Hebatnya lagi, Teater Tradisi ini dimainkan anak-anak muda, para pelajar SLTA, kendati mulai dikolaborasikan dengan senior mereka yang memang sudah seniman. Dan, hampir semua kabupaten/kota di Jawa Timur masih menunjukkan eksistensinya dalam pembinaan kesenian ini.
Dari 26 kabupaten/kota yang menampilkan Teater Tradisi Kolaborasi Seni Pertunjukan di Panggung Budaya peringatan HUT Jatim ke-71 itu, salah satunya persembahan anak-anak muda yang tergabung di Sanggar Saraswati Kota Mojokerto.
Mereka menyuguhkan cerita tentang kehidupan masyarakat yang masih terbawa paradigma kolot, yakni tentang perempuan yang dianggap sebagai kaum yang lemah.
Diiringi lengkap dengan jula-juli dan kritik sosial berbahasa khas Jawa Timur, cerita berjudul ‘Minggat’ ini mampu membuat para pengunjung terpingkal-pingkal.
Memet Edi Boy, pelatih sekaligus aktor cerita ini menuturkan, teater kreasinya mengangkat lakon seorang gadis belia yang dipaksa orangtuanya untuk menikah dengan konglomerat bernama Dimas Kanjeng.
Si gadis menolak. Ia masih ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Namun karena terus dipaksa, ia akhirnya pilih minggat, meninggalkan rumah.
Dari persoalan itu, cerita lakon ludruk ini terus mengupas tentang kekeliruan orangtua, mulai dari anggapan kalau anak perempuan itu sosok yang lemah, pendidikan yang tidak terlalu penting bagi anak perempuan, dan suka memaksakan kehendak hati.
Memet paham, niat orangtua terhadap anak memang baik, tapi caranya yang tidak benar.
“Mustinya tidak boleh begitu,” tutur Memet mengenai pesan moral yang ingin disampaikan di cerita ini. “Dalam bahasa ludruk ada istilah ‘ngecul sirah nyekel buntut,” ujarnya, yang artinya melepas kepala memegang ekor.
Dengan begitu, lanjut dia, anak perempuan tetap bisa berkreasi namun tetap terjaga moralnya. Sedangkan, orangtua yang diktator, akhirnya hanya akan membuat anak tertekan.
“Lebih berbahaya lagi jika anak melakukan tindakan nekat, yakni minggat, ini akan lebih mengkhawatirkan,” jelasnya.
Kendati bersifat kritis, Memet sengaja membuat tampilan teater sebagai pertunjukan yang tetap menghibur. Alasannya, dengan suguhan ‘ndagel’ penonton akan terus tertarik menyaksikan hingga bisa menerima pesan.
“Trend kesenian kita sekarang adalah humor. Apapun persoalannya yang diangkat tetap harus menonjolkan kelucuan,” terangnya.
Dalam penampilannya, Memet mengajak tiga aktor lain yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Ditambah grup karawitan dari SMPN 1 Kota Mojokerto.
“Kita memang dianjurkan melibatkan setidaknya 85 persen pelajar dan 15 persen seniman senior,” tukasnya.
Kepala UPT LPPK Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim, Efie Wijayanti, mengatakan, lomba teater tradisi ini merupakan salah satu upaya untuk melakukan revitalisasi kesenian di Jatim.
“Kami sengaja melibatkan anak-anak muda yang masih duduk di bangku sekolah dan seniman dalam satu panggung sekaligus. Dengan begitu, siswa dan guru bisa belajar langsung bersama seniman,” kata Efie.
Menurut Efie, revitalisasi tidak hanya muncul dengan wujud pertunjukkan. Karena seni juga memerlukan sentuhan riset, kajian serta pengembangan.
“Sandur misalnya, di beberapa daerah kesenian ini ada, namun tetap memiliki karakter yang berbeda. Karena itu, melalui revitalisasi diharapkan kesenian dapat dikembangkan dan mapan. Saya berharap kesenian ini bisa menyamai kesenian Reog Ponorogo yang sudah mendunia,” tegasnya. (Ganefo)