JAKARTA, Beritalima.com– Limabelas raja dan sultan dari berbagai wilayah di tanah air bersama wakil masing-masing provinsi ikut Kongres Boemipoetra Nusantara bertema ‘Kembalikan Hak-hak Sipil Boemipoetra’ yang digelar di Jakarta, Jumat-Minggu pekan ini.
Sejumlah tokoh nasional hadir pada pembukaan kongres, antara lain MS Kaban, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto serta Tedjo Edhy, mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, dan anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Prof Dr Mubarok.
MS Kaban sebagai salah satu inisiator Kongres Boemipoetra Nusantara ini menjelaskan, untuk mewujudkan kegiatan ini prosesnya panjang dan cukup lama. Mulai dari dialog, diskusi dan seminar yang dilakukan di hampir seluruh penjuru tanah air.
Dialog dan diskusi tersebut membicarakan persoalan boemipoetera atau pribumi yang memang memerlukan satu lembaran tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Soalnya, kata Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, saat ini ada satu situasi seakan-akan kata pribumi sesuatu yang menakutkan tetapi kata bumiputera sangat melembutkan.
“Padahal bumiputera dan pribumi adalah sesuatu subjek yang sama dan harus memiliki peran signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Kaban.
Dilaksanakannya kongres Jumat, ungkap Kaban, karena disesuaikan momennya dengan hari dibacakannya teks proklamsi Kemerdekaan Indonesia.
“Saya mencoba untuk mengingatkan kita semua bahwa 74 tahun lalu, ketika teks proklamasi dibacakan, itu hari Jumat dan hari ini kita menyelenggarakan Kongres Boemipoetera. Mudah-mudahan membawa keberkahan bagi kita untuk membangun NKRI.”
Secara institusional, lanjut Kaban, membangun institusi bukan sesuatu yang gampang menyatakan kemerdekaan. Hal yang berhubungan dengan pemindahan kekuasaan belum tuntas karena banyak tokoh, suku, raja, sultan yang mendukung kemerdekaan Indonesia belum diselesaikan.
Setelah merdeka, persoalan pesan pemindahan kekuasaan ini belum diselesaikan secara institusional. Ini merupakan satu pokok persoalan yang perlu kita pikirkan.
“Perubahan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang menghilangkan kata Indonesia asli ketika diamandemen harus segera dikembalikan kepada kesepakatan semula,” kata Kaban.
Panitia kongres, Max Sopacua menjelaskan, Kongres Boemipoetera dimulai pra kongres di lima provinsi yakni Makassar, Maret 2018. Dan, kemudian dilanjutkan di Yogyakarta, Padang, Medan dan di Jawa Timur.
Boemipoetera ini lahir dari sebuah ketidaktahuan terhadap hak serta kewajibannya sebagai pemilik nusantara, pemilik bumi dan air di republik Indonesia tercinta ini.
“Hari ini kita membuat Kongres Boemipoetera, kita ingin bumiputera berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan siapa saja yang ada di republik ini,” tegas Max.
Dijelaskan, bumiputera adalah organisasi masyarakat, organisasi independen dan organisasi yang tidak berpolitik. Politik dari bumiputera adalah politik negara. “Siapapun yang akan berkuasa di republik ini, bumiputera harus mendapat tempat yang layak dalam pemerintahan.”
Politisi senior ini juga menyinggung Inpres 26/1998 tentang tidak bolehnya menggunakan kata pribumi. Melalui kongres itu, akan kembali menggunakan kata pribumi.
“Selama ini kita kena peraturan dengan Inpres 26 tahun 1998 tentang tidak boleh mempergunakan nama pribumi. Kembali kita pergunakan kata pribumi karena pribumi diakui oleh UNESCO, salah satu lembaga di PBB,” demikian Max Sopacua. (akhir)