Menurutnya, semenjak penandatanganan MoU Hesinki ada tahun 2005 silam, demokrasi di Aceh terus berkembang. Dalam survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik Nasional, Aceh pernah menduduki peringkat tertinggi dalam hal indeks demokrasi di Indonesia.
Untuk meningkatkan semangat demokrasi kata Zaini, pemahaman tentang demokrasi itu sendiri harus betul-betul dipahami oleh masyarakat, terutama kalangan pemuda.
langkah Aceh Democracy Institute menggagas Summer School Democracy Program menurutnya pantas mendapat dukungan, apalagi pesertanya sebagian besar dari kalangan pemuda, bahkan dari luar negeri.
“Para peserta dapat bertukar pengalaman terkait demokrasi di negara masing-masing sehingga dapat menambah wawasan tentang demokrasi yang lebih luas,” ujar Zaini.
Terkait demokrasi, Zaini Abdullah menjelaskan, ada dua agenda besar yang akan berlangsung di Aceh, yang pertama Pemilihan Kepala Daerah serentak di 20 Kabupaten/Kota plus pemilihan Gubernur dan Wakil gubernur. Yang kedua, kebijakan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh yang akan menetapkan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Dua agenda tersebut menurut Zaini sangat erat kaitannya dengan demokrasi karena sama-sama mengedapankan partisipasi masyarakat. Peran media juga sangat menonjol untuk menyebarkan informasi kepada publik.
Zaini berharap dua hal tersebut dapat dibahas di dalam forum agar masyarakat memahami bagaimana cara terbaik untuk mendorong Pilkada yang damai, jujur dan adil di daerah ini. Selain itu juga untuk memperkuat kinerja KKR Aceh agar proses rekonsiliasi terhadap pelanggaran HAM di masa lalu dapat dijalankan.
Program Democracy School tersebut akan dilaksanakan di Sultan Selim II dan akan berlansung selama tiga hari. Panitia turut menghadirkan beberapa narasumber dari Universitas ternama di Malaysia, Singapura dan Thailand antara lain, DR. Nazli Aziz dari University Malaysia Trengganu, Prof. DR. Syed Muhd. Khairuddin Al Juned dari National university of Singapore, Prof. Syukree Langputeh dari Fatoni University, Thailand,’’(**)