JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin mengatakan, Indonesia harus berkaca kepada banyak negara termasuk sejumlah negara besar dan mapan berdemokrasi, yang sukses menerapkan parlemen bikameral, misalnya Inggris, Belanda, Jepang, Prancis, Spanyol, Italia dan lain-lain. Bahkan ada yang menerapkan bikameralisme murni (strong bicameral) seperti Aljazair.
Menurut politisi senior ini, bagi banyak negara besar yang demokratis, sistem bikameral merupakan suatu keniscayaan.
“Walaupun bentuknya berbeda dengan Indonesia,” ucap Mahyudin saat membuka Focus Group Discussion (FGD) yang digelar bersama Universitas Diponegoro dengan tema ‘Perspektif Daerah Untuk Optimalisasi Peran DPD RI’ di Semarang, Jawa Tengah, Senin (13/9).
Menurut dia, lahirnya DPD RI karena sebelumnya tidak adanya check and balances dalam praktek keparlemenan Indonesia. Untuk itu diperlukan sistem bikameral atau kamar kedua, yang merupakan perwakilan dari daerah.
Kenapa demikian? “Karena Indonesia negara besar dan mayoritas berpusat di Pulau Jawa. Negara ini didirikan untuk semua kalangan, bukan suatu kelompok atau perorangan sehingga lahirlah kamar kedua untuk menyuarakan aspirasi daerah yaitu DPD RI,” kata senator dari Dapil Provinsi Kalimantan Timur tersebut.
Pada kesempatan itu, Mahyudin mencontohkan, selama ini Indonesia terlalu sentralistik yang bermuara pada Pulau Jawa. Jika melihat dari keterwakilan di Senayan, wilayah yang besar akan memiliki porsi yang besar pula.
“Selama ini jika dilihat dari Jawa Tengah untuk duduk di DPR RI membutuhkan 50 ribu suara. Tetapi DPD RI harus membutuhkan 1,4 juta suara. Artinya, masyarakat menaruh kepercayaan lebih kepada DPD RI,” terang Mahyudin.
Karena itu, dia meminta kampus jangan diam saja melihat lemahnya kewenangan DPD RI. Kampus juga harus membantu berfikir bagaimana memperkuat DPD RI. “Kampus harus membantu kami berfikir bagaimana DPD RI ke depan bisa diperkuat. Hemat saya amandemen kelima menjadi keharusan,” harap dia.
Wakil Ketua DPD RI tersebut juga menilai sistem bikameral juga menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Dengan begitu akan tencipta demokrasi yang sehat, sehingga UU yang lahir akan lebih berkualitas dan berkeadilan.
“Bikameral yang kuat tidak bisa ditawar lagi, karena dinamikanya akan menciptakan produk perundangan yang adil dan berkualitas. Keputusan itu juga dapat menciptakan kesempatan munculnya calon pemimpin independen yang mumpuni sehingga akan terbuka luas bagi siapapun yang ingin maju sebagai calon presiden, anggota DPR RI dan DPD RI,” papar Mahyudin.
Pada kesempatan serupa, Ketua Departemen Ilmu Politik dan Pemerintah Iniversitas Diponegoro (Undip), Nur Hidayat Sardini menjaskan DPD RI mempunyai peran penyeimbang dalam menghadapi oligarki. Untuk itu DPD RI harus di ‘setup’ kembali.
“Memang cara ini tidak akan berhasil karena ada kekhawatiran dalam proses pengambilan keputusan, maka dimatikanlah DPD RI. Bila perlu kedepannya DPD RI harus mempunyai hak veto, DPR RI saat ini seperti pemain tunggal, karena tidak ada check and balances,” ujar Sardini.
Sementara itu, Kepala Biro Pemerintahan, Otonomi Daerah dan Kerjasama Provinsi Jawa Tengah, Muhamad Masrofi mengatakan, DPD RI merupakan jelmaan utusan daerah, setelah otonomi daerah munculah DPD RI.
DPD RI sama seperti senator di Amerika Serikat, tetapi berbeda jauh kewenagannya. “Permasalahanya kewenangan DPD RI pada Pasal 22D UUD 1945. Jadi ada kata ‘dapat’ di dalamnya. Kata dapat ini sebenarnya yang membelenggu DPD RI,” terang dia.
Sedangkan menurut Kepala Departemen FISIP Undip, Yuwanto kehadiran DPD RI penting, tapi kehadirannya sejauh ini tidak dirasakan. Ia menilai bahwa DPD RI perlu di optimalisasi dalam kewenangannya maka diperlukan amandemen.
“Jangan ada keraguan, memang perlu ada amandemen. Sebab jika DPD RI tidak memiliki kewenangan terkait fungsi otonomi daerah atau pemanfaatan SDA maka akan dikuasai oleh oligarki,” ucapnya.
Pada kesempatan ini, hadir juga Wakil Ketua Kelompok DPD RI Abdul Kholik, Wakil Ketua Komite I DPD RI Fernando Sinaga, Wakil Ketua BK DPD RI Yustina Ismiati, dan Ketua BKSP DPD RI Gusti Farid Hasan Aman. (akhir)