JAKARTA, Beritalima.com– Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Bengkulu, Prof Dr Juanda alergi dengan sebutan Orde Reformasi. Karena Juanda yang gagal terpilih menjadi Rektor Bengkulu itu menilai reformasi yang didengung-dengungkan sejak 1998 itu belum berjalan sesuai dengan harapan rakyat Indonesia.
“Saya agak alergi mengatakan Orde Reformasi. Apa benar reformasi? Saya saat ini belumlah reformasi. Padahal konstitusi kita sudah empat kali diubah sebagai tonggak sejarah kalau kita mau transisi reformasi,” kata Juanda dalam diskusi bertema ‘Urgensi Pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara’ bersama Wakil Ketua MPR RI Dr Jazilul Fawaid di Media Center, Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (19/3).
Pengapa Juanda mengatakan belum reformasi? Dia menilai UU yang ada belum banyak dilakukan penyesuaian dengan peradaban konstitusi yang baru. Kemudian tingkah laku, paradigma para elit di negeri ini belum juga di reform. “Saya katakan belum reformasi. Belum itu terwujud, muncul lagi ada keinginan mengamandemen konstitusi dengan berbagai elemen. Mereka berargumentasi termasuk bagaimana menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),” tegas Juanda.
Diakui GBHN yang kini diusulkan dengan nama Pokok-Pokok Haluan Negara (PPKN) memang secara hukum tata negara ini wewenang MPR RI untuk berpikir, berbicara dan mengeksekusi. Pertanyaannya apa memang GBHN ini urgen dan layak untuk dihidupkan kembali?
“Ketika pertanyaan itu layak, pertanyaan kedua produk hukum dan basisnya apa? Apakah konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar untuk mewadahi GBHN atau undang-undang? Inilah pertanyaan yang sering sekali muncul, kalau ini adalah undang-undang, maka ada untung dan ruginya,” jelas dia.
Jika dengan UU, salah satu keuntungannya tidak mengubah konstitusi, kemudian mudah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun, dia menilai, ada juga kekurangan-kekurangannya. “Maaf Pak Jazilul, orang Indonesia tidak lepas dari politik, biasanya memerankan dengan politisasi. Ketika DPR tak setuju lagi atau melihat kondisi yang tak lagi memunkinkan UU ini berkaitan dengan kepentingan kelompok tertentu, ini nanti bisa saja diubah, cepat diubah.”
Namun, kalau mengikuti pola berpikir ketatanegaraan yang benar secara konstitusional jelas dia, GBHN itu dimasukan dalam konstitusi yang bisa mengikat siapapun presidennya harus mengikuti haluan negara itu. Haluan negara sebagai pedoman seluruh lembaga negara, bukan hanya presiden. Karena, konstitusi berlaku bukan hanya untuk presiden tapi untuk seluruh lembaga negara.
Menurut Juanda, akan muncul persoalan baru kalau haluan negara dibuat MPR RI karena pasti ada konsekuensi yuridis, tak hanya politis saja. Kalau dalam UUD 45 lama MPR RI adalah lembaga tertinggi negara dan memilih presiden.
“Jadi, kalau hanya sekedar pedoman kayaknya agak mendua saya lihat. Ketika MPR RI ini dipedomani Presiden tetapi ketika presiden melanggar yang sudah dibentuk MPR RI sebagai lembaga negara, bukan lembaga tertinggi negara. Konsekuensi yuridis tak ada, ini adalah barang baru bagi saya,” demikian Prof Dr Juanda. (akhir)