiti orang lain, sementara air mata akan jatuh dengan sendirinya, senyap, menyembuhkan luka tak kasatmata.
Sepenggal kisah ini kutulis untukmu, sahabatku, yang telah pergi jauh sebelum aku dapat menyeka air matamu.

Dulu saat aku dan kamu masih memakai seragam putih biru, aku tidak pernah melihatmu menangis. Dirimu yang tingginya bahkan tidak menyentuh pundakku membawa banyak amunisi kegembiraan. Setiap hari kita bersenda gurau, saling meledek tanpa menyakiti, hingga bersatu untuk mengerjai teman-teman lain. Terlalu banyak tawa yang telah kita lontarkan hingga membuatku bertanya-tanya apakah kamu pernah bersedih?
Bertandang ke rumahmu, aku melihat koleksi film memenuhi rak dinding ruang tamu. Kamu merupakan sosok cerdas yang membuatku ingin bisa pandai berbahasa Inggris, sepertimu. Kamu bilang, pembiasaan telinga dan mata untuk mendengar dan melihat bagaimana interaksi orang yang bercakap dengan bahasa Inggris adalah kunci utama cara belajarmu. Kamu menggunakan film sebagai media utama, tahu bahwa film merupakan ketertarikanmu dan kamu akan menemukannya sebagai media pembelajaran yang tidak membosankan. Sebab itu, aku mengikuti metode serupa. Kita berakhir dengan sering menonton bersama dan kamu membantuku mempraktikkan kosakata yang sulit.
Pertemanan kita semakin erat dan tidak terpisahkan. Jadi, saat ada sedikit perubahan pada fisikmu, aku langsung tahu. Sesuatu yang salah terjadi. Saat kita berada di tahun terakhir sekolah, kamu terlihat semakin kurus, wajahmu pucat, dan beberapa kali aku menemukanmu di toilet memuntahkan darah. Kamu kerap tidak masuk sekolah. Tapi setiap kali kamu datang, kamu akan menemuiku dengan senyuman yang kian redup. Kamu tidak mau memberitahuku apa yang salah denganmu.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk bertanya sendiri pada orang tuamu.
“Ginjalnya bermasalah,” tutur ibumu saat aku berkunjung ke rumahmu suatu sore, kebetulan kamu sedang berada di rumah sakit untuk jadwal cuci darah ditemani ayahmu.
Ibumu menangis saat itu sambil menceritakan setiap detailnya. Air mataku pun ikut berjatuhan. Ingatanku berpendar pada kebiasaanmu mengonsumsi minuman bersoda. Saat kita bersama, aku tidak pernah melarangmu minum soda, dan aku ingat kamu selalu menghabiskan lebih dari dua kaleng saat kita menonton film. Detik itu juga, rasa bersalah membanjiriku, mengapa aku tidak mengingatkanmu padahal tahu bahwa mengonsumsi berlebihan tidak akan baik untuk tubuh?
Karena alasan itu, kamu menderita.
Kamu mendekapku saat aku mengunjungimu di rumah sakit dan mengatakan maaf berulang kali karena tidak memberitahuku. Kamu tidak ingin aku khawatir. Saat kamu melepas pelukan, tidak ada satu pun jejak air mata di pipimu. Kamu terlihat begitu kuat di antara gurat kelelahan di wajahmu dan perasaanku berkecamuk. Kamu tidak seharusnya berpura-pura kuat di depanku. Sudah lebih dari cukup senyum yang kamu bagikan selama ini. Namun, aku tidak mengucapkannya keras-keras. Keluh kesahku bukanlah beban yang perlu kamu terima.
Di hari kelulusan, aku tidak melihatmu. Begitu juga di hari pertama mengikuti ospek saat SMA, mataku tidak menemukanmu. Kita kembali dipertemukan di sekolah yang sama. Berkat dukungan para guru yang mengetahui kondisimu, juga kegigihanmu untuk tetap belajar meski dari rumah, SMP kita meluluskanmu dengan nilai yang baik—hal yang memang pantas kamu dapatkan—dan memberikan rekomendasi SMA untukmu.
Ketidakhadiranmu saat ospek membuatku cemas. Kamu bilang, kamu akan datang setidaknya untuk satu hari saja, memastikan seperti apa kelas dan teman-temanmu. Pesan yang kukirim padamu juga tidak mendapat balasan. Nada sambung teleponku diakhiri suara operator. Khawatir sesuatu yang tidak kuketahui terjadi, aku berencana selepas pulang sekolah untuk mendatangi rumahmu. Tidak terduga, siangnya, aku melihatmu berjalan di koridor sekolah bersama kedua orang tuamu. Kamu datang untuk mengurus administrasi yang tersisa. Seperti sebelumnya, wajahmu terlihat pucat dan letih. Kita tidak mengobrol lama karena kamu harus kembali ke rumah sakit. Saat itu, aku tidak memiliki firasat apa-apa, sebab perjumpaan kita sama seperti waktu-waktu sebelumnya.
Malamnya, suara telepon membangunkanku. Namamu muncul di layar. Di satu sisi, aku merasa senang menerima telepon darimu, tapi di sisi lain juga bingung. Kamu tidak biasanya meneleponku di atas jam sepuluh malam. Lalu suara ibumu menyambutku. Hatiku mencelos, menyadari situasi yang salah.
Ditemani ayahku, aku bergegas ke rumah sakit. Ibumu menghampiriku di pintu masuk, memastikan aku diizinkan untuk berkunjung.
Sesampainya di kamarmu, aku melihatmu berbaring dengan mata tertutup, bibirmu yang biasanya menggumamkan lagu dari film kesukaanmu terlihat membiru. Kamu tidak merespon saat aku memegang tanganmu, juga saat aku menyentuh kulit wajahmu yang dingin. Kamu tetap bergeming. Tangisanku semakin menjadi-jadi saat ibumu beringsut mendekat, mengatakan dengan suara penuh kesedihan bahwa untuk pertama kalinya sejak kamu sakit, kamu menitikkan air mata, seolah kamu sudah tahu hari ini akan datang.
Tidak ada orang yang siap ditinggalkan, begitu pun aku. Sangat sulit memercayai kamu telah berpulang, meninggalkanku tanpa sempat menjadi orang yang menghapus air matamu. Kendati di sudut hatiku, aku bersyukur kamu sempat menangis, sempat meluapkan emosimu, sempat mencoba untuk mengobati luka hati yang kamu derita selama ini. Kamu telah menjadi orang yang kuat untuk waktu yang lama, kamu berhak untuk mengambil satu langkah mundur, untuk mencari posisi yang lebih baik.
Perjalanan yang sudah kamu tempuh menginspirasiku. Kekuatan yang kamu tunjukkan kepada orang-orang di sekitarmu agar tidak berputus asa dalam bertahan menjadi pengingat yang pesannya tidak akan habis dimakan waktu.
Seseorang yang kuat bukanlah yang tidak pernah menangis, tapi yang pernah menangis suatu waktu, kemudian tidak lagi menangis untuk alasan yang sama.
(Safira Ginanisa/Politeknik Negeri Jakarta)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait