LHP BPK, Dari Pajaki Sembako, Johan: Lebih Baik Evaluasi Kinerja Perpajakan

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Wakil rakyat dari Dapil I Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), H Johan Rosihan ST meminta Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mengevaluasi kinerja perpajakan di tanah air.

Soalnya, ungkap politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pendapatan perpajakan 2020 turun 16,88 persen dibandingkan 2019. Menurut Johan, dengan penurunan ini pemerintah mesti kerja keras mencari pemasukan negara dari sektor pajak.

Namun, kata anggota Komisi IV DPR RI ini, Pemerintah tidak boleh membuat kebijakan perpajakan yang menciderai rasa keadilan dan memberatkan beban ekonomi rakyat yang terpuruk akibat pandemi Covid-19 seperti rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bahan kebutuhan pokok alias sembako dan sekolah.

“Sebagai wakil rakyat, saya meminta Pemerintah Jokowi mesti evaluasi kinerja perpajakan karena ternyata pada 2019 penerimaan PPN bisa mencapai Rp 655,4 triliun tanpa harus berwacana pengenaan PPN Sembako,” papar Johan.

Hal itu disampaikan Johan, Rabu (23/6) setelah dia mengikuti Rapat Paripurna DPR RI yang salah satu agendanya Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2020 di Gedung Nusantara II Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin. Parlemen, Senayan Jakarta hari sebelumnya.

Wakil rakyat dari Pulau Sumbawa ini juga menjelaskan, pemerintah perlu melakukan evaluasi terkait rencana pengenaan PPN Pangan Pokok. Ini karena situasi data pangan di Indonesia masih amburadul sehingga rencana penerapan multitarif PPN sembako sangat sulit diterapkan karena biaya administrasi pemungutannya akan jadi lebih mahal.

“Salah satu indikator dari data pangan kita bermasalah adalah carut-marutnya data impor pangan dan belum terwujudnya kesatuan data tentang kondisi pangan nasional,” ujar pria kelahiran Sumbawa, NTB, 29 Oktober 1972 tersebut.

Selain itu, legislator dari NTB ini melihat sembako termasuk barang yang memiliki rantai pasok panjang serta sebagai sektor informal Pertanian.

Pemerintah mesti memahami rantai pasok pangan berbeda dengan pasok produk dan jasa lain, karena perubahan yang terus menerus dan signifikan terhadap kualitas produk pangan di seluruh rantai pasok hingga pada titik akhir produk tersebut di tangan konsumen.
Jadi rantai pangan mengalir dari petani ke konsumen bergerak dalam rantai yang panjang dan untuk beberapa produk pangan memiliki karakter mudah rusak, busuk dan turun mutu. “Hal ini berakibat sulit mengendalikan pengawasan pajaknya jika diterapkan pengenaan pajak sembako,” urai Johan.

Ditegaskan, dampak PPN sembako akan berakibat kenaikan harga yang mendorong terjadi inflasi dan menurun daya beli masyarakat sehingga kemiskinan akan terus meningkat. Kemiskinan yang terus meningkat akan menjadi beban berat bagi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Pemerintah harus waspada dengan adanya defisit APBN Rp 947,7 triliun atau sekitar 6,14 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) karena tahun ini harus jadi pembuktian untuk mencapai pemulihan ekonomi yang mencapai target 5,5 persen seperti dijanjikan oleh Pemerintah.

“Hal ini urgent menjadi perhatian Pemerintahan Jokowi agar rakyat jangan dibebani dengan pajak sembako demi stabilitas ekonomi nasional,” tutur Johan.

Terkait hasil riset yang menunjukkan 73 persen kontributor garis kemiskinan berawal dari bahan pangan, itu artinya jika harga sembako naik, jumlah penduduk miskin pasti bertambah. “Jangan sampai terjadi ketahanan pangan kita semakin lemah akibat rencana pengenaan pajak sembako oleh Pemerintah.”

Johan juga mengungkapkan, berdasarkan LHP BPK RI disimpulkan, transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan keuangan negara selama pandemi Covid-19 ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan manajemen bencana tidak efektif.

Catatan buat Pemerintahan Jokowi agar memperkuat akuntabilitas manajemen bencana selama masa pandemic terutama bantuan sembako agar memiliki dampak signifikan terhadap penguatan ketahanan pangan nasional.

“Sebab, ternyata kebijakan bantuan sembako yang dilakukan Pemerintah selama ini tidak berpengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan terutama di daerah rentan rawan pangan,” demikian H Johan Rosihan. (akhir)

 

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait